Dunia ini penuh warna. Ada hitam ,putih, juga warna- warna
yang menyilaukan mata. Tapi satu. Ya, satu warna yang mana aku tak tahu apa
maknanya…
Abstrak.
***
Jun. Begitu aku mengenalnya. Dia adik kelasku. Lebih
tepatnya, adik karibku. Perawakannya bidang. Atletis dengan wajah indo yang
bisa dibilang tanpa cela. Tinggiku mungkin hanya sebatas cuping
hidungnya. Tapi, aku tahu bahwa ia menghormatiku dari tatapan matanya. Matanya
unik dengan bola mata berwarna biru tua. Salah satu anugerah dari banyak
anugerah luar biasa yang diberikan Tuhan kepadanya.
Kulit putihnya tak pucat. Bersinar seperti model iklan
pembersih muka. Giginya rapi alami. Tak ubah menyunggingkan senyuman manis yang
melehkan siapa saja yang melihatnya. Otaknya tak bisa diragukan lagi. Begitu
pula keahliannya akan musik, olahraga,seni dan lainnya. Multitalenta. Itu kesimpulanku.
Tak seperti kebanyakan primadona umumnya, Jun tak tebar pesona.
Justru ia dingin. Aku bisa melihat dari matanya. Senyumnya memang tetap
tersungging. Tapi matanya beku. Beriringan dengan suara bergetarnya ketika
menolak satu persatu hidangan cinta dari para gadis.
Tapi apa dikata, kodrat manusia tak ubahnya memang
tersangkut pada lembah cinta. Lembah cinta yang bisa membuat siapa saja
termasuk Jun, bertingkah berbeda dan lebih bergairah.
“Aku sedang termakan buih cinta, Kak Ud... Ini kali kedua
setelah dulu di masa SMP aku pernah merasakannya.” Ucapnya ketika kutanya ada
apa dengan perubahan wajahnya pagi itu.
Ya. Awalnya aku tenang-tenang saja setelah mendengarnya.
Senang karena akhirnya dia bisa merasakan cinta. Senang ketika melihat senyum
itu makin berkembang tajam di atas wajah pangerannya. Tapi. Ya, mau bagaimana
lagi. Ketenangan itu dirasa tak bisa bertahan lama. Seiring berjalannya
waktu, ada sebersit kekhawatiran wajar yang menggema dan merasuk ke dalam
jiwaku.
Bagaimana jika ia ternyata mencintai gadis yang sudah
terngiang dalam mimpiku sejak lama? Bagaimana? Apakah itu mungkin? Mungkinkah?
Kalau ternyata iya…lalu memangnya aku bisa apa? Aku dan Jun… kita tidak setara.
Batinku semakin memburu bersamaan dengan senyum kecut
di atas wajahku. Seiring berjalannya waktu, Jun makin terlihat sumringah ketika
bercerita tentang "Si Dia” kepadaku.
Aku tahu ia sangat bahagia. Atau lebih dari sekadar bahagia.
Tapi hatiku makin gundah. Walau aku tak tahu siapa yang ia maksud, hatiku tetap
saja meraung- raung parau. Perutku terasa melilit ketika merasakan kemungkinan
besar bahwa aku akan kalah.
Pasti
sakit, rasanya.
***
Pagi itu aku memastikan sesuatu. Memastikan takdirku.
Memastikan bahwa dua hati itu belum terekat terpaut jadi satu. Pagi itu aku
datang tak beberapa lama setelah Sang Mentari mengintip dibalik dua gunung
bertiupkan angin yang terasa dingin menusukku dan hatiku.
Gadis pujaanku itu selalu
datang lebih pagi. Membersihkan kelas. Menata bunga segar berkanvas di setiap
meja guru. Ia teman sekelas Jun. Di saat aku mendatanginya, wajahnya cerah
dengan rona pipi berlesung nan alamiah. Tarikan nafasnya lembut berintonasi
khas. Aku tersenyum kaku.Berbasa- basi cukup lama dengannya, sampai akhirnya,
sampailah aku pada tujuan utamaku.
“Dek Din, kamu nggak ada rasa kan sama Jun?” paparku cepat
sembari menunduk.
Sejenak
aku ragu sudah mengatakannya.Tentu dia bingung kenapa tiba- tiba aku bertanya
tentang hal semacam itu. Dengan detak jantung yang semerawut, kuberanikan diri melihat perubahan air mukanya. Detik
itu juga, senyum yang kuusahakan tetap tersungging, rasanya sirna seketika.
