Klontang…
Bruk…
Brak….
“Aw…”
Ya, itu aku. Suara keempat itu milikku setelah sebuah kaleng
peyok sukses sudah menghantam pelipisku yang kini berdenyut- denyut tak karuan.
Entah aku yang lemah atau apa, hantaman keras kaleng itu cukup ampuh membuat
aku, yang kata teman-temanku cukup kekar ini, terguling ke belakang. Tubuhku
menghantam daratan aspal yang menganga penuh kerikil di dalamnya.
Aku meraih kaleng itu dan menggenggamnya dengan geram. Ingin
sekali rasanya aku berteriak dan meluapkan emosiku di depan mahluk yang tega
melemparkan ini dan berhasil mencetakkan gol di pelipisku. Aku menunduk.
Berusaha untuk bersabar karena sadar bahwa hari ini aku tengah berpuasa.
Selagi aku menunduk, mengatur nafas dan terus beristighfar,
sesosok gumpalan daging berlari menghampiriku. Ralat. Bukan gumpalan daging.
Bisa dibilang, lebih tepatnya ia adalah sesosok manusia berkostum sapi milkita
dengan totol coklat tua yang berbentuk tak karuan. Sapi milkita itu
menghampiriku dan mengulurkan tangan. Aku pun menyambut uluran tangan sapi itu
dengan suka rela. Aku mengenalnya.
“ Maafkan aku. Aku gak sengaja nendang kaleng itu tadi...
aku….”
Sebelum
sapi tadi sempat meneruskan pidato rasa bersalahnya, dengan sigap kubuka
penutup sapi totol coklat itu sembari mengecup kening pemilik kostum sapi aneh
itu.
“Gak papa kok Dek. Gak sakit. Kamu gak usah sedih gitu,
dong. Sekarang Mas malah khawatir. Kamu kabur dari rumah lagi ya?”
Sang pemilik kostum sapi itu tersenyum lega. Menunjukkan
sepasang lesung pipi yang cukup dalam di atas kulit putihnya yang lebih
terkesan pucat. Kalau saja bukan karena bibirnya yang merah ranum, mungkin saja
semua orang yang baru melihatnya, menerka- nerka bahwa gadis berjilbab jingga
itu tengah mengidap suatu penyakit kronis yang bisa membuatnya ambruk
kapan saja. Walaupun itu tak sepenuhnya salah.
“Maafkan aku ya, Mas… sampai luka gitu…”
Ekspresi
gadis itu tiba- tiba berubah suram. Mungkin karena ia baru menyadari akan luka
memar yang berhasil ia lukis di pelipisku. Tak lama kemudian, dia terisak.
Dasar memang mahluk hati kapas yang super lembut ini. Tak kasihankah ia kepada
diriku yang bisa menjadi tersangka kalau saja aku dan dia pulang bersama,
dengan dia yang sedang menangis. Bapak bisa menghakimiku nanti.
“Aduh Dek… Mas gak papa kok. Jangan nangis lagi. Bukan
salahmu kok… Jangan nangis lagi, ya… ya…”
Aku mengatur nafasku agar tetap teratur. Posisi kami kini
berada di tengah kompleks perumahan elite. Segerombolan ibu muda berjalan
melewati kami sembari sesekali berbisik dan menatap tajam ke arahku dan menatap
iba ke arah adikku yang rapuh itu. Kami memang hanya berbeda satu tahun dan
wajah kami memang tidak terlalu mirip. Tapi, tidak bisakah orang- orang
mengerti bahwa akupun kadangkala menderita jika harus dituduh sebagai seorang
laki- laki yang tega membuat seorang perempuan lemah menangis. Please deh, bu. Dia itu adikku.
A-D-I-K-K-U. Jadi, bisakah kalian bersikap sewajarnya saja dan berusaha berhusnudhan kepadaku?
“Dek… wes, jangan
nangis. Pulang aja, yuk. Ini
bukan salahmu kok. Suwer deh, Dek….”
Aku
berusaha memeluknya dan menepuk-nepuk pundaknya lembut. Kali ini, abang- abang
bakso kumisan yang ganti menatap wajahku dengan ekspresi apakah-anda-masih-waras
yang berlebihan.
“Kalau bukan salahku, jadinya ini salah siapa, Mas?” Suara
adikku bergetar kaku.
