The moon loves night. But, sakura hates it...
Sakura loves sunlight. But the moon hates it...
Sakura and the moon… Will they be all right?
Aku menutup laptopku dengan kasar. Akhirnya tugas UASku selesai!
Terimakasih banyak untuk pidato panjang Dava. Berkat dia, aku gagal membututi Rai dan bisa segera mengerjakan tugas UAsku. Ya, walaupun itu butuh waktu yang sangat lama. Menumpuknya pikiran di otakku membuat kinerjaku meurun tiga kali lipat dan meningkatkan kemampuan melamunku lima kali lipat.
Tadi, setelah Dava tahu isi surat yang dikirimkan Raya, dengan cepat ia mendudukkanku kembali ke ranjangnya dan memberiku segudang wejangan.
“Nanti kalo ada Raya, jangan terlalu dekat-dekat. Kalo ada aktivitas penting yang mau dilakukan bareng Raya, harus izin ke aku dulu. Kamu tahu kan, Raya suka sama kamu?! Oh, Tuhan! Kenapa adikku harus seperti bidadari sih, sampai banyak yang deketin!!! Bisa Gila, akuuuu!” Dava mengeraskan suaranya dengan frustasi.
Ucapan Dava sebenarnya mengandung dua kesalahan. Pertama, aku tidak seperti bidadari. Kedua, tidak banyak yang mendekatiku karena ada dua macan over protective yang akan mencakar mereka jika mereka berani dekat-dekat. Dan Raya adalah salah satu yang ternekat.
Ceramah panjang Dava begitu membuat telingaku panas. Aku terus menyebut kata UAS sebagai alasan untuk kabur, tapi Dava tidak mau menggubrisnya.
“Dava Prasetya!” Ucapku penuh penekanan.
Dava membatu. Dia sadar bahwa ketika aku menyebut namanya tanpa embel-embel kakak, itu berarti dirinya sudah melakukan sesuatu yang kelewatan.
“Ah… Maaf…” bisiknya sembari menunduk.
“Aku harus UAS. Kakak paham?” ujarku melunak, tak tega melihat wajah bersalahnya.
Dava hanya terdiam. Dia tampak menyesal.
Tak ingin buang-buang waktu, akupun segera berdiri dan meluncur ke lantai atas.
Begitulah drama yang terjadi tadi siang (menjelang sore) sebelum aku bisa sampai di kamarku.
Krucuk… krucuk…
Kudengar perutku berbunyi cukup keras. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku belum makan apapun dari tadi siang.
“Ah, iya! Roti dan susu!” Seruku seraya mengambil susu cokelat pemberian Dion.
Tiga jam yang lalu, Dion datang ke kamarku untuk mengajak makan malam.
“Ay, ayo makan malam dulu! Semua udah pada kumpul di ruang makan soalnya ada hal penting yang mau ayah dan ibu omongin,” begitu katanya.
Tapi karena aku sedang 'keasyikan' ngelamun (disambi mengerjakan UAS), akupun menolak dan membawa-bawa kata ‘deadline’ sebagai alasannya. Untungnya, Dion mau mengerti.
Sebagai ganti keabsenanku di acara makan malam tersebut, Dion membawakanku roti dan susu.
“Buat ganjel perut,” ucapnya ceria.
“Nanti sebelum tidur, kakak bakal balik ke sini lagi buat beritahu kamu tentang obrolan kami. Sekalian juga buat nanyain kamu, barangkali laper dan mau dimasakin sesuatu...” kata Dion sambil membuka lemariku.
Dikeluarkannya sebuah jaket tebal dan sepasang kaos kaki katun. Kemudian, ia meletakkan benda-benda tersebut di atas meja belajarku.
“Nih, dipake! Kamu kan gampang kedinginan...” Ucapnya tadi sebelum pergi meninggalkan kamar.
Aku memasukkan sedotan dan segera meminum habis susu cokelat kemasanku. Sekotak susu cokelat merupakan senjata yang ampuh untuk membuatku kenyang dan mengantuk.
Kurebahkan kepalaku di atas meja belajar. Udara begitu dingin, tetapi aku terlalu mager untuk memakai jaket yang diserahkan oleh Dion tadi.
“Aku capek.”
“Tapi gaboleh tidur,” gumamku.
“Kak Dion mau ngomongin sesuatu katanya,” bisikku semakin pelan.
Setelah itu, mataku semakin berat dan kesadaranku perlahan hilang. Bayangan buku-buku di hadapanku mulai mengabur dan kemudian semua menjadi gelap. Malam itu, aku bermimpi naik pesawat terbang.
Gawat! Aku ketiduran!
Dan lagi, kenapa aku bisa ada di atas kasur dan selimutan tebal begini?
Apa jangan-jangan, di kolong kasur ini ada hantu baik?
