Minggu, 13 Desember 2020

Ada Apa Denganku dan MAN INSAN CENDEKIA?

 Assalamu'alaikum semuanya... 

Bismillah... 

Jadi di sini aku mau ngeshare pengalaman menarik yang InsyaAllah tidak akan terlupa seumur hidup. Tentang sebuah sekolah yang mostly kebayang-bayang di otakku bahkan setelah aku lulus. 

Yap. MAN IC Serpong. 

Aku adalah anak biasa aja. Aku bukan si jenius yg banyak memenangkan medali olimpiade. Dan aku dulunya merupakan anak pesantren yang basic nya lebih ke bidang agama. Mungkin ketika masa MTs, aku bisa dibilang cukup pintar. Tapi itu karena aku rajin dan ambisius. Jadilah kebetulan aku bisa berada di posisi anak2 yang mendapat ranking atas. 

Awalnya, aku ingin melanjutkan sekolah di kotaku. Aku suntuk di pesantren dan ingin kembali pulang. Tapi takdir berkata lain. Ayahku ingin aku mencoba tes masuk sekolah bergengsi yang dibawahi Kemenag bernama MAN IC Serpong. Agar tak banyak perdebatan, akupun menuruti beliau. Dengan persiapan seadanya. Dengan mental seadanya. Walhasil (aku yakin doa orang tuaku sangat kuat)  Alhamdulillah aku keterima dan kedua orang tuaku pada saat itu sangat senang dan bangga. 

Aku masuk ke IC pada tahun 2013 dan Alhamdulillah bisa lulus di tahun 2016. Dan yang jadi poin pentingnya di sini, dengan jujur aku ingin mengatakan bahwa aku bersyukur bisa masuk IC tapi sayangnya, aku merasa tidak bahagia. Bukan. Bukan salah sekolahnya. Tapi ini tentang akunya. 

IC yang dulu berbeda dengan yang sekarang. Hanya ada tiga IC pada saat itu. Serpong, Gorontalo, dan Jambi. Angkatanku tidak dituntut membayar uang asrama dan sekolah. Benar-benar gratis. Aku bersyukur. Alhamdulillah. 

Tapi... 

Aku tahu membalikkan waktu itu mustahil. Namun, jika disuruh memilih lagi, aku tidak yakin apakah aku akan memilih sekolah ini untuk kujadikan tempat menghabiskan waktu untuk masa2 SMAku. 

IC adalah sekolah luar biasa dengan teman2 dan guru2 luar biasa, serta fasilitas yang mumpuni. Tapi apa yang kita terima, tentu harus sebanding dengan apa yang kita perjuangkan. Tekanan di sekolah ini, juga sangat luar biasa. 

Jadwal padat, aturan ketat, tuntutan berat. Aku yang anak biasa ini kerap kali ingin menyerah. Bayang-bayang DO karena nilai tidak mumpuni, juga sering menghantui. Aku saat itu benar-benar lelah. Alasan aku bisa bertahan adalah karena Allah SWT dan juga keluargaku. 

Belajarku di ic sangat kacau. Aku yang fisiknya bisa dibilang lemas, merasa bahwa hampir setiap hari adalah "latihan militer".  Di kelas aku tak bisa konsentrasi. Di asramapun aku sering mengantuk karena lelah. Alhasil, otakku tidak bisa bekerja dengan maksimal. Aku sering mendapatkan remidi, terutama di bagian pelajaran sebangsa matematika. 

Aku yakin bahwa aku bisa melakukan lbh baik dari itu. Tapi, beratnya tekanan dari berbagai aspek, juga rasa minder yang begitu besar membuat aku menjadi pasrah dengan keadaan dan membiarkan dunia menganggapku sebagai bagian dari "orang2 yang terlihat menyedihkan". Aku ingin melakukan pembelaan. Bahwa sebenarnya dari awal aku blm terlalu siap menghadapi sistem yang seperti ini. Tapi sebenarnya aku mampu dan tidak seburuk itu. Aku belum menunjukkan kemampuanku secara maksimal, karena mostly setiap hari otakku berpikir tentang bagaimana bertahan dan bukannya bagaimana berkembang. 

Aku merekomendasikan sekolah ini untuk anak2 berhati baja, berfisik sehat, dan memiliki semangat belajar menjulang. Jika, anda termasuk orang2 yang datang bukan karena kemauan sendiri. Atau termasuk orang yang ingin sistem belajar efektif dan santai... Tolong pikirkan lagi. Sekolah di IC bukan main-main. Apalagi untuk orang2 yang galauan sepertiku. 

Continue reading Ada Apa Denganku dan MAN INSAN CENDEKIA?

Sabtu, 21 November 2020

Hai Semuanya!

 Assalamu'alaikum gaess. Jadi... Aku mau ngomong kalo aku untuk beberapa waktu seterusnya InsyaAllah ngga akan ngepost cerita. Sebagai gantinya, aku bakal nulis apa yang ingin aku tulis. Ini tuh aku lagi masa2 skripsian... Sometimes ada waktu santai yg aku ciptakan. Wkwkwk dah gitu aja. Thanks. Bubye.... 

Wassalamu'alaikum....

Continue reading Hai Semuanya!

Sabtu, 08 Agustus 2020

Minggu, 05 Juli 2020

CERBUNG: SAKURAYA (PART 6)

HOLIDAY? 

There are some people who say that ...

Life doesn't bring happiness. Life is useless. Life is annoying.

But, have they ever thought that patience and a smile can make their life become more valuable?

"Sudah dulu ya, Bu..." aku menutup pembicaraan panjang kami di telepon.

"Titip salam buat Ayah juga..." tambahku, kemudian menekan tombol merah di layar dan menaruh ponselku ke dalam keranjang belanjaanku.

Sore ini aku sedang berada di minimarket yang bersebrangan dengan gerbang masuk perumahanku. Karena besok aku akan menyetir pagi-pagi sekali, aku memutuskan untuk menyiapkan beberapa amunisi agar tidak kelaparan di tengah perjalanan.

Aku memasukkan beberapa bungkus coklat silverqueen ke dalam keranjang, lalu berjalan santai ke arah rak sari roti. Saat aku memasukkan beberapa bungkus roti coklat ke dalam keranjang, seorang gadis berkuncir tak sengaja menabrak punggungku dengan punggungnya.

"Hati-hati..." ujarku pelan seraya menoleh dan mendapatinya justru tengah menatap lurus ke arah pintu masuk minimarket. Sepertinya dia tidak sadar bahwa ia telah menabrakku.

Tak ingin ambil pusing, akupun berjalan pergi meninggalkannya menuju ke showcase cooler yang terletak di pojokan.

"Eh, lihat deh! Itu model, apa ya?!"

Seorang tante berlipstik merah berbisik cukup keras kepada kawan di sampingnya.

"Iya, mungkin... Wong kelihatan tinggi banget, gitu..." balas kawan tante tersebut tanpa mengecilkan suara.

"Tapi sayangnya ya, ditutupin semua wajahnya... Kan aku jadi ngga bisa liat!"  tambahnya gemas.

Duh tante-tante... apa-apa harus diomongin gitu ya? Heran, deh!

Aku meruntuk di dalam hati sembari memasukkan tiga botol pocari sweat ke dalam keranjang belanjaan.

"Tapi ya, masa segitunya sampai pake sarung tangan... Kayak di kutub utara aja!"

Ucapan kawan tante berlipstik merah yang terdengar agak medok, segera berhasil menghentikan aktivitasku yang sedang menutup pintu showcase cooler.

Sarung tangan? Sepertinya tidak asing...

Dengan cepat, kutolehkan kepalaku kepada sang tante, kemudian mengikuti ke arah mana ia memandang. Aku segera terlonjak dan secara otomatis berusaha menyembunyikan diri setelah berhasil menutup pintu showcase cooler dengan sedikit bantingan.

Walaupun aku sudah menduganya, namun aku tetap merasa kaget setelah melihat dengan jelas bahwa 'model' yang para tante ini bicarakan adalah seorang Rai yang mana kini sedang berjongkok dengan tenang di depan rak susu kemasan. Tak ingin berpapasan dengan Rai, dalam mode mengendap-endap, akupun segera melanjutkan acara belanjaku.

Acara belanjaku kini terasa menegangkan, namun entah mengapa sedikit terasa lebih asik. Sesudah mengambil tissue basah yang merupakan belanjaan terakhirku, aku berjalan pelan menuju ke arah kasir.

"Syukurlah..." ucapku lega ketika mendapati bahwa Rai sepertinya sudah keluar dari minimarket.

Setelah menerima dua lembar uang kembalian dari mas-mas kasir, aku berjalan riang keluar dari minimarket. Ada perasaan bangga yang menyeruak disebabkan keberhasilanku menghindari Rai tadi. Sepertinya aku memiliki sedikit peluang untuk bisa masuk ke FBI atau CIA, disebabkan kehandalanku mengendap-mengendap.

"Aw... aw... apa-apaan!?" aku tersentak kaget.

Di tengah acara 'memuji diri sendiri'ku, ada seseorang yang dengan beraninya menarik kasar tudung hoodieku ke belakang.

"Ngapain, sih?"ucapku geram sambil memegangi kerah hoodieku yang ikut tertarik. Aku menoleh dengan hentakan keras sehingga tarikan orang tersebut berhasil terlepas seketika. Mataku segera melebar setelah mengetahui siapa pemilik tangan lancang itu.

Di hadapanku, Rai tengah berdiri tegap, sambil menatapku dengan datar. Aku bergidik ngeri. Sejak kapan Rai ada di sini? Bukankah ia sudah keluar dari tadi?

"Hai!" Sapanya lempeng.

"Oh.. H.. Hai!" balasku terbata.

Tunggu dulu. Kenapa aku malah jadi gagap? Harusnya kan sekarang aku marah!

"Rai, kamu ngap..."

"Nih..." ucap Rai memotong pembicaraanku sembari menyodorkan dua kotak susu coklat di depan hidungku.

Kutatap mata bersoflen coklat dibalik topinya dengan heran. Kenapa tiba-tiba ngasih susu?

"Ambil!" perintahnya dengan suara yang terdengar lebih berat dari biasanya.

