Minggu, 05 Juli 2020

CERBUNG: SAKURAYA (PART 5)


CHICKEN NOODLE 


Quantity is not everything, and everything is relative.

Because, one person who understands you is more than enough...

Than a group of cheerful people who only think about their standard of happiness...

Kenyataan bahwa Rai adalah seorang penderita hapephobia (aku sudah mencari tahu apapun yang berhubungan dengan hapephobia malam itu juga) membuat aku semakin merasa kasihan dengan kondisi Rai. Di sisi lain, sesuai dengan prediksi Dava, Rai jarang sekali keluar dari kamarnya untuk sakadar makan siang bersama ataupun menyapa kami para penghuni rumah.

Sebenarnya, ini juga didukung fakta bahwa kamar tamu memiliki fasilitas yang cukup lengkap seperti kamar mandi dalam, dispenser, dan kulkas mini yang membuat penghuninya tidak perlu repot-repot turun ke lantai satu jika kondisinya tidak penting-penting amat.

Hari ini Dion memasak mie ayam porsi besar untuk makan siang. Namun, dia menyuruhku untuk makan duluan disebabkan ada hal penting yang harus dia kerjakan bersama teman-teman organisasinya.

"Ay, aku pergi dulu ya! Kamu makan duluan ajaa. Mumpung anget!" begitu katanya tadi.

Aku menatap mangkok mie ayamku yang masih penuh, dengan malas. Tadi, aku sempat mampir ke kamar Dava untuk mengajaknya makan siang bersama. Tapi, sepertinya Dava juga sedang tidak ada di rumah karena mengurusi sesuatu yang berhubungan dengan persiapan wisudanya. Kalau kondisinya begini, hilang sudah nafsu makanku.

Kuambil sesuap mie ayam dengan garpu kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Mau tak mau aku harus memakannya karena sudah terlanjur kuracik. Saat aku melahap suapan kedua mie ayamku, semerbak aroma kasturi masuk ke dalam lubang hidungku bercampur dengan bau mie.

Rai turun dari lantai atas dan dan kini tengah berjalan menuju ke arah dispenser dapur. Aku mengamatinya dalam diam.

"Air di kamar habis. Terpaksa aku turun," ujarnya tanpa diminta sambil mengisi botol air berukuran satu liter.

"Aku ngga nanya," ucapku datar.

"Tapi tatapanmu nanya," katanya sambil melihat ke arahku.

Begitu pandangannya bertemu dengan mie ayamku, dia segera menyipitkan mata.

"Spaghetti?"

"Mie ayam." Jawabku pendek.

"Kamu mau?" tanyaku basa-basi. Tentu saja dia akan menjawab tidak mau. Apa sih yang aku harapkan dari seorang Rai?

"Aku boleh?" tanyanya polos di luar perkiraanku. Untuk beberapa saat, aura dingin Rai menghilang digantikan dengan aura balita yang ingin makan bubur tim.

Pertanyaan konyolnya membuat aku terdiam dan merasa kebingungan.

"Kenapa ngga boleh? Tentu aja kamu boleh!" Ucapku pada akhirnya, kemudian segera bangkit dan mengambil mangkok dan garpu dari rak piring.

"Duduk Rai! Kuracikin dulu mie ayamnya..."

"Aku beneran boleh? Kamu ngga papa baik gini ke aku?" tanyanya ragu masih dengan posisi berdiri.

Aku menaruh mie ayamnya yang sudah selesai kuracik dan segera menarik lengan bajunya agar ia duduk di kursi yang berhadapan dengan kursiku.

"Stop talking non sense and just eat!" Seruku sambil kembali duduk.

Rai menatap mie ayamnya bimbang beberapa saat, tapi kemudian pada akhirnya ia mulai memakannya. Ia makan tanpa berbicara satu katapun dan akupun hanya menatapnya dengan pikiran yang begitu campur aduk. Tak butuh waktu lama bagi Rai untuk menghabiskan satu mangkok mie ayam yang ada di hadapannya.

"Mau nambah?" tawarku spontan saat Rai memutar posisi garpunya yang mengartikan bahwa dia telah selesai makan.

"No. Thanks." Jawabnya pendek. Akupun hanya mangut-mangut.

Setelah itu, terjadi keheningan yang cukup lama di antara aku dan Rai. Rai hanya memandang mangkok kosongnya, dan aku hanya memandangi Rai yang sedang memandangi mangkok kosongnya. Karena aku tidak tahan dengan keheningan ini, akupun berinisiatif untuk memulai pembicaraan.

"You know..." Rai tiba-tiba berbicara saat aku baru saja akan membuka mulutku.

"For me, this is the best meal for the past two years..." ucapnya dingin.