Dengan rambut berantakan belum disisir, aku segera beranjak menuju ke dapur. Susu cokelat semalam masih menyisakan rasa manis, dan aku butuh air untuk menetralkannya.
Di dapur, aku tak melihat siapapun. Biasanya di waktu ini, ibuku akan memasak berbagai kudapan dan sarapan yang aromanya tercium sampai ke rumah tetangga.
Aku mengambil air dan duduk di meja makan untuk meneguknya.
“Oh, Ay! Sudah bangun?!”
Dion tiba-tiba muncul dari arah ruang keluarga dan menyapaku.
“Enak tidurnya?” tanyanya sambil bergabung di meja makan menghadapku.
“Mana yang lain?” ucapku tak menghiraukan pertanyaannya.
Dion tersenyum.
“Dava lagi keluar nganterin Rai beli berbagai kebutuhan di supermarket dekat pasar. Kalo ibu dan ayah, sudah pergi ke bandara dari jam enam tadi…”
Dion mengambil apel yang ada di atas meja dan menyodorkannya di depan hidungku.
“Mau?” tanyanya seakan tidak ada yang salah dengan pernyataannya barusan.
“Hah? Bandara?” tanyaku tak menghiraukan pertanyaan Dion untuk kedua kalinya.
Dion menarik apel yang dia tawarkan kepadaku, kemudian menggigitnya.
“Jadi ceritanya, ayah ada panggilan penelitian dari Jepang. Terus kalau urusan di Jepang udah kelar, ayah sama ibu mau ke Jerman buat nyari tahu tentang keberadaan kerabat Rai beserta hal-hal lain yang emang harus dicari tahu.”
Krauk...
Dion menggigit apelnya lagi.
“Semalem, aku datang ke kamarmu… Tapi kamunya udah tidur. Karena takut lehermu sakit, kamu kupindahin deh ke atas kasur. Dan… sekalian kubungkus selimut biar ngga kedinginan,” ujarnya santai.
Mari kita abaikan fakta bahwa Dionlah yang memindahkan adiknya yang sudah berumur 20 tahun ke atas kasur. Disamping, sebenarnya aku cukup bersyukur tentang kenyataan bahwa untungnya tidak ada hantu baik yang mendekam di bawah kolong kasurku.
“Kenapa ibu dan ayah ngga bangunin aku?” ucapku lanjut bertanya seraya berusaha menghilangkan semua bayangan mengenai hantu baik.
“Mereka gak tega. Kamu keliatan capek dan pules banget tidurnya...”
Dion bangkit, kemudian berjalan ke kulkas dan membukanya.
“Mau dimasakin apa?” tanyanya.
“Berapa lama perginya?” tanpa sadar, aku mengabaikan pertanyaan Dion untuk ketiga kalinya.
Satu kali lagi, dan pasti aku akan dapat piring cantik!
“Bisa satu bulan, atau lebih,” jawabnya sabar sembari menutup pintu kulkas.
Aku terlonjak pelan. Tentu saja aku kaget. Bagaimana bisa kedua orang tuaku tega meninggalkanku sendiri bersama dengan dua kakak cowokku yang menyebalkan, serta satu cowok asing yang bikin perasaanku tak enak setiap kali aku dekat-dekat dengannya? Jangan-jangan, mereka juga belum tahu mengenai rencana Raya yang akan berkunjung ke rumah ini 6 hari lagi?
Kepalaku berdenyut keras. Sepertinya aku mendadak terkena serangan migrain.
“Kami pulaaaaang!”
Dari kejauhan, kudengar Dava berteriak sembari masuk ke dalam rumah. Di belakangnya, Rai tampak berjalan susah payah dengan tujuh buah tas kresek belanjaan bergantungan di kedua lengannya. Aku tahu bahwa Rai sepertinya punya tubuh yang cukup kuat karena beberapa otot lengannya terlihat sedikit menonjol. Tapi, bukankah cukup keterlaluan melihat Dava yang hanya menenteng dua tas kresek belanjaan sisanya?
“Wah… borong apa nih?” papar Dion basa-basi begitu Dava dan Rai sampai di hadapan kami.
Mendengar itu, Rai tak menjawab dan malah berbalik ke arah tangga. Kemudian, ia naik ke lantai atas sambil menenteng semua tas kresek belanjaannya.
“Bahkan aku harus diabaikan oleh orang asing jugaaaa?”
Bibir Dion mengerucut sebal. Ia tampak tak terima karena selain aku, ada orang lain yang juga berani mengabaikan pertanyaannya.
“Sabar, Yon… Entar aku ajarin sopan santun deh tu anak. Mungkin, itu kebiasaan dia bersikap selama di Jerman. Untuk sementara, kita dulu yang kudu ngertiin dia. Emosi dia lagi gak stabil, Yon…” ucap Dava berusaha meredakan rasa kesal Dion.