Walau umurnya sudah genap enam belas tahun, namun sikapnya
tak jauh beda dengan anak SD usia tujuh tahun. Aku maklum. Mungkin karena semua
orang tak terkecuali aku yang terus memanjakanya dan memperlakukannya tak ubah
seperti anak SD yang tak mandiri. Bukannya apa, tapi semua itu kami lakukan
karena penyakit kanker paru-paru yang kini sedang diderita oleh adikku. Dokter
bilang, umurnya tak mungkin bisa mencampai angka dua puluh lima tahun. Ia tak
pernah tahu tentang hal itu. Sedih, memang.
“Mas, jangan bengong. Jawab dulu pertanyaanku. Kalau bukan
aku yang salah, lalu siapa?”
Aku tersadar mendengar pertanyaan adikku yang terdengar
memaksa. Aku berpikir keras, tak tahu harus menyalahkan siapa. Tapi untungnya,
tak lama kemudian sebuah ide cemerlang melintas cepat di otakku.
“Ini salah orang yang minum dari kaleng ini, Dek.” Aku
memungut kaleng itu dan menjulurkannya tepat di depan hidung adikku.
“ Loh, kok?” Adikku menatapku ragu. Matanya melebar, mencari
penjelasan.
“Ya udah, kalau
mau tahu selengkapnya, kita duduk- duduk dulu di gardu itu yuk! Gak enak di sini. Dilihatin sama orang-
orang yang lewat.”
Aku
menepuk-nepuk pipi adikku lembut. Memang tak enak jika aku terus mengobrol
dengannya dalam posisi seperti ini. Apalagi ketika aku menyadari bahwa kini
seorang tukang cendol terus-terusan mencuri pandang ke arah kami. Ditambah
lagi, seorang tukang jamu gendong paruh baya yang nyaris tersandung ketika
mendapat pelototan hebat dariku.
Habisnya…. Risih kan, kalau dilihatin gitu…
Untungnya adikku tak protes ketika aku mengajukan usul itu.
Jadi, sekarang di sinilah kami. Duduk di bawah gardu berkanopi bambu yang
cukup ya, berkesan. Dengan sarang semut dan tawon yang jumlahnya cukup
menakjubkan.
“Jadi begini Dek, orang yang minum dari kaleng inilah yang
salah. Karena dia tidak mau membuang kaleng tersebut di tempat yang benar. Jadi
kamu yang menendang kaleng ini bisa dibilang sebagai korban.” Aku memulai
pembicaraan dengan penuh semangat.
“Oh begitu ya, Mas…” Adikku mangut- mangut.
“Tak cuma itu, Dek. Si pemilik kaleng ini juga salah karena
ia membeli minuman yang berkaleng. ”
“Loh kok?” Adikku memutar bola mata coklatnya. Ia tampak
semakin tak mengerti.
“Ia… Adek tahu, kan. Di zaman modern ini semua yang ada
memang serba instan. Makanan di plastikin. Dikasih styrofoam. Minuman juga
dibotolin. Dikalengin. Ikan juga sudah tak sesegar dulu. Dibekukan lalu dikalengin.
Makannya…”
“Lalu hubungannya apa Mas?” Adikku mulai gemas. Bibirnya
mengerucut hebat.
“Sabar dong, Dek… sabar…. Hubungannya, semua kaleng dan
plastik itu tidak ada satupun yang bisa diuraikan dan dimanfaatkan untuk
menjadi penyubur bagi tanah. Selain itu… sampah- sampah dari kaleng dan plastik
yang terus menumpuk, jika tidak didaur ulang dengan benar, maka dapat
menyebabkan berbagai penyakit dan juga bencana seperti…”
“Banjir!” Adikku berteriak lantang seperti habis memenangkan
lotre.
“ Benar.. .nah, itu kamu tahu!” Aku tersenyum simpul.
“Tapi mas, kalau aku pikir, itu bukan kesalahan yang beli
dong. Tapi, kesalahan pabrik yang bikin. Mereka jahat sekali, ya!”
Aku tersenyum geli. Kali ini sambil menepuk kepala adikku
perlahan. Sekarang aku mulai tahu jalan pikiran manusia yang seperti malaikat
ini.
