Assalamu'alaikum semuanya...
Bismillah...
Jadi di sini aku mau ngeshare pengalaman menarik yang InsyaAllah tidak akan terlupa seumur hidup. Tentang sebuah sekolah yang mostly kebayang-bayang di otakku bahkan setelah aku lulus.
Yap. MAN IC Serpong.
Aku adalah anak biasa aja. Aku bukan si jenius yg banyak memenangkan medali olimpiade. Dan aku dulunya merupakan anak pesantren yang basic nya lebih ke bidang agama. Mungkin ketika masa MTs, aku bisa dibilang cukup pintar. Tapi itu karena aku rajin dan ambisius. Jadilah kebetulan aku bisa berada di posisi anak2 yang mendapat ranking atas.
Awalnya, aku ingin melanjutkan sekolah di kotaku. Aku suntuk di pesantren dan ingin kembali pulang. Tapi takdir berkata lain. Ayahku ingin aku mencoba tes masuk sekolah bergengsi yang dibawahi Kemenag bernama MAN IC Serpong. Agar tak banyak perdebatan, akupun menuruti beliau. Dengan persiapan seadanya. Dengan mental seadanya. Walhasil (aku yakin doa orang tuaku sangat kuat) Alhamdulillah aku keterima dan kedua orang tuaku pada saat itu sangat senang dan bangga.
Aku masuk ke IC pada tahun 2013 dan Alhamdulillah bisa lulus di tahun 2016. Dan yang jadi poin pentingnya di sini, dengan jujur aku ingin mengatakan bahwa aku bersyukur bisa masuk IC tapi sayangnya, aku merasa tidak bahagia. Bukan. Bukan salah sekolahnya. Tapi ini tentang akunya.
IC yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Hanya ada tiga IC pada saat itu. Serpong, Gorontalo, dan Jambi. Angkatanku tidak dituntut membayar uang asrama dan sekolah. Benar-benar gratis. Aku bersyukur. Alhamdulillah.
Tapi...
Aku tahu membalikkan waktu itu mustahil. Namun, jika disuruh memilih lagi, aku tidak yakin apakah aku akan memilih sekolah ini untuk kujadikan tempat menghabiskan waktu untuk masa2 SMAku.
IC adalah sekolah luar biasa dengan teman2 dan guru2 luar biasa, serta fasilitas yang mumpuni. Tapi apa yang kita terima, tentu harus sebanding dengan apa yang kita perjuangkan. Tekanan di sekolah ini, juga sangat luar biasa.
Jadwal padat, aturan ketat, tuntutan berat. Aku yang anak biasa ini kerap kali ingin menyerah. Bayang-bayang DO karena nilai tidak mumpuni, juga sering menghantui. Aku saat itu benar-benar lelah. Alasan aku bisa bertahan adalah karena Allah SWT dan juga keluargaku.
Belajarku di ic sangat kacau. Aku yang fisiknya bisa dibilang lemas, merasa bahwa hampir setiap hari adalah "latihan militer". Di kelas aku tak bisa konsentrasi. Di asramapun aku sering mengantuk karena lelah. Alhasil, otakku tidak bisa bekerja dengan maksimal. Aku sering mendapatkan remidi, terutama di bagian pelajaran sebangsa matematika.
Aku yakin bahwa aku bisa melakukan lbh baik dari itu. Tapi, beratnya tekanan dari berbagai aspek, juga rasa minder yang begitu besar membuat aku menjadi pasrah dengan keadaan dan membiarkan dunia menganggapku sebagai bagian dari "orang2 yang terlihat menyedihkan". Aku ingin melakukan pembelaan. Bahwa sebenarnya dari awal aku blm terlalu siap menghadapi sistem yang seperti ini. Tapi sebenarnya aku mampu dan tidak seburuk itu. Aku belum menunjukkan kemampuanku secara maksimal, karena mostly setiap hari otakku berpikir tentang bagaimana bertahan dan bukannya bagaimana berkembang.
Aku merekomendasikan sekolah ini untuk anak2 berhati baja, berfisik sehat, dan memiliki semangat belajar menjulang. Jika, anda termasuk orang2 yang datang bukan karena kemauan sendiri. Atau termasuk orang yang ingin sistem belajar efektif dan santai... Tolong pikirkan lagi. Sekolah di IC bukan main-main. Apalagi untuk orang2 yang galauan sepertiku.

0 komentar:
Posting Komentar