Karena tak menemukan alasan untuk mengambil susu kemasan tersebut, akupun hanya bergeming memandanginya.

"Haah..."

Rai mendengus pelan kemudian menarik tas keresek belanjaanku dan memasukkan kedua susu kemasan tersebut ke dalamnya. Untuk beberapa saat, aku merasa sangat bersyukur karena detik ini tak ada seorang pun yang sedang berada di depan minimarket dan menyaksikan adegan konyol serah terima susu barusan. Pakai acara tarik-tarik hoodie segala, lagi!

"Hei..."

Rai kini mendekatiku dan menjangkau tudung hoodieku dengan tangannya yang besar. Refleks, akupun langsung menundukkan kepala karena takut dia akan menarik hoodieku lagi.

"Maaf, tadi aku narik hoodiemu. Ini aku balikin lagi..." ujarnya sambil memakaikan tudung hoodieku ke kepalaku.

Sangking kagetnya, aku hanya bisa terdiam dan tidak terlalu merespon. Sebenarnya dia sedang ngapain? Akting jadi anak baik?

"Hari ini udara dingin," ucapnya pendek dengan nada serius.

"Aku tahu kamu mudah kedinginan dan..." kalimatnya yang menggantung, membuat aku mau tak mau mendongakkan wajahku untuk menatap wajahnya.

Saat itu juga, pandangan kamipun bertemu. Setelah mengedipkan matanya beberapa kali, Rai menelengkan kepala dan menundukkan wajahnya ke arah wajahku. Matanya kini seperti menilai sesuatu.

"Ziemlich hübsch ( Jerm: cukup cantik)," gumamnya sambil menurunkan tangannya dari tudung hoodieku, kemudian berbalik meninggalkanku.

Aku menarik nafas berat. Aroma kasturi Rai masih tertinggal di udara, walaupun ia benar-benar telah meninggalkanku. Dia bahkan tidak merasa perlu membalikkan badan untuk mengecek apakah kondisiku kini baik-baik saja, setelah apa yang ia lakukan.

Sepertinya Rai mempunyai alergi mie ayam yang menimbulkan otaknya menjadi sedikit kurang waras dan membuatnya melakukan hal-hal yang membingungkan.

Aku menghembuskan nafas panjang sembari melangkahkan kaki untuk pulang.

Walaupun aku tak tahu artinya, aku cukup terganggu dengan gumaman yang diucapkan Rai sebelum ia pergi. Kuharap, gumaman tersebut bukan merupakan sebuah umpatan dalam bahasa Jerman atau semacamnya.

Ya. Semoga saja.

***

Pagi yang indah dan menegangkan. Hari ini aku akan berlibur dengan Ita dan Mayang, dan aku sudah harus berangkat dini hari sekali. Kemarin sepulang dari minimarket, aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar di tengah malam aku bisa bangun dan mempersiapkan semuanya tanpa diketahui oleh Dion dan Dava.

"Oke... Let's go!" Bisikku sambil menyalakan mesin mobil dengan hati berdebar.

Tanpa berniat untuk turun dan menutup gerbang garasi setelah ini, aku memasang gigi dan menginjak gas meninggalkan rumahku yang seperti menatapku dengan penuh peringatan.

Aku memang sengaja untuk meninggalkan jejak. Toh, nanti aku akan ketahuan juga. Di samping, ini adalah salah satu caraku untuk memberi tahu orang rumah bahwa aku bisa melakukan apa yang kumau dan aku akan baik-baik saja.

Trrr trrrr trrr

Kulirik ponselku yang bergetar di atas dashboard mobil.

"Hallo, Ay!" Suara jernih Mayang segera terdengar begitu aku menekan tombol loadspeaker. Dava pasti akan marah jika sampai tahu bahwa aku berani berkendara sambil mengangkat telpon menggunakan cara manual seperti ini.

"Hai, May! Aku udah di jalan."

"Ah! kamu wis di jalan? Bahaya toh kalo ngangkat telpon?! Kututup dulu deh, ya..." Mayang terdengar merasa tak enak.

"Eh. Nggak papa, May!" Cegahku segera.

"Ya?"

"Temenin aku nyetir dengan cara ngobrol..." kataku sedikit memohon.

"Wah... dengan senang hati, Ay..." ucap Mayang riang pada akhirnya. Ada sedikit nada heran yang terkandung dalam suaranya.

Aku tersenyum kecil. Pasti sekarang Mayang menganggap aku sedikit aneh karena ingin mengajaknya ngobrol.

"Jadi, hari ini kita jadinya nang ndi?" tanya Mayang medok.

"Belum tau May," ujarku jujur.

"Lah, kok?"

"Nanti kita diskusiin lagi waktu ketemu Ita,"ucapku pendek, yang mana segera kusesali.

Harusnya aku menjawab dengan kata-kata lain seperti, 'kalo kamu, pinginnya pergi ke mana?' atau sejenisnya. Jika seorang Mayang mengobrol denganku, pastinya obrolan tersebut tidak akan muncul begitu saja seperti jika aku mengobrol dengan Ita yang memang memiliki banyak topik untuk dibahas.

Aku berdehem beberapa kali setelah Mayang hanya menanggapi ucapanku dengan, "Ah, iya..." dan kemudian terdiam.

"May..." ucapku berusaha memulai pembicaraan lagi.

"Ya?"

"Tentang café kucing..."

"Ya?!" kali ini Mayang berseru dengan penuh minat.

"Coba kamu ceritain ke aku dimana dan gimana wujud tempatnya," kataku berusaha terdengar tertarik.

Setidaknya ini adalah cara yang kubisa agar Mayang mau meneruskan obrolannya denganku. Sejujurnya, kini aku merasa sedikit mengantuk dikarenakan belum tidur sejak tengah malam, dan aku sangat butuh teman ngobrol untuk tetap terjaga.

Mayang menceritakan detail mengenai café kucing, berikut dengan nama-nama kucing dan owner café tersebut. Aku sebenarnya tidak begitu mendengarkan dan sesekali hanya menyautinya dengan mengatakan 'wow!' atau 'keren!' agar Mayang merasa bahwa ia sedang didengarkan.

Cerita Mayang mengenai café kucing begitu panjang, hingga bisa menemaniku, sampai aku tiba di depan rumah Ita yang berada di pinggir jalan besar.

"May, aku sudah sampai depan rumah Ita," ucapku sambil membuka sabuk pengaman untuk meregangkan otot.

"Wah, wis sampek? Yowis, Ay... aku tak siap-siap dulu kalo gitu. Cerita café kucingnya tak lanjutno nanti, ya..."

"Haha. I.. Iya," ujarku ragu. Aku sungguh tak yakin apa nanti aku masih berselera untuk mendengarkan lagi cerita tentang café kucing darinya.

"Kututup ya, May... Itanya udah nongol," kataku sembari menekan tombol merah di layar begitu Ita mengetuk kaca mobilku dengan cengiran.

"Masuk, Ta!" kataku setelah menekan tombol locking system untuk membuka pintu mobil.

Begitu Ita membuka pintu mobil, dia tidak bergerak masuk dan justru menatapku bingung.

"Ada apa, Ta? Ayo, masuk!" seruku heran.

"Btw, Ay..." ucapnya ragu.

"Ya?"

"Kita sebenarnya liburan berberapa orang?" tanyanya hati-hati.

"Bertiga." Jawabku pendek.

"Bertiga itu siapa aja ya, Ay?" Ita menerka-nerka dengan konyol.

"Aku, kamu, Mayang, kan!?" kataku pasti.

"Lo yakin, Ay?"

"Aduh Ta! Buruan masuk! Keburu macet, nih!" Seruku gemas. Untuk apa sih, sesi tanya jawab ini?

"Tapi, Ay..." wajah Ita kini terlihat sedikit ngeri sambil terus menatap ke arah bangku tengah. Tiba-tiba firasatku berubah menjadi tidak enak dan akupun mulai merinding.

"Tapi, apa Ta?" tanyaku sedikit panik tanpa menoleh ke belakang. Tidak mungkin ada hantu penasaran siang-siang begini, kan?

"Tapi kenapa kamu ngga izin dulu kalau mau keluar, wahai anak muda?" jawab suara berat dibelakangku yang seketika membuat aku bergidik.

Aku menolehkan kepalaku ke arah kursi tengah dengan cepat.

Saat itu juga, aku melihatnya tengah duduk sambil melipat tangan di depan dada dengan muka mengintograsi.

Aku segera memegangi kepalaku yang tiba-tiba terasa pusing, kemudian mendengus pelan.

Si menyebalkan ini...

Bagaimana mungkin, dia bisa ada di sini?

***











































Continue reading CERBUNG: SAKURAYA (PART 6)

CERBUNG: SAKURAYA (PART 5)


CHICKEN NOODLE 


Quantity is not everything, and everything is relative.

Because, one person who understands you is more than enough...

Than a group of cheerful people who only think about their standard of happiness...

Kenyataan bahwa Rai adalah seorang penderita hapephobia (aku sudah mencari tahu apapun yang berhubungan dengan hapephobia malam itu juga) membuat aku semakin merasa kasihan dengan kondisi Rai. Di sisi lain, sesuai dengan prediksi Dava, Rai jarang sekali keluar dari kamarnya untuk sakadar makan siang bersama ataupun menyapa kami para penghuni rumah.

Sebenarnya, ini juga didukung fakta bahwa kamar tamu memiliki fasilitas yang cukup lengkap seperti kamar mandi dalam, dispenser, dan kulkas mini yang membuat penghuninya tidak perlu repot-repot turun ke lantai satu jika kondisinya tidak penting-penting amat.

Hari ini Dion memasak mie ayam porsi besar untuk makan siang. Namun, dia menyuruhku untuk makan duluan disebabkan ada hal penting yang harus dia kerjakan bersama teman-teman organisasinya.

"Ay, aku pergi dulu ya! Kamu makan duluan ajaa. Mumpung anget!" begitu katanya tadi.

Aku menatap mangkok mie ayamku yang masih penuh, dengan malas. Tadi, aku sempat mampir ke kamar Dava untuk mengajaknya makan siang bersama. Tapi, sepertinya Dava juga sedang tidak ada di rumah karena mengurusi sesuatu yang berhubungan dengan persiapan wisudanya. Kalau kondisinya begini, hilang sudah nafsu makanku.