"But why for some reasons this thing feels... so bitter?" lanjutnya sambil menatapku dengan pandangan menerawang.

Aku membalas tatapan Rai dalam diam. Ada kesedihan dan penderitaan yang terasa di setiap nada dan sorot mata yang ia tunjukkan.

"Rai..." panggilku pelan. Ada sesuatu yang sedang mengganjal di hatiku dan aku harus segera membicarakannya. Maksudku, mumpung suasananya sedang mellow dan serius begini.

"Apa?" tanyanya dengan suara dan tatapan yang kembali normal seakan dia tidak pernah mengeluarkan kata-kata memilukan seperti barusan.

"Kenapa kamu berpikir yang enggak-enggak?" tanyaku to the point, merangkap ambigu.

"Apanya?"

"Kenapa kamu ragu pas tadi kutawarin mie ayam?"

Yap. Inilah hal penting yang mengganjal di hatiku.

"Emangnya aku punya alasan untuk ngga ragu?" Rai balik bertanya dengan dahi berkerut.

"Kenapa kamu harus cari alasan untuk nggak ragu?"

"Maksud kamu, aku tadi harus langsung bilang iya tanpa mikir-mikir dulu?" Rai tersenyum miring.

"Tolong stop jawab pertanyaanku dengan pertanyaan!" seruku gemas sembari menggigit bibir dengan kesal. Rai yang menyebalkan telah kembali, pemirsah! Menghilang sudah sosok bocah yang kukasihani tadi.

"Sudahlah..." ucapku pada akhirnya. Malas berdebat lebih tepatnya.

"Okay. Sudahlah..." ujar Rai monoton sambil berdiri dan membawa mangkok kotornya ke tempat cuci piring.

Sedetik kemudian, suara pancuran air mendominasi pendengaranku dan akupun kembali sibuk dengan pikiranku. Rai dan tingkah laku abstraknya. Sepertinya aku harus mulai terbiasa dengan kepribadiannya yang sepertinya ganda.

Dan lagi, mengenai ekspresi ragunya tadi ketika kutawari mie ayam. Bukankah sejak awal kami selalu berusaha untuk mengajaknya makan bersama, tapi selalu ditolaknya? Ya, walaupun bukan aku sih yang mengajaknya melainkan Dion.

Namun, mengapa Rai berbicara seolah-olah aku akan keberatan kalau dia ikut makan di rumah ini? Sepertinya ada suatu kesalahpahaman yang terjadi dan itu nampaknya bersumber dari...

"Hei..." Rai melambaikan tangannya ke depan mukaku.

Aku berdecak pelan. Selain karena dia menggangguku yang tengah berpikir dalam, aku benci dengan caranya yang memanggilku dengan sebutan 'Hei'. Walaupun 'Aya' dan 'Hei' sama-sama hanya memiliki tiga huruf, tapi tentu saja itu tidak bisa dipaksakan untuk menjadi sama.

"Apa?" tanyaku tajam.

"Apa biasanya, kau banyak berbicara seperti ini?"

Hah? Apa lagi ini maksudnya?

"Aku biasanya tak banyak berbicara kepada orang lain. Tapi hari ini, semua kata-kata di hatiku seperti keluar begitu saja di hadapanmu, " lanjut Rai dengan muka keheranan. Bingung terhadap dirinya sendiri.

"Apa kau juga begitu?" tanyanya dengan alis terangkat.

Aku menghela nafas pelan. Kini aku tahu apa maksud dari perkataan Rai. Dan sejujurnya, perkataan Rai membuat aku sadar bahwa hari ini aku juga berbicara lebih banyak dibanding biasanya. Bahkan aku repot-repot menawarkan mie ayam kepada orang lain, yang mana itu tidak pernah kulakukan sebelumnya.

Ada apa sebenarnya denganku? Ada apa dengan Rai? Dan ada apa pula dengan mie ayam dingin di depanku yang terlihat begitu keriting dan membuat aku semakin kebingungan?!

"Rai..." ucapku serak.

"Ya?"

"Sepertinya aku berkepribadian ganda," paparku sekenanya pada akhirnya. Setidaknya, kesimpulan ini terdengar sedikit masuk akal di telingaku, dan mari kita jadikan ini sebagai hipotesis sementara.

Atau tidak.

***

Aku butuh liburan. Pastinya.

Malam ini aku memutuskan untuk mengurung diri di kamar bersama dengan sebatang coklat dan setumpuk pemikiran ruwet. Kusimpulkan bahwa penyebab kenapa aku mengalami perubahan menjadi sosok orang yang agak berbeda adalah karena aku sudah terlalu lama mendekam di rumah.

