HOLIDAY?
There are some people who say that ...
Life doesn't bring happiness. Life is useless. Life is annoying.
But, have they ever thought that patience and a smile can make their life become more valuable?
"Sudah dulu ya, Bu..." aku menutup pembicaraan panjang kami di telepon.
"Titip salam buat Ayah juga..." tambahku, kemudian menekan tombol merah di layar dan menaruh ponselku ke dalam keranjang belanjaanku.
Sore ini aku sedang berada di minimarket yang bersebrangan dengan gerbang masuk perumahanku. Karena besok aku akan menyetir pagi-pagi sekali, aku memutuskan untuk menyiapkan beberapa amunisi agar tidak kelaparan di tengah perjalanan.
Aku memasukkan beberapa bungkus coklat silverqueen ke dalam keranjang, lalu berjalan santai ke arah rak sari roti. Saat aku memasukkan beberapa bungkus roti coklat ke dalam keranjang, seorang gadis berkuncir tak sengaja menabrak punggungku dengan punggungnya.
"Hati-hati..." ujarku pelan seraya menoleh dan mendapatinya justru tengah menatap lurus ke arah pintu masuk minimarket. Sepertinya dia tidak sadar bahwa ia telah menabrakku.
Tak ingin ambil pusing, akupun berjalan pergi meninggalkannya menuju ke showcase cooler yang terletak di pojokan.
"Eh, lihat deh! Itu model, apa ya?!"
Seorang tante berlipstik merah berbisik cukup keras kepada kawan di sampingnya.
"Iya, mungkin... Wong kelihatan tinggi banget, gitu..." balas kawan tante tersebut tanpa mengecilkan suara.
"Tapi sayangnya ya, ditutupin semua wajahnya... Kan aku jadi ngga bisa liat!" tambahnya gemas.
Duh tante-tante... apa-apa harus diomongin gitu ya? Heran, deh!
Aku meruntuk di dalam hati sembari memasukkan tiga botol pocari sweat ke dalam keranjang belanjaan.
"Tapi ya, masa segitunya sampai pake sarung tangan... Kayak di kutub utara aja!"
Ucapan kawan tante berlipstik merah yang terdengar agak medok, segera berhasil menghentikan aktivitasku yang sedang menutup pintu showcase cooler.
Sarung tangan? Sepertinya tidak asing...
Dengan cepat, kutolehkan kepalaku kepada sang tante, kemudian mengikuti ke arah mana ia memandang. Aku segera terlonjak dan secara otomatis berusaha menyembunyikan diri setelah berhasil menutup pintu showcase cooler dengan sedikit bantingan.
Walaupun aku sudah menduganya, namun aku tetap merasa kaget setelah melihat dengan jelas bahwa 'model' yang para tante ini bicarakan adalah seorang Rai yang mana kini sedang berjongkok dengan tenang di depan rak susu kemasan. Tak ingin berpapasan dengan Rai, dalam mode mengendap-endap, akupun segera melanjutkan acara belanjaku.
Acara belanjaku kini terasa menegangkan, namun entah mengapa sedikit terasa lebih asik. Sesudah mengambil tissue basah yang merupakan belanjaan terakhirku, aku berjalan pelan menuju ke arah kasir.
"Syukurlah..." ucapku lega ketika mendapati bahwa Rai sepertinya sudah keluar dari minimarket.
Setelah menerima dua lembar uang kembalian dari mas-mas kasir, aku berjalan riang keluar dari minimarket. Ada perasaan bangga yang menyeruak disebabkan keberhasilanku menghindari Rai tadi. Sepertinya aku memiliki sedikit peluang untuk bisa masuk ke FBI atau CIA, disebabkan kehandalanku mengendap-mengendap.
"Aw... aw... apa-apaan!?" aku tersentak kaget.
Di tengah acara 'memuji diri sendiri'ku, ada seseorang yang dengan beraninya menarik kasar tudung hoodieku ke belakang.
"Ngapain, sih?"ucapku geram sambil memegangi kerah hoodieku yang ikut tertarik. Aku menoleh dengan hentakan keras sehingga tarikan orang tersebut berhasil terlepas seketika. Mataku segera melebar setelah mengetahui siapa pemilik tangan lancang itu.
Di hadapanku, Rai tengah berdiri tegap, sambil menatapku dengan datar. Aku bergidik ngeri. Sejak kapan Rai ada di sini? Bukankah ia sudah keluar dari tadi?
"Hai!" Sapanya lempeng.
"Oh.. H.. Hai!" balasku terbata.
Tunggu dulu. Kenapa aku malah jadi gagap? Harusnya kan sekarang aku marah!