Kuambil sesuap mie ayam dengan garpu kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Mau tak mau aku harus memakannya karena sudah terlanjur kuracik. Saat aku melahap suapan kedua mie ayamku, semerbak aroma kasturi masuk ke dalam lubang hidungku bercampur dengan bau mie.

Rai turun dari lantai atas dan dan kini tengah berjalan menuju ke arah dispenser dapur. Aku mengamatinya dalam diam.

"Air di kamar habis. Terpaksa aku turun," ujarnya tanpa diminta sambil mengisi botol air berukuran satu liter.

"Aku ngga nanya," ucapku datar.

"Tapi tatapanmu nanya," katanya sambil melihat ke arahku.

Begitu pandangannya bertemu dengan mie ayamku, dia segera menyipitkan mata.

"Spaghetti?"

"Mie ayam." Jawabku pendek.

"Kamu mau?" tanyaku basa-basi. Tentu saja dia akan menjawab tidak mau. Apa sih yang aku harapkan dari seorang Rai?

"Aku boleh?" tanyanya polos di luar perkiraanku. Untuk beberapa saat, aura dingin Rai menghilang digantikan dengan aura balita yang ingin makan bubur tim.

Pertanyaan konyolnya membuat aku terdiam dan merasa kebingungan.

"Kenapa ngga boleh? Tentu aja kamu boleh!" Ucapku pada akhirnya, kemudian segera bangkit dan mengambil mangkok dan garpu dari rak piring.

"Duduk Rai! Kuracikin dulu mie ayamnya..."

"Aku beneran boleh? Kamu ngga papa baik gini ke aku?" tanyanya ragu masih dengan posisi berdiri.

Aku menaruh mie ayamnya yang sudah selesai kuracik dan segera menarik lengan bajunya agar ia duduk di kursi yang berhadapan dengan kursiku.

"Stop talking non sense and just eat!" Seruku sambil kembali duduk.

Rai menatap mie ayamnya bimbang beberapa saat, tapi kemudian pada akhirnya ia mulai memakannya. Ia makan tanpa berbicara satu katapun dan akupun hanya menatapnya dengan pikiran yang begitu campur aduk. Tak butuh waktu lama bagi Rai untuk menghabiskan satu mangkok mie ayam yang ada di hadapannya.

"Mau nambah?" tawarku spontan saat Rai memutar posisi garpunya yang mengartikan bahwa dia telah selesai makan.

"No. Thanks." Jawabnya pendek. Akupun hanya mangut-mangut.

Setelah itu, terjadi keheningan yang cukup lama di antara aku dan Rai. Rai hanya memandang mangkok kosongnya, dan aku hanya memandangi Rai yang sedang memandangi mangkok kosongnya. Karena aku tidak tahan dengan keheningan ini, akupun berinisiatif untuk memulai pembicaraan.

"You know..." Rai tiba-tiba berbicara saat aku baru saja akan membuka mulutku.

"For me, this is the best meal for the past two years..." ucapnya dingin.

"But why for some reasons this thing feels... so bitter?" lanjutnya sambil menatapku dengan pandangan menerawang.

Aku membalas tatapan Rai dalam diam. Ada kesedihan dan penderitaan yang terasa di setiap nada dan sorot mata yang ia tunjukkan.

"Rai..." panggilku pelan. Ada sesuatu yang sedang mengganjal di hatiku dan aku harus segera membicarakannya. Maksudku, mumpung suasananya sedang mellow dan serius begini.

"Apa?" tanyanya dengan suara dan tatapan yang kembali normal seakan dia tidak pernah mengeluarkan kata-kata memilukan seperti barusan.

"Kenapa kamu berpikir yang enggak-enggak?" tanyaku to the point, merangkap ambigu.

"Apanya?"

"Kenapa kamu ragu pas tadi kutawarin mie ayam?"

Yap. Inilah hal penting yang mengganjal di hatiku.

"Emangnya aku punya alasan untuk ngga ragu?" Rai balik bertanya dengan dahi berkerut.

"Kenapa kamu harus cari alasan untuk nggak ragu?"

"Maksud kamu, aku tadi harus langsung bilang iya tanpa mikir-mikir dulu?" Rai tersenyum miring.

"Tolong stop jawab pertanyaanku dengan pertanyaan!" seruku gemas sembari menggigit bibir dengan kesal. Rai yang menyebalkan telah kembali, pemirsah! Menghilang sudah sosok bocah yang kukasihani tadi.

"Sudahlah..." ucapku pada akhirnya. Malas berdebat lebih tepatnya.

"Okay. Sudahlah..." ujar Rai monoton sambil berdiri dan membawa mangkok kotornya ke tempat cuci piring.

Sedetik kemudian, suara pancuran air mendominasi pendengaranku dan akupun kembali sibuk dengan pikiranku. Rai dan tingkah laku abstraknya. Sepertinya aku harus mulai terbiasa dengan kepribadiannya yang sepertinya ganda.

Dan lagi, mengenai ekspresi ragunya tadi ketika kutawari mie ayam. Bukankah sejak awal kami selalu berusaha untuk mengajaknya makan bersama, tapi selalu ditolaknya? Ya, walaupun bukan aku sih yang mengajaknya melainkan Dion.

Namun, mengapa Rai berbicara seolah-olah aku akan keberatan kalau dia ikut makan di rumah ini? Sepertinya ada suatu kesalahpahaman yang terjadi dan itu nampaknya bersumber dari...

"Hei..." Rai melambaikan tangannya ke depan mukaku.

Aku berdecak pelan. Selain karena dia menggangguku yang tengah berpikir dalam, aku benci dengan caranya yang memanggilku dengan sebutan 'Hei'. Walaupun 'Aya' dan 'Hei' sama-sama hanya memiliki tiga huruf, tapi tentu saja itu tidak bisa dipaksakan untuk menjadi sama.

"Apa?" tanyaku tajam.

"Apa biasanya, kau banyak berbicara seperti ini?"

Hah? Apa lagi ini maksudnya?

"Aku biasanya tak banyak berbicara kepada orang lain. Tapi hari ini, semua kata-kata di hatiku seperti keluar begitu saja di hadapanmu, " lanjut Rai dengan muka keheranan. Bingung terhadap dirinya sendiri.

"Apa kau juga begitu?" tanyanya dengan alis terangkat.

Aku menghela nafas pelan. Kini aku tahu apa maksud dari perkataan Rai. Dan sejujurnya, perkataan Rai membuat aku sadar bahwa hari ini aku juga berbicara lebih banyak dibanding biasanya. Bahkan aku repot-repot menawarkan mie ayam kepada orang lain, yang mana itu tidak pernah kulakukan sebelumnya.

Ada apa sebenarnya denganku? Ada apa dengan Rai? Dan ada apa pula dengan mie ayam dingin di depanku yang terlihat begitu keriting dan membuat aku semakin kebingungan?!

"Rai..." ucapku serak.

"Ya?"

"Sepertinya aku berkepribadian ganda," paparku sekenanya pada akhirnya. Setidaknya, kesimpulan ini terdengar sedikit masuk akal di telingaku, dan mari kita jadikan ini sebagai hipotesis sementara.

Atau tidak.

***

Aku butuh liburan. Pastinya.

Malam ini aku memutuskan untuk mengurung diri di kamar bersama dengan sebatang coklat dan setumpuk pemikiran ruwet. Kusimpulkan bahwa penyebab kenapa aku mengalami perubahan menjadi sosok orang yang agak berbeda adalah karena aku sudah terlalu lama mendekam di rumah.

Aku mengambil selembar kertas dan mulai mencatat ke mana saja destinasi yang akan kutuju selama liburan semester ini. Untuk sementara, aku berniat untuk rehat dari berbagai pikiranku, terutama pemikiran yang berhubungan dengan Rai.

Ditengah aktivitasku menulis, aku teringat fakta bahwa aku tidak punya cukup teman untuk kuajak berlibur bersama. Tapi tidak punya cukup teman, bukan berarti aku tidak mempunyai teman sama sekali, kan?

Dengan gerakan cepat, aku meraih ponselku yang sudah kumatikan selama beberapa pekan. Begitu layarnya kunyalakan dan memunculkan wallpaper bergambar sakura, nada masuk whatsapp dan line berbunyi nyaring saling bersautan.

Aku mengecek whatsappku dan menemukan beberapa pesan yang mayoritas berasal dari ibu dan ayah. Tanpa membaca pesan-pesan tersebut terlebih dahulu, aku segera menghubungi seseorang yang mungkin akan segera terkena serangan jantung jika tahu bahwa aku mencoba menghubunginya lebih dulu.

"HALLO AYAAAA! INI BENERAN AYAA? WAH, APA GUA LAGI MIMPI YA?!"

Aku segera menjauhkan ponselku dari telinga begitu mendengar suara melengking Ita.

"Hallow~ ini beneran Aya, kan? Atau Dava yang lagi iseng mainin hape Aya?" sekarang nada Ita terdengar agak ragu dan kaku. Sepertinya ia takut jika yang sedang berbicara dengannya adalah benar-benar Dava.

Aku berdehem beberapa kali.

"Ini Aya, Ta... Bukan Dava," ucapku pelan.

"YA AMPUN AAY! LU KESAMBET APA SAMPAI AKHIRNYA MAU NELPON GUA DULUAN!?" Suara Ita kembali melengking seperti Toa.

"Ta! Kecilin... kuping aku berdengung nih," aku berbisik penuh penekanan. Inilah alasan kenapa aku begitu malas jika harus berbicara dengan Ita melalui telepon.

"Ups, sorry Ay! Habisnya gua kaget banget seorang lu nelpon gua malam-malam begini. Ini pertama kalinya loh, sejak kita berhasil berteman... entah kenapa gua ngerasa... terharu?" Ita membuat suara seolah ia terisak sembari menghirup ingus.

"Berlebihan," ucapku datar.

"Hahahahahahahaha... jadi ada apa nih princess rumahan tetiba telfon gua? Pasti urusan mendesak, kan?"

"Aku... pingin ngajak liburan.." kataku langsung.