Aku mengambil selembar kertas dan mulai mencatat ke mana saja destinasi yang akan kutuju selama liburan semester ini. Untuk sementara, aku berniat untuk rehat dari berbagai pikiranku, terutama pemikiran yang berhubungan dengan Rai.

Ditengah aktivitasku menulis, aku teringat fakta bahwa aku tidak punya cukup teman untuk kuajak berlibur bersama. Tapi tidak punya cukup teman, bukan berarti aku tidak mempunyai teman sama sekali, kan?

Dengan gerakan cepat, aku meraih ponselku yang sudah kumatikan selama beberapa pekan. Begitu layarnya kunyalakan dan memunculkan wallpaper bergambar sakura, nada masuk whatsapp dan line berbunyi nyaring saling bersautan.

Aku mengecek whatsappku dan menemukan beberapa pesan yang mayoritas berasal dari ibu dan ayah. Tanpa membaca pesan-pesan tersebut terlebih dahulu, aku segera menghubungi seseorang yang mungkin akan segera terkena serangan jantung jika tahu bahwa aku mencoba menghubunginya lebih dulu.

"HALLO AYAAAA! INI BENERAN AYAA? WAH, APA GUA LAGI MIMPI YA?!"

Aku segera menjauhkan ponselku dari telinga begitu mendengar suara melengking Ita.

"Hallow~ ini beneran Aya, kan? Atau Dava yang lagi iseng mainin hape Aya?" sekarang nada Ita terdengar agak ragu dan kaku. Sepertinya ia takut jika yang sedang berbicara dengannya adalah benar-benar Dava.

Aku berdehem beberapa kali.

"Ini Aya, Ta... Bukan Dava," ucapku pelan.

"YA AMPUN AAY! LU KESAMBET APA SAMPAI AKHIRNYA MAU NELPON GUA DULUAN!?" Suara Ita kembali melengking seperti Toa.

"Ta! Kecilin... kuping aku berdengung nih," aku berbisik penuh penekanan. Inilah alasan kenapa aku begitu malas jika harus berbicara dengan Ita melalui telepon.

"Ups, sorry Ay! Habisnya gua kaget banget seorang lu nelpon gua malam-malam begini. Ini pertama kalinya loh, sejak kita berhasil berteman... entah kenapa gua ngerasa... terharu?" Ita membuat suara seolah ia terisak sembari menghirup ingus.

"Berlebihan," ucapku datar.

"Hahahahahahahaha... jadi ada apa nih princess rumahan tetiba telfon gua? Pasti urusan mendesak, kan?"

"Aku... pingin ngajak liburan.." kataku langsung.

"Hah? Serius? Lu... ngajak liburan gua?!" Ita terdengar tak percaya.

"Wah, si Mayang bisa bete berat nih kalo tahu gua diajak liburan sama lu. Secara kan, dia bolak-balik ngajakin lu ke cafe kucing apalah itu tapi lu selalu nolak..." tambahnya dengan nada sedikit tak enak.

"Kamu ngga mau?" simpulku.

"Gua mauuuuuuu banget nget. Tapi..."

"Aku juga bakal ngehubungi Mayang, kok..." ucapku ringan, tahu jelas dengan kekhawatiran yang sedang dirasakan oleh Ita.

"Wew beneran? Kalo gitu mah gua ngga usah khawatir lagiii!" Ita terdengar luar biasa lega.

"So, princess... mau liburan kemana kita? Bali? Singapore? Japan?" kali ini suaranya berubah menjadi super antusias.

"Wait, Ta... aku ngga bisa jauh-jauh..." kataku menyesal. Tak enak dengan Ita yang sudah berekspektasi terlalu tinggi.

"Oiya ya... Lu kan punya dua bodyguard yang super banyak aturan..." paparnya segera paham.

"Jadi, kamu gapapa kalo liburannya deket-deket?" Aku bertanya ragu-ragu. Takut Ita berubah pikiran.

"Ya ampun, Aaay! Ya gapapa laaah. Saaans... Ini kan rencana liburan lu... Lu ajak aja, gua udah seneng bingiiiit!" Ita menyahut dengan gemas.

"So, mau gua temenin kemana, Ay? Gua siap nemenin lu, kemanapun!" Serunya dengan semangat yang membara.

Aku menarik nafas panjang.

"Jadi..."

Dan begitulah. Obrolanku dengan Ita berlangsung cukup lama. Walaupun, ini bisa dibilang lebih seperti obrolan satu arah karena Italah yang sangat mendominasi pembicaraan. Aku tak peduli dengan kupingku yang mulai memanas. Kami begitu antusias merancang rencana liburan kami, sampai-sampai aku tak menghiraukan fakta bahwa ada seseorang yang sepertinya sedang menguping obrolan kami dari balik pintu kamarku.

***



0 komentar:

Posting Komentar