"Rai, kamu ngap..."
"Nih..." ucap Rai memotong pembicaraanku sembari menyodorkan dua kotak susu coklat di depan hidungku.
Kutatap mata bersoflen coklat dibalik topinya dengan heran. Kenapa tiba-tiba ngasih susu?
"Ambil!" perintahnya dengan suara yang terdengar lebih berat dari biasanya.
Karena tak menemukan alasan untuk mengambil susu kemasan tersebut, akupun hanya bergeming memandanginya.
"Haah..."
Rai mendengus pelan kemudian menarik tas keresek belanjaanku dan memasukkan kedua susu kemasan tersebut ke dalamnya. Untuk beberapa saat, aku merasa sangat bersyukur karena detik ini tak ada seorang pun yang sedang berada di depan minimarket dan menyaksikan adegan konyol serah terima susu barusan. Pakai acara tarik-tarik hoodie segala, lagi!
"Hei..."
Rai kini mendekatiku dan menjangkau tudung hoodieku dengan tangannya yang besar. Refleks, akupun langsung menundukkan kepala karena takut dia akan menarik hoodieku lagi.
"Maaf, tadi aku narik hoodiemu. Ini aku balikin lagi..." ujarnya sambil memakaikan tudung hoodieku ke kepalaku.
Sangking kagetnya, aku hanya bisa terdiam dan tidak terlalu merespon. Sebenarnya dia sedang ngapain? Akting jadi anak baik?
"Hari ini udara dingin," ucapnya pendek dengan nada serius.
"Aku tahu kamu mudah kedinginan dan..." kalimatnya yang menggantung, membuat aku mau tak mau mendongakkan wajahku untuk menatap wajahnya.
Saat itu juga, pandangan kamipun bertemu. Setelah mengedipkan matanya beberapa kali, Rai menelengkan kepala dan menundukkan wajahnya ke arah wajahku. Matanya kini seperti menilai sesuatu.
"Ziemlich hübsch ( Jerm: cukup cantik)," gumamnya sambil menurunkan tangannya dari tudung hoodieku, kemudian berbalik meninggalkanku.
Aku menarik nafas berat. Aroma kasturi Rai masih tertinggal di udara, walaupun ia benar-benar telah meninggalkanku. Dia bahkan tidak merasa perlu membalikkan badan untuk mengecek apakah kondisiku kini baik-baik saja, setelah apa yang ia lakukan.
Sepertinya Rai mempunyai alergi mie ayam yang menimbulkan otaknya menjadi sedikit kurang waras dan membuatnya melakukan hal-hal yang membingungkan.
Aku menghembuskan nafas panjang sembari melangkahkan kaki untuk pulang.
Walaupun aku tak tahu artinya, aku cukup terganggu dengan gumaman yang diucapkan Rai sebelum ia pergi. Kuharap, gumaman tersebut bukan merupakan sebuah umpatan dalam bahasa Jerman atau semacamnya.
Ya. Semoga saja.
***
Pagi yang indah dan menegangkan. Hari ini aku akan berlibur dengan Ita dan Mayang, dan aku sudah harus berangkat dini hari sekali. Kemarin sepulang dari minimarket, aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar di tengah malam aku bisa bangun dan mempersiapkan semuanya tanpa diketahui oleh Dion dan Dava.
"Oke... Let's go!" Bisikku sambil menyalakan mesin mobil dengan hati berdebar.
Tanpa berniat untuk turun dan menutup gerbang garasi setelah ini, aku memasang gigi dan menginjak gas meninggalkan rumahku yang seperti menatapku dengan penuh peringatan.
Aku memang sengaja untuk meninggalkan jejak. Toh, nanti aku akan ketahuan juga. Di samping, ini adalah salah satu caraku untuk memberi tahu orang rumah bahwa aku bisa melakukan apa yang kumau dan aku akan baik-baik saja.
Trrr trrrr trrr
Kulirik ponselku yang bergetar di atas dashboard mobil.
"Hallo, Ay!" Suara jernih Mayang segera terdengar begitu aku menekan tombol loadspeaker. Dava pasti akan marah jika sampai tahu bahwa aku berani berkendara sambil mengangkat telpon menggunakan cara manual seperti ini.
"Hai, May! Aku udah di jalan."
"Ah! kamu wis di jalan? Bahaya toh kalo ngangkat telpon?! Kututup dulu deh, ya..." Mayang terdengar merasa tak enak.
"Eh. Nggak papa, May!" Cegahku segera.
"Ya?"
"Temenin aku nyetir dengan cara ngobrol..." kataku sedikit memohon.