"Hah? Serius? Lu... ngajak liburan gua?!" Ita terdengar tak percaya.

"Wah, si Mayang bisa bete berat nih kalo tahu gua diajak liburan sama lu. Secara kan, dia bolak-balik ngajakin lu ke cafe kucing apalah itu tapi lu selalu nolak..." tambahnya dengan nada sedikit tak enak.

"Kamu ngga mau?" simpulku.

"Gua mauuuuuuu banget nget. Tapi..."

"Aku juga bakal ngehubungi Mayang, kok..." ucapku ringan, tahu jelas dengan kekhawatiran yang sedang dirasakan oleh Ita.

"Wew beneran? Kalo gitu mah gua ngga usah khawatir lagiii!" Ita terdengar luar biasa lega.

"So, princess... mau liburan kemana kita? Bali? Singapore? Japan?" kali ini suaranya berubah menjadi super antusias.

"Wait, Ta... aku ngga bisa jauh-jauh..." kataku menyesal. Tak enak dengan Ita yang sudah berekspektasi terlalu tinggi.

"Oiya ya... Lu kan punya dua bodyguard yang super banyak aturan..." paparnya segera paham.

"Jadi, kamu gapapa kalo liburannya deket-deket?" Aku bertanya ragu-ragu. Takut Ita berubah pikiran.

"Ya ampun, Aaay! Ya gapapa laaah. Saaans... Ini kan rencana liburan lu... Lu ajak aja, gua udah seneng bingiiiit!" Ita menyahut dengan gemas.

"So, mau gua temenin kemana, Ay? Gua siap nemenin lu, kemanapun!" Serunya dengan semangat yang membara.

Aku menarik nafas panjang.

"Jadi..."

Dan begitulah. Obrolanku dengan Ita berlangsung cukup lama. Walaupun, ini bisa dibilang lebih seperti obrolan satu arah karena Italah yang sangat mendominasi pembicaraan. Aku tak peduli dengan kupingku yang mulai memanas. Kami begitu antusias merancang rencana liburan kami, sampai-sampai aku tak menghiraukan fakta bahwa ada seseorang yang sepertinya sedang menguping obrolan kami dari balik pintu kamarku.

***



Continue reading CERBUNG: SAKURAYA (PART 5)

Kamis, 25 Juni 2020

Curhatan tentang dunia nulis (Part 1)

Assalamu'alaikum Wr. Wb. 

Hai, semuanya... Apa kabar?  Aku harap kalian semua sehat dan bahagia ya... Jadi, di kesempatan kali ini aku mau curhat. Ini tentang dunia tulis menulis. Belakangan ini aku upload di wattpad cerita SAKURAYA yang merupakan projek terbaruku. Awalnya sih aku hepi2 aja karena merasa bahwa InsyaAllah semua akan berjalan baik2 aja. Tapi makin ke sini, aku jadi mikir... Emang ada orang yg tertarik baca ceritaku? Di liat dari viewsnya jg ga banyak. yg vote jg ga banyak. Apakah ada yg salah sama ceritaku? 

I mean, ini bukan cerita yg lagi hits di pasaran wattpad. Cover cerita ini 
juga bukan cover hot yg bikin orang penasaran terus jadi pengen baca. Tema cerita ini juga cuma tentang kisah romantis yg manis dan ngga melulu tentang cinta2an. Banyak cerita tentang keluarga, trauma, rasa kehilangan, dan hal2 lain dalam kehidupan yang akan dibahas di sini. 

Tapi masalahnya, orang-orang tu ga tertarik sama yang ginian. 
Percintaan romantis ala orang kaya atau percintaan dewasa yg hot itu sepertinya lbh menarik di mata mayoritas. 


Terus, pertanyaannya... 
Sekarang aku harus gimana? 
Nyerah? 

Hmmmmmmm
Nggak deh. Sekarang terlalu dini buat nyerah. 
Aku yakin usaha akan membuahkan hasil walau butuh waktu yg luamaaaa. 

So, buat kalian yg punya masalah mirip2 kayak masalahku... Kalian ngga sendiri gaes. Ada Tuhan, ada kawan, dan ada keluarga yg bakal support kita. 

Aku bakal kasih tau update perkembangan nasib tulisanku di wattpad beberapa waktu lagi InsyaAllah. Mari kita lihat apa yg akan terjadi. 
Bismillah. KITA BISAAAAA. I HAVE NO RIGHT TO GIVE UP!!!!!! 
Continue reading Curhatan tentang dunia nulis (Part 1)

Selasa, 23 Juni 2020

CERBUNG: SAKURAYA (PART 4)

APOLOGIZE



Blood is thicker than rain water.

Whatever the conditions, they will always become reliable brothers.

They will teach you, hug you, and love you...

Forever, till they die...

"Ay... jangan ditusuk-tusuk doang wortelnya! Di makan, dong!" Suara ngebass Dion berhasil membuyarkan lamunanku.

Sekarang kami bertiga sedang duduk melingkari meja makan untuk makan siang. Hidangan hari ini adalah cap cai andalan dion dengan banyak wortel dan brokoli. Dion adalah yang terjago masak kedua dirumah ini setelah ibu. Kemampuan memasaknya sepertinya muncul, karena ia memilih untuk hidup hemat dengan cara masak sendiri selama masa pertukaran pelajar di Jepang.

"Ay!!! Makananan tuh, jangan dimainiin!"

Aku segera menghentikan gerak alat makanku ketika tersadar bahwa aku telah membangun brokoli empat susun di piringku. Pikiranku sekarang benar-benar kacau sampai-sampai aku tidak sadar dengan apa yang telah kuperbuat terhadap brokoli-brokoli cantik ini.

"Sebenarnya kamu lagi mikirin apa sih, Ay?" Dava bertanya serius sambil menyendok brokoli susunku ke piringnya.

"Ngga papa. Nggak penting, kok..." ucapku sambil berusaha berkonsentrasi melahap nasi dan potongan sosis sapi.

"Dan lagi, apa-apaan tadi itu?"

"Apanya?" tanyaku pura-pura tak tahu.

"Suara dari lantai dua. Kayak ada yang banting pintu sama teriak gitu. Tadi ngga sempat kucek soalnya aku lagi sibuk bantu Dion motongin sayur biar cepet kelar."

"Loh, emangnya ada yang begituan tadi? Aku kok ngga denger?! Emang ada apaan Ay di atas?" sahut Dion ikut penasaran.

" Hantu." Jawabku pendek.

"Apaa?!" Dion dan Dava berseru bebarengan.

"Hantu kolong kasur pakai baju putih, yang kata kak Dava itu..." lanjutku misterius.

"Ya?" Dava merasa terpanggil.

"Ternyata memang ada di kamar tamu..." ucapku santai. Toh aku tidak benar-benar berbohong. Memang ada 'hantu' ganteng berbajuh putih di kamar tamu.

"Emangnya ada hantu di kamar tamu, Dav?" kini ganti Dion yang bertanya kepada Dava.

"Ehe.. Itu..." Dava tampak ragu.

"Aku sebenarnya cuma bercanda bilang gitu ke Aya. Soalnya kan Aya parnoan sama hal-hal yang kayak gitu. Etapi kan di kamar tamu sekarang ada Rai, Ay!" Dava menatapku tak mengerti.

"Mungkin Rai nya lagi pake headset sambil merem jadinya ngga tau," jawabku asal.

"Wah kalo ada hantu beneran, gawat nih Dav. Kayaknya kita harus segera panggil pengusir setan! Apa kita kasih garem aja di depan kamar tamu?" Dion mulai panik sambil mengscroll handphone nya untuk mencari kontak seseorang.

"Apaan sih Yon! Udahlah ngga usah dibahas. Aya pasti ngomong ngelantur barusan!" Papar Dava sambil melanjutkan aktivitas makannya.

Walaupun Dava menyuruh kami untuk tidak membahasnya, wajahnya justru menunjukkan bahwa ia masih memikirkannya. Mungkin Dava sedang memikirkan berbagai macam kemungkinan, namun terlalu menganggap tidak masuk akal jika Rai adalah pelakunya.

"Ngomong-ngomong, Rai kok ngga ikut makan, kak?" tanyaku pada Dion.

Aku memang masih kesal kepada Rai. Tapi, aku masih punya sisi kemanusiaan yang tak tega jika mengetahui seseorang dibiarkan kelaparan di saat jelas-jelas ada makanan melimpah yang siap untuk dimakan.

"Oh, Rai... Tadi dia udah kuajak, kok. Tapi dianya nolak dan justru bilang 'ich habe keinen Hunger', gitu..." kata Dion sambil menirukan mimik dingin Rai.

"Emang kakak tau artinya?" tanyaku penasaran.

Aku tidak ingat Dion pernah belajar bahasa Jerman. Kalau Dava yang tahu artinya sih, aku tidak heran.

"Ngga tau artinya kok! Cuma, dari gestur tubuh dan mimiknya... mirip banget kayak Aya pas lagi nolak waktu kuajak makan," jawab Dion dengan tenang. Dia terlihat seperti sedang mengenang sesuatu.

"Emang itu artinya, intinya dia nggak mau makan ya, kak?" tanyaku kepada Dava. Memastikan bahwa Dion tak salah kaprah dan berujung membuat anak orang kelaparan.

"Itu intinya, dia nggak lapar..." jawab Dava menerawang.

"Udah ah, ngga usah dipikirin! Dia beli banyak stok makanan kok tadi. Itu empat dari tujuh kresek yang dia tenteng, isinya makanan semua! Dan juga, kayaknya ada kemungkinan dia ngga bakal keluar kamar beberapa hari dan memilih untuk makan sendiri di kamarnya... Anak itu... kayaknya pikirannya kacau banget!" Dava menghela nafas panjang. Tampak iba dengan kondisi mental yang dialami Rai.

Aku ikut menghela nafas panjang. Pasti beban pikiran Rai sangatlah berat saat ini. Dia harus melihat ibunya meninggal di hadapannya, dan melihat ayahnya meninggal setelah penantian panjangnya. Bisa jadi juga, ia menyalahkan dirinya atas kematian kedua orang tuanya. Ditambah lagi, posisi Rai yang anak tunggal. Dia pasti merasa sebatang kara tanpa ada satupun saudara yang hadir di sampingnya.