“Ah… oke…” jawab Dion berusaha mengerti.
Setelah itu, Dava ganti menatapku dan tersenyum. Sepertinya dia berusaha melupakan kejadian kemarin.
“Tidurmu nyenyak, Ay?” tanyanya lembut.
“Ya, lumayan…” jawabku yang segera di sambut pelototan lebar dari Dion.
“Aya jahat aaah. Tadi aku tanya, enggak di jawaab!” rengeknya gemas.
“Makasih Kak Dion… Berkat kakak, tidurku jadi nyenyak!” sahutku cepat sembari menepuk pelan bahu kanannya.
Aku tidak ingin Dion lebih berisik lagi.
“Awwww… Aya-ku emang manis banget, deh!” ucapnya sambil akan memelukku, yang untungnya segera digagalkan oleh tarikan tangan Dava.
Aku menatapnya dengan ngeri.
“Kak, aku izin ke atas dulu ya,” kataku pada akhirnya sambil beranjak pergi ke arah tangga.
“Loh kok ke atas? Kakak kan masih mau ngobrol sama kamu…” Dava tampak tak rela.
“Mau dimasakin apa, Ay?” sahut Dion ketika aku sudah sampai di anak tangga ke empat.
“Terserah!” Jawabku pendek.
Ketika aku sudah sampai di penghujung tangga, kudengar samar-samar Dion berkata kepada Dava, “Andalannya pasti kata terserah. Wanita memang sulit dimengerti ya, Dav!”
Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Dion. Senyum tipis adalah yang kubisa sejauh ini setelah berlatih tersenyum dengan cara menonton ribuan video bayi panda dan koala yang menggemaskan.
Sesampainya di lantai atas, aku tak langsung masuk ke kamar. Ada yang perlu kusampaikan kepada Rai, dan itu adalah permintaan maaf.
Tok tok tok
Kuketuk pintu Rai perlahan.
Semoga nanti dia tidak mengabaikanku!
Tiga kali ketukan, dan aku tidak mendengar jawaban apapun. Aku hampir saja menyerah dan berniat untuk pergi. Namun seperti yang terjadi di drama-drama, di saat aku akan beranjak pergi, pintu tersebut terbuka perlahan.
Dari balik pintu, tercium aroma kasturi yang cukup keras. Rai muncul dengan pakaian yang sama (minus masker, sarung tangan, dan topi bassball) dengan yang ia gunakan saat pulang dari supermarket tadi. Dia memakai kaos lengan panjang putih dan celana jeans. Di kakinya masih terpasang sepasang kaos kaki berwarna putih.
Aku sedikit terkejut ketika mendongak memandangi wajah Rai. Gen blasteran, memang luar biasa!
Ini pertama kalinya aku melihat wajahnya dengan amat jelas. Kemarin siang, aku hanya fokus kepada warna bola matanya dan mengabaikan hal lainnya. Tadipun ketika di dapur, wajahnya tak begitu jelas karena tertutup topi dan juga masker hitam.
Secara keseluruhan, gen Asia dan Eropa yang dimiliki oleh Rai terlihat menyatu dengan seimbang. Kulit Rai amat sangat putih. Tidak pucat seperti wajahku, wajahnya memiliki sedikit semu merah di beberapa bagian. Hidungnya mancung dan bibirnya merah tipis. Rambutnya cokelat bergelombang dan sangat serasi dengan warna bola matanya yang juga cokelat.
Tunggu, dulu! Kenapa bola matanya bisa berwarna cokelat?
Kemana perginya mata perak berkilauan yang kukagumi kemarin?
“Aku pakai soflens! Kau mau apa? Mengincar mataku lagi!?”
Ucapan sinis Rai, seketika menghancurkan observasiku terhadap wajah indahnya. Ia tampak seperti sedang membaca pikiranku.
“Ah… aku… cuma...” jawabku takut-takut.
“Jangan ketuk pintu ini lagi and please don’t disturb me, again!” Rai menatapku dingin.
Aku menggigil. Seram sekali raut wajahnya. Bahkan, akupun sampai tidak bisa berkata apa-apa!
Melihatku tak bereaksi, Rai menghela nafas, kemudian menutup pintu dengan kasar.
“Go away!” teriaknya dari dalam kamar.
Bantingan pintu dan teriakan Rai sepertinya cukup keras. Karena setelah itu, kudengar suara Dava berteriak dari lantai bawah menanyakan tentang kehebohan apa yang sedang terjadi.
Namun aku tak bisa menjawab pertanyaan Dava. Aku hanya mematung di depan pintu. Kini otakku berusaha mencerna sesuatu. Hari ini, pertama kalinya dalam hidup, seorang laki-laki berani mengusirku.
***



0 komentar:
Posting Komentar