"Wah... dengan senang hati, Ay..." ucap Mayang riang pada akhirnya. Ada sedikit nada heran yang terkandung dalam suaranya.
Aku tersenyum kecil. Pasti sekarang Mayang menganggap aku sedikit aneh karena ingin mengajaknya ngobrol.
"Jadi, hari ini kita jadinya nang ndi?" tanya Mayang medok.
"Belum tau May," ujarku jujur.
"Lah, kok?"
"Nanti kita diskusiin lagi waktu ketemu Ita,"ucapku pendek, yang mana segera kusesali.
Harusnya aku menjawab dengan kata-kata lain seperti, 'kalo kamu, pinginnya pergi ke mana?' atau sejenisnya. Jika seorang Mayang mengobrol denganku, pastinya obrolan tersebut tidak akan muncul begitu saja seperti jika aku mengobrol dengan Ita yang memang memiliki banyak topik untuk dibahas.
Aku berdehem beberapa kali setelah Mayang hanya menanggapi ucapanku dengan, "Ah, iya..." dan kemudian terdiam.
"May..." ucapku berusaha memulai pembicaraan lagi.
"Ya?"
"Tentang café kucing..."
"Ya?!" kali ini Mayang berseru dengan penuh minat.
"Coba kamu ceritain ke aku dimana dan gimana wujud tempatnya," kataku berusaha terdengar tertarik.
Setidaknya ini adalah cara yang kubisa agar Mayang mau meneruskan obrolannya denganku. Sejujurnya, kini aku merasa sedikit mengantuk dikarenakan belum tidur sejak tengah malam, dan aku sangat butuh teman ngobrol untuk tetap terjaga.
Mayang menceritakan detail mengenai café kucing, berikut dengan nama-nama kucing dan owner café tersebut. Aku sebenarnya tidak begitu mendengarkan dan sesekali hanya menyautinya dengan mengatakan 'wow!' atau 'keren!' agar Mayang merasa bahwa ia sedang didengarkan.
Cerita Mayang mengenai café kucing begitu panjang, hingga bisa menemaniku, sampai aku tiba di depan rumah Ita yang berada di pinggir jalan besar.
"May, aku sudah sampai depan rumah Ita," ucapku sambil membuka sabuk pengaman untuk meregangkan otot.
"Wah, wis sampek? Yowis, Ay... aku tak siap-siap dulu kalo gitu. Cerita café kucingnya tak lanjutno nanti, ya..."
"Haha. I.. Iya," ujarku ragu. Aku sungguh tak yakin apa nanti aku masih berselera untuk mendengarkan lagi cerita tentang café kucing darinya.
"Kututup ya, May... Itanya udah nongol," kataku sembari menekan tombol merah di layar begitu Ita mengetuk kaca mobilku dengan cengiran.
"Masuk, Ta!" kataku setelah menekan tombol locking system untuk membuka pintu mobil.
Begitu Ita membuka pintu mobil, dia tidak bergerak masuk dan justru menatapku bingung.
"Ada apa, Ta? Ayo, masuk!" seruku heran.
"Btw, Ay..." ucapnya ragu.
"Ya?"
"Kita sebenarnya liburan berberapa orang?" tanyanya hati-hati.
"Bertiga." Jawabku pendek.
"Bertiga itu siapa aja ya, Ay?" Ita menerka-nerka dengan konyol.
"Aku, kamu, Mayang, kan!?" kataku pasti.
"Lo yakin, Ay?"
"Aduh Ta! Buruan masuk! Keburu macet, nih!" Seruku gemas. Untuk apa sih, sesi tanya jawab ini?
"Tapi, Ay..." wajah Ita kini terlihat sedikit ngeri sambil terus menatap ke arah bangku tengah. Tiba-tiba firasatku berubah menjadi tidak enak dan akupun mulai merinding.
"Tapi, apa Ta?" tanyaku sedikit panik tanpa menoleh ke belakang. Tidak mungkin ada hantu penasaran siang-siang begini, kan?
"Tapi kenapa kamu ngga izin dulu kalau mau keluar, wahai anak muda?" jawab suara berat dibelakangku yang seketika membuat aku bergidik.
Aku menolehkan kepalaku ke arah kursi tengah dengan cepat.
Saat itu juga, aku melihatnya tengah duduk sambil melipat tangan di depan dada dengan muka mengintograsi.
Aku segera memegangi kepalaku yang tiba-tiba terasa pusing, kemudian mendengus pelan.
Si menyebalkan ini...
Bagaimana mungkin, dia bisa ada di sini?
***