Aku menatap kedua kakakku lekat-lekat. Baru kali ini aku merasa sangat beruntung memiliki mereka. Mereka yang selalu ada dan menunjukkan kasih sayang mereka secara terang-terangan. Mereka yang sering menyebalkan, tapi tidak benar-benar pernah menyakitiku.

"Kak..." kataku sedikit terbawa emosi.

"Ya?" kedua kakakku menoleh bebarengan.

"Terimakasih. Aku, sayang kalian..." tambahku tulus.

Dava dan Dion saling bertatapan tak percaya. Dion segera menampar mukanya sendiri, sedangkan Dava menatapku tajam seperti meminta klarifikasi.

"Kamu ngga lagi bercanda kan, Ay? Kok, tiba-tiba..."

"Aku serius. Tapi aku ngga mau ngulangin lagi kata-kataku barusan," ucapku kembali ke mode normal.

Walaupun bingung dengan ucapanku yang tiba-tiba, Dava tetap tersenyum. Terlihat terharu malah. Sedangkan Dion, di luar dugaan, kakakku yang satu itu sudah memasang wajah mewek dan bersiap untuk menangis. Drama sekali, memang!

Aku merasa cukup konyol melihat pemandangan ini. Tapi akupun sama konyolnya, karena mengucapkan hal menggelikan seperti barusan. Di sisi lain, aku cukup merasa lega karena telah mengatakannya. Dengan begitu, setidaknya kedua kakakku tahu. Bahwa, bagaimanapun sikapku kepada mereka, di dalam hatiku, aku tetap menyayangi mereka.

***

Brrrrrrr

Aku menggigil.

Malam ini, udara cukup dingin. Aku memakai penutup kepala hoodieku dan berjalan ke arah bangku balkon yang menghadap ke arah langit. Dari balkon yang terletak di lantai dua, aku bisa melihat sekelompok remaja tengah nongkrong di lapangan RT kompleksku, sambil memakan sekeresek jagung bakar.

Aku tak begitu suka udara malam yang membuat kaki dan tanganku terasa membeku. Aku tak begitu suka duduk di atas kursi balkon, sambil menatap rembulan yang tinggal setengah. Aku juga tak begitu suka suasana malam ini, karena ada beberapa ekor nyamuk yang nimbrung terbang di hadapanku. Tapi mau tak mau, aku harus melakukannya. Aku harus segera meminta maaf dengan benar kepada Rai.

Tadi, setelah makan siang yang cukup 'mengharukan' bersama kedua kakakku, aku segera pergi ke kamar dan menulis surat damai untuk Rai. Kemudian, kuselipkan surat tersebut melalui sela-sela yang ada di bagian bawah pintu kamar tamu.

Di dalam surat itu, aku mengajaknya bertemu di balkon malam ini, agar aku bisa meminta maaf dengan benar. Di sampimg, untuk meluruskan prasangka Rai terhadapku yang sepertinya keliru. Kupilih waktu ini karena, hanya di jam-jam inilah Dava dan Dion akan sibuk dengan urusannya masing-masing dan tidak akan kepikiran untuk mengusikku.

Aku yakin sekali Rai akan datang menemuiku. Bukannya aku terlalu percaya diri. Tapi, aku memang sangat ahli dalam melakukan trik persuasif kepada orang lain melalui tulisan tangan.

"Hei! Ist es dringent? (Jerm: Apakah ini mendesak?)"

Rai muncul dari pintu balkon dengan wajah ditekuk. Panjang umur sekali dia.

Aku tersenyum tipis menanggapi pertanyaannya (walaupun aku sama sekali tak tahu apa artinya kecuali bagian 'hei' nya). Sudah kubilang aku ini ahli persuasi. Es batu saja bisa datang kepadaku jika berhasil dibujuk!

"Hai, Rai... Sini, duduk!" ucapku sambil menepuk bangku lain di sampingku.

Rai tetap bergeming di posisinya. Dia tak mau duduk di sampingku.

"Udahlah, cepetan! Aku ngga mau buang-buang waktu!" Katanya tajam.

Aku menghela nafas dan fokus menatap Rai. Bau kasturi tercium semerbak memasuki lubang hidungku.

"Aku cuma mau minta maaf."

"Untuk apa?" tanya Rai sangsi.

"Semuanya," jawabku sungguh-sungguh.

"Aku ngga ada maksud."

"Apanya?" Rai mengernyitkan dahi.

"Aku ngga ada maksud menyinggung matamu..."

"Lalu?" tanya Rai dengan nada mengintograsi.

"Aku hanya takjub dan mengaguminya."

"Lalu?"

"Tanpa sadar aku ingin memotretnya," kataku jujur.

"Lalu?"

"Aku tidak akan melakukannya lagi," ucapku pada akhirnya.

Dalam kondisi begini, aku memang harus mengatakan apa yang ingin didengar oleh lawan. Ini namanya trik anti debat. Biasanya, aku menggunakan trik ini ketika ada anak-anak perempuan yang mendatangiku untuk minta dikenalkan kepada Dava dan Dion. Ya, walaupun konteks obrolannya jauh berbeda dengan yang sekarang.

Brrrrrrrrr

Semilir hembusan angin yang cukup keras, berhasil membuat aku terlonjak dan menggigil. Aku memang sangat sensitif terhadap udara dingin.

"Kenapa?"

"Dingin banget!" seruku merapatkan penutup hoodieku yang sempat melorot.

Dahi Rai berkerut. Dia memandangku dengan aneh seolah aku ini adalah alien.

Melihat reaksi tersebut, akupun balik mengamatinya dengan heran. Malam ini pakaian Rai bisa dibilang sangat flu-able. Maksudku, bagaimana mungkin dia bisa muncul di balkon malam-malam, dengan kaos pendek hitam dan celana tidur garis-garis yang keliatannya tipis banget?

Selain itu, bahkan dia tidak memprediksikan bahwa akan ada sepasang nyamuk yang hinggap di lengan putihnya dan dengan rakus menghisap darahnya.

Duh, dasar nyamuk-nyamuk jahat! Kalau begini kan aku jadi tidak sabar untuk menabok kalian! Kutepuk pelan aja kali, ya? Toh, niatku baik!

Pak!

PLAAAK!

Aku terlonjak kaget sampai posisiku kini sudah berdiri. Kupegangi telapak tanganku yang tadi ditepis keras oleh Rai erat-erat. Telapak tanganku yang tadinya terasa dingin, kini ganti terasa panas dan perih.

"KAMU NGAPAIN, SIH?" Rai menatapku benci sambil memegangi lengannya yang tadi kupukul pelan.

"Berlebihan banget... Kamu yang ngapain? Barusan aku cuma mukul nyamuk di lenganmu..." ucapku berusaha untuk terdengar tenang. Padahal setengah mati badanku bergetar, dan aku yakin itu bukan sekadar karena dingin udara malam.

"Sakit loh, Rai. Kamu ternyata, kasar yah..." aku berkata miris sambil berbalik dan berjalan menuju pintu keluar balkon.

Damai apanya? Dia loh yang kali ini mulai... Dasar, sensitif banget!

"Tunggu!" Suara Rai yang mengandung sedikit rasa bersalah, segera berhasil menghentikan langkahku.

Aku membalikkan badan dan menatapnya ingin tahu.

Mari kita dengarkan apa yang akan dikatakan si menyebalkan ini setelah dengan kerasnya ia memukul tangan seorang gadis lemah yang baik hati.

"Sorry..." ucap Rai pendek sambil sedikit menunduk.

Aku tersenyum tipis. Mahluk ini bisa minta maaf juga rupanya.

"Kenapa kamu mukul tanganku?" tanyaku meminta penjelasan.

"Aku kaget."

"Tapi tadi keras banget!"

"Itu juga salahmu! Seharusnya kamu nggak pernah nyentuh aku!" Rai sekarang ganti menyalahkanku.

"Hah? Kenapa?" Aku menatapnya geli seakan dia adalah brokoli yang ada di masakan Dion.

"Itu... aku... " Rai tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Tak apa, katakan saja! Aku tak akan marah kalau ucapanmu masuk akal..." ucapku lugas.

"Kamu mungkin akan menganggapku sedang bercanda..."

"Ya?"

"Tapi, aku adalah seorang penderita hapephobia..." lanjut Rai pelan. Ada nada tersiksa di dalam kalimatnya.

"Kamu, hape apa?" aku berusaha memastikan perkataannya.

Takut-takut telingaku salah dengar dikarenakan udara malam.

"Hapephobia!" Seru Rai lebih keras.

Aku terdiam sesaat.

Apa itu hapephobia? Apa maksud Rai, ia phobia hape?

Aku menatap kedua mata Rai lekat-lekat. Berharap, akan ada kebohongan yang aku temukan di kedua sinar bola matanya. Beberapa detik kemudian, aku mengalihkan pandanganku ke arah langit malam. Rai tidak berbohong. Sayangnya, dia berkata yang sebenarnya.

***



























Continue reading CERBUNG: SAKURAYA (PART 4)

Jumat, 19 Juni 2020

CERBUNG: SAKURAYA (PART 3)

BAD NEWS! 



The moon loves night. But, sakura hates it...

Sakura loves sunlight. But the moon hates it...

Sakura and the moon…  Will they be all right?

Aku menutup laptopku dengan kasar. Akhirnya tugas UASku selesai!

Terimakasih banyak untuk pidato panjang Dava. Berkat dia, aku gagal membututi Rai dan bisa segera mengerjakan tugas UAsku. Ya, walaupun itu butuh waktu yang sangat lama. Menumpuknya pikiran di otakku membuat kinerjaku meurun tiga kali lipat dan meningkatkan kemampuan melamunku lima kali lipat.

Tadi,  setelah Dava tahu isi surat yang dikirimkan Raya, dengan cepat ia mendudukkanku kembali ke ranjangnya dan memberiku segudang wejangan.

“Nanti kalo ada Raya, jangan terlalu dekat-dekat. Kalo ada aktivitas penting yang mau dilakukan bareng Raya, harus izin ke aku dulu. Kamu tahu kan, Raya suka sama kamu?! Oh, Tuhan!  Kenapa adikku harus seperti bidadari sih, sampai banyak yang deketin!!! Bisa Gila, akuuuu!” Dava mengeraskan suaranya dengan frustasi.