Lemas nian melihat rona pipi itu bersemu makin marum disaat kusebut nama Jun
tadi. Segera kutelan ludahku dan kugigit bibirku keras- keras. Rasa amis pekat
terasa di ujung lidahku. Aku tidak boleh menangis. Betapa bodohnya aku.
Harusnya aku tahu sedari awal. Tentu saja tak ada gadis yang mati hatinya,
dikala bertemu manusia berwujud malaikat semacam Jun.
Ah,
betapa…
***
Siang ini aku sakit. Demam dengan hati yang lebih dari
mendidih. Sedari pagi aku berusaha menghindari Jun. Melihat wajah berbinarnya
saja aku sudah mual. Setidaknya, di poli ini, aku bisa merasa lebih tenang.
Berpikir jernih dan berusaha melupakan apa itu yang namanya cinta.
Kupejamkan mata perlahan. Berusaha keras menghilangkan
bayang- bayang Jun, juga Din, gadis pujaanku. Tapi, baru lima menit berlalu.
Ketenanganku dirasa terusik sudah ketika mendengar suara itu.
“
Waah… ada Kakak. Kebetulan sekali… Hei, Kak! Kakak sakit apa?”
Kubuka mataku dengan lelah.
Kenapa ia harus datang kemari ,sih?
“Jun, ada apa kau kemari?” Aku bertanya hambar sembari
menerawang. Kududukkan tubuhku sejajar dengan duduknya.
“Oh… ini… Aku memang biasa kemari untuk minum obat penetral,
Kak. Oh, iya... Kebetulan kakak di sini. M… ada yang ingin aku sampaikan
tentang m…. dia yang biasa kubicarakan itu...” Jun berkata malu- malu sembari
menyodorkan sebuah gelang dengan jejeran tiga huruf arab berwarna perak. Ada
alif, dal dan nun.
Ah… itu lagi. Aku sudah tahu, Jun. Kau memang menyukai Adin.
Gadis pujaanku itu. Tapi melihat gelang itu… Bukankah kau seolah semakin
menyayatku?
“Jaga dia Jun… Adin gadis yang baik.” Ujarku pada akhirnya.
Mengalah. Setelah lama bergulat meruntuk batinku.
Tapi, aneh dirasa aneh. Ekspresi Jun tiba- tiba berubah jadi
bingung. Seperti ia hendak berkata, namun diurungkannya. Wajahnya kini memerah
seperti wajah para gadis China. Ada apa dengan Jun?
“Kak…
ini bukan nama Adin…” Paparnya pelan seraya menepuk punggung tanganku.
Tepukan itu seakan dialiri listrik yang melaju cepat
memutari saraf, juga otakku. Sebersit pikiran naas berkelebet menghantam, juga
menggelitik keras di pikiranku. Kulihat ujung kepala tertunduknya yang tengah
basah bermandikan peluh.Bulu kudukku dirasa meremang di saat kutatap gelang
yang disodorkannya sekali lagi. Dan semuanya terasa jelas setelah kubaca nama
bungkusan obat langkah yang tengah terkapar di atas meja di sampingku.
Tidak… Aku menyadari, sesuatu…
Detik itu juga aku bangkit dan berlari ke arah pintu yang
ternyata sudah dalam keadaan terkunci bisu. Jun mendekat ke arahku yang kini
berdiri dan bergetar kaku.
“
Jun… apakah itu benar? Itu tidak benarkan? Jun, jawab!!! ITU TIDAK
BENARKAN??” aku berteriak histeris beriringan dengan langkah Jun yang semakin
dekat menghampiriku.
Dia tertawa. Seolah berubah wujud menjadi iblis yang sedang
bergairah. Wujud malaikat itu, kini hilang seketika. Mata biru itu, kini seolah
berubah menjadi merah dengan sirat yang menggembur.
Aku terduduk lemas di saat jarakku dan dia hanya bekisar
satu kepalan tanganku. Aku menutup mata dan tak tahu harus melakukan apa. Kini
yang kutahu hanya satu. Tak semua perawakan malaikat akan selamanya menjadi
malaikat. Warna bersinarpun tak akan selamanya menjadi bersinar. Abstrak. Dia
akan jadi abstrak yang memuakkan.
Namaku
Udin. Alif, dal dan nun. Dan..
percayalah… Aku lah saksi dari seorang laki-laki bernama Jun. Laki- laki
berpenyakit akut yang mengkhawatirkan.
Homoseksual.
(edited)
***
(Zilfania
AM-pernah dimuat di majalah Do It)


0 komentar:
Posting Komentar