Ucapan Dava sebenarnya mengandung dua kesalahan. Pertama, aku tidak seperti bidadari. Kedua, tidak banyak yang mendekatiku karena ada dua macan over protective yang akan mencakar mereka jika mereka berani dekat-dekat. Dan Raya adalah salah satu yang ternekat.

Ceramah panjang Dava begitu membuat telingaku panas. Aku terus menyebut kata UAS sebagai alasan untuk kabur, tapi Dava tidak mau menggubrisnya.

“Dava Prasetya!” Ucapku penuh penekanan.

Dava membatu. Dia sadar bahwa ketika aku menyebut namanya tanpa embel-embel kakak, itu berarti dirinya sudah melakukan sesuatu yang kelewatan.

“Ah… Maaf…” bisiknya sembari menunduk.

“Aku harus UAS. Kakak paham?” ujarku melunak, tak tega melihat wajah bersalahnya.

Dava hanya terdiam. Dia tampak menyesal.

Tak ingin buang-buang waktu, akupun segera berdiri dan meluncur ke lantai atas.

Begitulah drama yang terjadi tadi siang (menjelang sore) sebelum aku bisa sampai di kamarku.

Krucuk…  krucuk

Kudengar perutku berbunyi cukup keras. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku belum makan apapun dari tadi siang.

“Ah, iya! Roti dan susu!” Seruku seraya mengambil susu cokelat pemberian Dion.

Tiga jam yang lalu, Dion datang ke kamarku untuk mengajak makan malam.

“Ay, ayo makan malam dulu! Semua udah pada kumpul di ruang makan soalnya ada hal penting yang mau ayah dan ibu omongin,” begitu katanya.

Tapi karena aku sedang 'keasyikan' ngelamun (disambi mengerjakan UAS), akupun menolak dan membawa-bawa kata ‘deadline’ sebagai alasannya. Untungnya, Dion mau mengerti.

Sebagai ganti keabsenanku di acara makan malam tersebut, Dion membawakanku roti dan susu.

“Buat ganjel perut,” ucapnya ceria.

“Nanti sebelum tidur, kakak bakal balik ke sini lagi buat beritahu kamu tentang obrolan kami. Sekalian juga buat nanyain kamu, barangkali laper dan mau dimasakin sesuatu...” kata Dion sambil membuka lemariku. 

Dikeluarkannya sebuah jaket tebal dan sepasang kaos kaki katun. Kemudian, ia meletakkan benda-benda tersebut di atas meja belajarku.

“Nih, dipake! Kamu kan gampang kedinginan...” Ucapnya tadi sebelum pergi meninggalkan kamar.

Aku memasukkan sedotan dan segera meminum habis susu cokelat kemasanku. Sekotak susu cokelat merupakan senjata yang ampuh untuk membuatku kenyang dan mengantuk.

Kurebahkan kepalaku di atas meja belajar. Udara begitu dingin, tetapi aku terlalu mager untuk memakai jaket yang diserahkan oleh Dion tadi.

“Aku capek.”

“Tapi gaboleh tidur,” gumamku.

“Kak Dion mau ngomongin sesuatu katanya,” bisikku semakin pelan.

Setelah itu, mataku semakin berat dan kesadaranku perlahan hilang. Bayangan buku-buku di hadapanku mulai mengabur dan kemudian semua menjadi gelap. Malam itu, aku bermimpi naik pesawat terbang.

*** 
Aku terbangun setelah mendengar deruan keras suara motor bebek yang lewat di depan rumahku. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi.

Gawat! Aku ketiduran!

Dan lagi, kenapa aku bisa ada di atas kasur dan selimutan tebal begini?

Apa jangan-jangan, di kolong kasur ini ada hantu baik?

Dengan rambut berantakan belum disisir, aku segera beranjak menuju ke dapur. Susu cokelat semalam masih menyisakan rasa manis, dan aku butuh air untuk menetralkannya.

Di dapur, aku tak melihat siapapun. Biasanya di waktu ini, ibuku akan memasak berbagai kudapan dan sarapan yang aromanya tercium sampai ke rumah tetangga.

Aku mengambil air dan duduk di meja makan untuk meneguknya.

“Oh, Ay! Sudah bangun?!”

Dion tiba-tiba muncul dari arah ruang keluarga dan menyapaku.

“Enak tidurnya?” tanyanya sambil bergabung di meja makan menghadapku.

“Mana yang lain?” ucapku tak menghiraukan pertanyaannya.

Dion tersenyum.

“Dava lagi keluar nganterin Rai beli berbagai kebutuhan di supermarket dekat pasar. Kalo ibu dan ayah, sudah pergi ke bandara dari jam enam tadi…”

Dion mengambil apel yang ada di atas meja dan menyodorkannya di depan hidungku.

“Mau?” tanyanya seakan tidak ada yang salah dengan pernyataannya barusan.

“Hah? Bandara?” tanyaku tak menghiraukan pertanyaan Dion untuk kedua kalinya.

“Kok bisa?”
Aku memegangi kepala tak habis pikir. Kenapa ibu dan ayah tidak pamit kepadaku?

Dion menarik apel yang dia tawarkan kepadaku, kemudian menggigitnya.

“Jadi ceritanya, ayah ada panggilan penelitian dari Jepang. Terus kalau urusan di Jepang udah kelar, ayah sama ibu mau ke Jerman buat nyari tahu tentang keberadaan kerabat Rai beserta hal-hal lain yang emang harus dicari tahu.”

Krauk...

Dion menggigit apelnya lagi.

“Semalem, aku datang ke kamarmu… Tapi kamunya udah tidur. Karena takut lehermu sakit, kamu kupindahin deh ke atas kasur. Dan… sekalian kubungkus selimut biar ngga kedinginan,” ujarnya santai.

Mari kita abaikan fakta bahwa Dionlah yang memindahkan adiknya yang sudah berumur 20 tahun ke atas kasur. Disamping, sebenarnya aku cukup bersyukur tentang kenyataan bahwa untungnya tidak ada hantu baik yang mendekam di bawah kolong kasurku.

“Kenapa ibu dan ayah ngga bangunin aku?” ucapku lanjut bertanya seraya berusaha menghilangkan semua bayangan mengenai hantu baik.

“Mereka gak tega. Kamu keliatan capek dan pules banget tidurnya...”

Dion bangkit, kemudian berjalan ke kulkas dan membukanya.

“Mau dimasakin apa?” tanyanya.

“Berapa lama perginya?” tanpa sadar, aku mengabaikan pertanyaan Dion untuk ketiga kalinya.

Satu kali lagi, dan pasti aku akan dapat piring cantik!

“Bisa satu bulan, atau lebih,” jawabnya sabar sembari menutup pintu kulkas.

Aku terlonjak pelan. Tentu saja aku kaget. Bagaimana bisa kedua orang tuaku tega meninggalkanku sendiri bersama dengan dua kakak cowokku yang menyebalkan, serta satu cowok asing yang bikin perasaanku tak enak setiap kali aku dekat-dekat dengannya? Jangan-jangan, mereka juga belum tahu mengenai rencana Raya yang akan berkunjung ke rumah ini 6 hari lagi?

Kepalaku berdenyut keras. Sepertinya aku mendadak terkena serangan migrain.

“Kami pulaaaaang!”

Dari kejauhan, kudengar Dava berteriak sembari masuk ke dalam rumah. Di belakangnya, Rai tampak berjalan susah payah dengan tujuh buah tas kresek belanjaan bergantungan di kedua lengannya. Aku tahu bahwa Rai sepertinya punya tubuh yang cukup kuat karena beberapa otot lengannya terlihat sedikit menonjol. Tapi, bukankah cukup keterlaluan melihat Dava yang hanya menenteng dua tas kresek belanjaan sisanya?

“Wah… borong apa nih?” papar Dion basa-basi begitu Dava dan Rai sampai di hadapan kami.

Mendengar itu, Rai tak menjawab dan malah berbalik ke arah tangga. Kemudian, ia naik ke lantai atas sambil menenteng semua tas kresek belanjaannya.

“Bahkan aku harus diabaikan oleh orang asing jugaaaa?”

Bibir Dion mengerucut sebal. Ia tampak tak terima karena selain aku, ada orang lain yang juga berani mengabaikan pertanyaannya.

“Sabar, Yon… Entar aku ajarin sopan santun deh tu anak. Mungkin, itu kebiasaan dia bersikap selama di Jerman. Untuk sementara, kita dulu yang kudu ngertiin dia. Emosi dia lagi gak stabil, Yon…” ucap Dava berusaha meredakan rasa kesal Dion.

“Ah… oke…” jawab Dion berusaha mengerti.

Setelah itu, Dava ganti menatapku dan tersenyum. Sepertinya dia berusaha melupakan kejadian kemarin.

“Tidurmu nyenyak, Ay?” tanyanya lembut.

“Ya, lumayan…” jawabku yang segera di sambut pelototan lebar dari Dion.

“Aya jahat aaah. Tadi aku tanya, enggak di jawaab!” rengeknya gemas.

“Makasih Kak Dion… Berkat kakak, tidurku jadi nyenyak!” sahutku cepat sembari menepuk pelan bahu kanannya.

Aku tidak ingin Dion lebih berisik lagi.

“Awwww… Aya-ku emang manis banget, deh!” ucapnya sambil akan memelukku, yang untungnya segera digagalkan oleh tarikan tangan Dava.

Aku menatapnya dengan ngeri.

“Kak, aku izin ke atas dulu ya,” kataku pada akhirnya sambil beranjak pergi ke arah tangga.

“Loh kok ke atas? Kakak kan masih mau ngobrol sama kamu…” Dava tampak tak rela.

“Mau dimasakin apa, Ay?” sahut Dion ketika aku sudah sampai di anak tangga ke empat.

“Terserah!” Jawabku pendek.

Ketika aku sudah sampai di penghujung tangga, kudengar samar-samar Dion berkata kepada Dava, “Andalannya pasti kata terserah. Wanita memang sulit dimengerti ya, Dav!”

Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Dion. Senyum tipis adalah yang kubisa sejauh ini setelah berlatih tersenyum dengan cara menonton ribuan video bayi panda dan koala yang menggemaskan.

Sesampainya di lantai atas, aku tak langsung masuk ke kamar. Ada yang perlu kusampaikan kepada Rai, dan itu adalah permintaan maaf.

Tok tok tok

Kuketuk pintu Rai perlahan.

Semoga nanti dia tidak mengabaikanku!

Tiga kali ketukan, dan aku tidak mendengar jawaban apapun. Aku hampir saja menyerah dan berniat untuk pergi. Namun seperti yang terjadi di drama-drama, di saat aku akan beranjak pergi, pintu tersebut terbuka perlahan.

Dari balik pintu, tercium aroma kasturi yang cukup keras. Rai muncul dengan pakaian yang sama (minus masker, sarung tangan, dan topi bassball) dengan yang ia gunakan saat pulang dari supermarket tadi. Dia memakai kaos lengan panjang putih dan celana jeans. Di kakinya masih terpasang sepasang kaos kaki berwarna putih.

Aku sedikit terkejut ketika mendongak memandangi wajah Rai. Gen blasteran, memang luar biasa!

Ini pertama kalinya aku melihat wajahnya dengan amat jelas. Kemarin siang, aku hanya fokus kepada warna bola matanya dan mengabaikan hal lainnya. Tadipun ketika di dapur, wajahnya tak begitu jelas karena tertutup topi dan juga masker hitam.

 Secara keseluruhan, gen Asia dan Eropa yang dimiliki oleh Rai terlihat menyatu dengan seimbang. Kulit Rai amat sangat putih. Tidak pucat seperti wajahku, wajahnya memiliki sedikit semu merah di beberapa bagian. Hidungnya mancung dan bibirnya merah tipis. Rambutnya cokelat bergelombang dan sangat serasi dengan warna bola matanya yang juga cokelat.

Tunggu, duluKenapa bola matanya bisa berwarna cokelat?

Kemana perginya mata perak berkilauan yang kukagumi kemarin?

“Aku pakai soflens!  Kau mau apa?  Mengincar mataku lagi!?”

Ucapan sinis Rai, seketika menghancurkan observasiku terhadap wajah indahnya. Ia tampak seperti sedang membaca pikiranku. 

“Ah… aku… cuma...” jawabku takut-takut.

“Jangan ketuk pintu ini lagi and please don’t disturb me, again!” Rai menatapku dingin.

Aku menggigil. Seram sekali raut wajahnya. Bahkan, akupun sampai tidak bisa berkata apa-apa!

Melihatku tak bereaksi, Rai menghela nafas, kemudian menutup pintu dengan kasar.

“Go away!” teriaknya dari dalam kamar.

Bantingan pintu dan teriakan Rai sepertinya cukup keras. Karena setelah itu, kudengar suara Dava berteriak dari lantai bawah menanyakan tentang kehebohan apa yang sedang terjadi. 

Namun aku tak bisa menjawab pertanyaan Dava. Aku hanya mematung di depan pintu. Kini otakku berusaha mencerna sesuatu. Hari ini, pertama kalinya dalam hidup, seorang laki-laki berani mengusirku.

***






























Continue reading CERBUNG: SAKURAYA (PART 3)

Rabu, 17 Juni 2020

CERBUNG: SAKURAYA (PART 2)

    HIS EYES

   Past is just a past. Time will erase your sadness. Don’t worry. There will be a bright future for everyone who tries a lot.

       Aku merupakan salah satu pencinta warna-warna alam seperti pelangi, bulan, matahari, bunga-bunga, dan pegunungan. Sering kali aku menyendiri di kamar berjam-jam, hanya untuk melukis pemandangan yang telah kupotret sebelumnya. Lukisan-lukisan tersebut kemudian akan kumasukkan ke kotak harta karunku untuk kemudian kulihat lagi di saat aku sedang ingin menghibur diri.

       “Indah sekali!” Begitulah kata yang otomatis keluar dari bibirku setelah kulihat warna bola mata Rai.

       Aku pernah membaca di sebuah artikel, mengenai bola mata-bola mata yang langkah di muka bumi ini. Pada saat itu, aku sangat takjub dan terkagum-kagum akan kuasa yang dimiliki oleh Tuhan.

       Tapi tetap saja, tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding melihatnya secara langsung, bukan?

       “Boleh kupotret?” tanpa pikir panjang, aku mendekat ke tempat Rai duduk dan menunjuk ke arah bola matanya.

       Mata Rai mengerjab beberapa kali. Itu membuat bola matanya yang berwarna perpaduan hitam dan perak seperti permata, menjadi berkilauan akibat terkena cahaya matahari yang berasal dari kaca jendela kamar tamu.

       Rai kemudian berdiri. Aku baru sadar bahwa dia tinggi sekali. Lebih tinggi dari Dava yang memiliki julukan tiang bendera, malah.

       Dia menundukkan wajahnya dan menatap mataku lekat-lekat seperti menilai sesuatu. Setelah itu, dia tersenyum kecut.
“Kau,” katanya dingin.

       “Ya?”

       “Tak tahu malu, ya?” lanjutnya dengan tajam dan segera sukses membuat aku terlonjak dan mundur beberapa langkah.

       Hah? Apa itu barusan? Aku dibilang tak tahu malu hanya gara-gara izin memotret matanya? Huh, kejam sekali perkataannya. Kalau tidak mau kan bisa tinggal bilang tidak!

       Aku segera berbalik dan pergi keluar dari kamar itu. Rai masih terus berdiri dan sepertinya masih mengawasiku.

       Dengan kesal, aku berjalan cepat menuruni anak-anak tangga. Sudah hilang moodku untuk mengerjakan UAS. Dibanding UAS, ada hal penting lain yang ingin kuketahui.

       Kulewati ruang keluarga yang kosong dengan terburu-buru. Nampaknya Dion, sudah kembali ke kamarnya atau pergi kelayapan entah kemana.

Tok.. tok.. tok..

       Kuketuk pintu kayu kamar Dava keras-keras. Bukannya apa, sering kali Dava sedang mendengarkan musik dan tidak mendengar siapapun yang memanggil atau mencarinya.

       “Kak, aku boleh masuk?”

       “Kak?” tanyaku pada pintu bisu.

       Karena tak ada suara sautan, maka akupun nyelonong masuk saja. Di sana, Dava sedang duduk di depan meja belajar yang membelakangi pintu. Dia tengah mempelajari sesuatu dari sebuah buku tebal. Di telinganya, terpasang sepasang earpods yang menjadi penyebab dia tidak dapat mendengarku tadi.

       “Kak,” Aku menepuk pundaknya pelan.

       “Eh ada tamu kehormatan. Tumben nih, Ay?” Senyum Dava segera mengembang begitu dia memutar kursinya dan mendapatiku ada di dalam kamarnya.

       “Ada yang mau aku omongin.”

       Aku berjalan menuju ranjang Dava dan segera mencari posisi duduk yang nyaman. Davapun bangkit dari kursinya dan ikut duduk di sampingku.

       “Tentang apa?” tanyanya sambil melepas earpords dan memasukkannya ke kantung kemeja.

       “Mata perak,” ucapku pelan, takut-takut Rai punya pendengaran super.

       “Maksud kamu, Rai?” Dava menimpali dengan tenang tanpa repot-repot mengecilkan suara.

       Sia-sia sekali usaha pengaturan suaraku barusan.

       “Ah, kakak udah tahu?” tanyaku tak kaget. Tentu saja Dava tahu. Dia pasti sudah mengintograsi ayah habis-habisan. Konyol juga aku yang masih memastikannya.

       “Apa yang ingin kamu ketahui, Ay?” ujarnya menghiraukan pertanyaanku dan ganti menatapku lembut.

       “Semua.”

       “Tentang mata perak?” tanyanya sambil mengangkat tangan seperti hendak mengelus rambutku, tetapi kemudian menurunkannya lagi. Sepertinya dia baru ingat bahwa aku benci disentuh, teruma di bagian kepala.

       “Tentang Rai,” ucapku yakin.

       Memang benar ada sesuatu tentang diri Rai yang ingin kuketahui lebih jauh mengingat aura kami yang terasa hampir sama.

       Dava menggeleng. Mulutnya mengerucut.

       “Seingetku kamu ngga pernah pingin tahu apapun tentang aku deh, Ay. Aku cemburu nih, ” katanya menarik-narik ujung lengan sweaterku manja.

       “Jijik!” Kuhentakkan lenganku pelan.

      Kalau sudah seperti ini, Dava telah berubah wujud dari si pintar menjadi si menggelikan.

       “Hahahahah...  Oke… oke…  akan kuberitahu poin pentingnya aja ya, Ay. Kamu tidak perlu tahu banyak tentang Rai dan jangan terlalu mencari tahu. Aku harap kamu juga tidak terlalu dekat dengannya. Walaupun aku yakin kamu juga ngga bakal tertarik untuk dekat-dekat dengan laki-laki apalagi yang modelan begitu...”

       Modelan? Haha. Seperti dia tahu seleraku saja. Kadang kakakku ini memang sangat sok tahu. Ya, walaupun aku juga belum benar-benar mengerti seleraku dan aku juga belum terlalu memikirkannya.

       Dava menarik nafas pelan dan menghembuskannya panjang. Itulah kebiasaan Dava jika akan berbicara panjang lebar. Akupun segera mempertajam pendengaranku, berharap tidak ada detail yang terlewati. Kadang kala otak dan mulut Dava berlomba ketika berbicara, sehingga tak jarang terdengar seperti ngerap.

       “Jadi Ay, seperti yang kita ketahui, ada beberapa kasus tentang warna bola mata unik yang ada di dunia ini. Bola mata perak yang dimiliki Rai, merupakan salah satu yang terlangkah. Warnanya perak, karena memiliki kadar melamin yang sangat kecil, dan warna tersebut didapat murni sejak dia lahir. Mulai sekarang, kamu harus mulai terbiasa melihatnya, Ay…” papar Dava sambil mengambil bantal dan menaruhnya di pangkuannya.

       “Kalau kamu ingin tahu kenapa ayah membawa Rai ke sini, salah satu alasannya adalah karena bola mata itu,” ujarnya tampak menerawang.

       “Kenapa?”

       “Karena banyak yang mengincarnya, tentu saja. Banyak yang mengincar Rai. Entah untuk bisnis di dunia model, hiburan, ataupun penelitian, ” papar Dava dengan nada seolah itu adalah hal yang wajar.

       “Kenapa ayah peduli?” Aku tak habis pikir.

       Ya. Kenapa ayah peduli?  Memangnya siapa Si Rai ini? Aku sama sekali tak ingat punya saudara jauh bernama Rai atau Raian, ataupun Raimon.

       “Kedua orang tua Rai adalah sahabat ayah ketika masih bersekolah di Osaka University. Ayah Rai orang Jepang dan Ibunya Orang Jerman. Mereka berdua merupakan pecinta bahasa dan budaya Indonesia, sehingga bisa berteman baik dengan ayah, ” ucap Dava sambil memindahkan bantal di pangkuannya ke pangkuanku.

       “Dua tahun lalu, seseorang menyelinap ke rumah mereka di Jerman. Mendatangi kamar Rai, dan berusaha menculiknya. Orang tersebut mengincar Rai karena matanya. Pada saat itu, kedua orang tua Rai berusaha mati-matian untuk menyelamatkannya.”

       Dava terdiam beberapa menit. Aku pun ikut terdiam menunggu kelanjutannya.

       “Lalu?” pada akhirnya, aku bertanya dengan tidak sabar. Terlalu lama ia terdiam. Aku paling tak suka jika digantung seperti ini. Dikira drakor apa, ya?

       Dava mengambil bantal lainnya di belakang punggung dan menaruhnya di pangkuannya.

       Dia menutup matanya dramatis lalu berkata, “Penculiknya bawa pistol. Ibu Rai ketembak dan meninggal di tempat. Ayahnya selamat, tapi harus jatuh koma karena juga sempat tertembak.”

       “Ah…” gumamku bingung harus bereaksi bagaimana.

       Cukup mengejutkan ketika mengetahui bahwa Rai ternyata memiliki masa lalu yang sungguh memilukan. Sempat menyesal aku karena tadi sudah mengecap buruk dirinya. Mungkin saja aku secara tak sengaja telah menyinggungnya. Sepertinya aku harus segera meminta maaf.

Deg!

       Aku menunduk sebentar. Berusaha merasakan perasaan asing yang tiba-tiba muncul di dadaku. Ini lebih tidak mengenakkan dari pada saat tahu bahwa seseorang membicarakanmu di belakang. Ya, aku memang harus minta maaf. Secepatnya!

       “Untungnya…” kudengar Dava lanjut berbicara.

       “Untungnya penjahatnya langsung ketangkep hari itu juga. Tapi Rai ngalamin trauma parah. Kasihannya lagi, ayahnya meninggal dua hari lalu setelah mengalami koma yang panjang. Itu kenapa, ayah kita langsung bawa Rai ke sini,” ucapnya sambil memindahkan bantalnya ke pangkuanku. Lagi!

       Sebenarnya, sedang apa sih dia? Acara estafet bantal?

       “Keluarganya yang lain?” tanyaku berusaha fokus tanpa menghiraukan Dava yang kini ganti menaruh guling di pangkuannya.

       “Itu dia yang lagi ayah usahain. Ngelacak keberadaan keluarganya yang lain. Tapi itu ngga gampang, Ay!  Butuh banyak waktu. Rai nya juga ngga mau jawab waktu ditanyain tentang itu,” jawabnya sembari berdiri dan memindahkan guling dari pangkuannya ke pangkuanku yang sudah penuh.

       Aku membiarkannya. Sudah kebal aku dengan tingkah aneh orang-orang di rumah ini.

       “Oiya, Ay!” serunya tiba-tiba.

       “Udah dulu deh ceritanya. Kamu bukannya lagi UAS hari terakhir? Udah kelar?” tanya Dava dengan nada ringan ke arah wajahku yang setengah tertutup guling.

        Sepertinya dia heran kenapa aku bisa santai-santai di kamarnya padahal sekarang hari terakhir UAS.

       “Bewum, niw maw,” mulutku yang tertutup guling melontarkan kalimat yang tidak jelas.

       “Hahahahaha… Kamu ngomong apa sih, Ay? Gemes banget! Dari dulu reaksimu masih lambat, ya… udah tau bantal guling numpuk, tapi ngga dipindahin! Kalo gini kan aku jadi ketagihan godain kamu,” Dava mendekat dan memelukku dengan pembatas bantal guling.

       Hal cheesy apa lagi neh. Iyuh

       “Lepasin,” ucapku setelah berhasil menekan ujung guling yang menutup mulutku.

       “Loh, kenapa?  Jarang-jarang loh kakak peluk kamu,” Dava terkikik pelan, masih sambil memelukku (beserta bantal guling)  erat-erat.

       Aku mendengus kasar. Dasar,  menyebalkan!

       “Aku udah gede, kak. Geli!”

       Dava tak menyahut.

       Sebagai gantinya, dia melepaskan pelukannya dan ganti berdiri menghadapku. Dipindahkannya menara bantal guling yang ada di pangkuanku sambil tersenyum. Kali ini senyumnya tidak jahil, dan akupun sangat bersyukur atas itu.

       “Ay… kamu sampai kapanpun akan jadi adik kecil kesayangan kakak. Bunga sakura yang polos, manis dan nggemesin. Sampai kapanpun! Kalau bisa, kamu jangan nikah dan selalu jadi lovely princess di keluarga ini, ya?” tatap Dava hangat.

       Aku tahu bahwa Dava tulus. Tapi sayangnya, kehangatan itu justru membuat aku sedikit menggigil. Lovely princess apaan Aku kan lebih mirip Sadako yang doyan menggerutu!

       Aku terdiam sebentar. Bingung mau menjawab apa. Tidak mungkin kan, aku menyahut dengan ‘Makasih, kakak ganteng,’ atau ‘uh, aku terharu sekali,’ yang nggak aku banget.

       “Kak, udah ya. Mau UAS.”

       Pada akhirnya, dua kalimat itu yang keluar dari mulutku sebagai tanggapan untuk kata-kata manis Dava.

       Setelah mengatakannya, aku segera berdiri dan berjalan keluar kamar. Ingin rasanya aku menghilang secepatnya dari hadapan kakakku sebelum mendengar kata-kata yang lebih cheesy lagi.

       Baik Dava, maupun Dion. Keduanya sama saja. Si duo caper yang sering bikin aku ingin kabur kalau mereka sedang di mode menye-menye.

       Ketika aku sudah sampai di bibir pintu kamar Dava, kulihat seseorang menuruni anak tangga dan berjalan menuju pintu depan. Penampilan orang itu sangatlah aneh. Dengan masker, jaket,  sarung tangan dan topi bassball hitam. Heran, deh. Kenapa tidak sekalian pakai kaca mata hitam biar lebih mirip penguntit? Maksudku, biar totalitas gitu, loh.

       Walaupun aku tidak bisa melihat wajahnya, aku sangat tahu bahwa itu adalah Rai (dilihat dari proporsi tubuhnya yang waw, tinggi banget!).

       Ah, iya! Aku kan, mau minta maaf! Bodoh amatlah sama UAS. Nanti aja ngerjainnya mepet-mepet. Biasanya juga bakal  melimpah rua idenya kalau ngerjainnya mepet

       Aku bermonolog di dalam hati dan membulatkan tekad untuk mengikuti Rai. Tapi sebelum itu, sepertinya…

       “Ay!” Panggil Dava dari dalam kamar.

       Dasar, kerang ajaib!

       Tuh, kan. Firasatku benar. Pasti dipanggil lagi, deh. Pantas saja aku sempat merasa telingaku gatal.

       “Iya, kak?”

       Aku berbalik dan berjalan masuk ke dalam kamar Dava. Semoga saja aku tidak sampai kehilangan jejak Rai.

       “Apa, Kak?  Buruan!” ucapku cepat.

       “Segitunya ya, pingin ngerjain UAS? Hahaha,” Dava terbahak.

       Apanya sih yang lucu? Selera humornya memang sekelas teri. Cepetan dong, ah!

       “Buruan!” Aku berkata tak sabar.

       Gemas bin sebel banget deh, rasanya. Sumpah!

       “Iya… iya, princess… Sabar! Kakak cuma mau ngasihin ini, nih. Titipan dari Raya… Dikirim langsung dari Korea,” Dava menyerahkan sebuah kaus kaki bulu berwarna pink pucat yang terbungkus plastik bening motif sakura.

       Aku speechless. Kenapa harus pink dan berbulu lagi, sih? 

       “Maaf ya, kakak buka duluan. Habisnya takut Si Raya ngirimin yang aneh-aneh. Jadi, terpaksa deh…” ucapnya tidak enak sambil memandangi kaus kaki tersebut.

       “Etapi boleh juga pilihan Si Raya, cocok banget sama kamu!” Dava tersenyum senang.

       Aku mendengus. Sekarang bukan waktunya mengagumi benda berbulu ini. Aku harus segera pergi mengejar Rai, tahu!

       “Terimakasih,” ucapku akhirnya, bersiap untuk berbalik.

       “Ay, tunggu!  Ada suratnya, tuh!” Tunjuk Dava antusias. Aku yakin Dava belum membukanya karena menghargai privasiku.

       “Dibaca dulu, Ay. Bentar aja. Di sini,” ucap Dava dengan nada sedikit memaksa. Kekepoannya sepertinya kumat.

       Kalau sudah begitu, aku tak punya pilihan lain selain membuka surat tersebut dan membacanya. Jika tidak, Dava akan terus menagihku sepanjang hari untuk membacanya dan sungguh, itu sangat menjengkelkan!

       Syukurlah cukup setengah menit waktu yang kubutuhkan untuk membacanya.

      Tapi, yang jadi masalah sekarang adalah isi dari surat ini. Isi yang mengisyaratkan kepadaku, bahwa akan datang satu masalah lagi di rumah ini. Masalah besar bernama Raya. Dan percayalah, nama lengkap masalah tersebut adalah Indonesia Raya.

***























Continue reading CERBUNG: SAKURAYA (PART 2)