“Benar juga sih Dek…. Tapi, pabrik itu tidak sepenuhnya
salah. Mereka hanya bekerja karena permintaan para konsumen. Pencipta dari
kaleng dan plastikpun kakak rasa tidak bermaksud jahat kepada siapapun. Justru
mereka berniat untuk mempermudah pekerjaan manusia.”
“Lalu, bagaimana polisi, tentara dan hakim? Tidak inginkah
mereka menangkap dan menghukum para pembuang sampah yang sembarangan itu?
Bukankah membuat banjir dan sebagainya adalah suatu kejahatan, Mas? Dan lagi,
apa yang akan dilakukan para kyai dan para pendakwah? Apakah mereka akan diam
saja dan tidak ceramah besar-besaran menanggapi masalah ribet ini, Mas?”
Mataku terbelalak dan spontan terdengar kata ‘hah’ yang cukup keras terlontar dari bibirku.
Tak pernah kusangka adikku berpikir sejauh itu. Aku terharu sekaligus merasa
bersalah. Betapa jahatnya aku yang terus memperlakukan ia hanya sebatas adik
perempuan yang butuh dimanja. Maafkan kakak gantengmu, ini ya dik…
“Mmm… kalau itu sih, Mas kurang tau, Dek. Itu bukan urusan
kita. Jadi…”
“Oh….oh…oh…” terdengar adikku ber ‘Oh ‘ ria dan sekarang
tampaknya ia tengah berusaha menyimpulkan sesuatu.
“Aku pikir Mas tahu segalanya. Padahal selama ini aku
menganggap Mas seperti ibu guru yang tahu segalanya.” Wajah adikku tiba- tiba
berubah suram. Aku merinding. Dia terus menatapku dengan tatapan sendu
ala sadakonya.
“Eits… eits..eits…”
Aku memainkan ibu jariku di depan hidungnya. Berusaha untuk bersikap biasa
saja. Padahal sebenarnya ngeri setengah mati mendapati tatapan mautnya.
“Jangan salah! Atas izin Allah SWT, Mas memang banyak tahu
tentang ya….banyak hal. Dan dijadikan perantara oleh-Nya untuk mengajarimu,
Dek. Tetap anggap Mas ibu gur… eh, bapak guru maksudnya… oke!?”
Adikku bergumam pelan. Mimiknya terlihat menimang-nimang
apakah ia harus mempercayaiku atau harus menganggap ucapanku omong kosong.
“Oke, Mas!” Jawabnya kembali ceria. Aku bersorak dalam hati.
Mudah sekali merubah suasana hati adikku yang satu ini.
“Dek… karena kamu sudah kembali percaya… kamu boleh deh,
kasih Mas satu pertanyaan lagi. Tapi ini pertanyaan terakhir ya….”
“M… oke Mas!” Ucapnya sembari mencondongkan tubuhnya ke
arahku, lalu tersenum.
“Kalau peran Aku, Mas, teman- teman Mas, juga remaja yang
sering minum dari kaleng- kaleng itu apa dong Mas? Emangnya kita bisa ngelakuin
apa?”
Oke, cukup. Sekarang dengan mantap aku bisa menyimpulkan
kalau adikku ternyata memang cukup cerdas. Pertanyaannya cukup membuat aku
tertohok tepat di sasaran. Memangnya apa ya, peran kita sebagai remaja,
khususnya remaja muslim dalam menanggapi hal-hal sederhana macam ini? Mungkin….
Aha! Aku tahu.
“ Ada kok, Dek. Kita yang masih mudah ini malah bisa berbuat
banyak” Aku tersenyum girang.
“Oh, ya? memangnya apa Mas? Coba buktikan ke aku dan omongin
sedetail-detailnya!”
“ M… oke. Sini,kamu mendekat. Biar Mas bisikin.”
Jadi, begitulah. Kuutarakan semua opiniku di gendang telinga
adikku selama hampir setengah jam. Aku tahu bahwa semua omonganku cukup
membuatnya mengantuk. Karena pada bait ketika aku mengucapkan ‘Mas akan
berusaha semaksimal mungkin untuk mengajak yang lain berpartisipasi dan
menunjukkan kepada adik bahwa kita hebat’-ala proklamator, ternyata dia sudah
tertidur. Tubuhnya bersandar di bahu kananku yang cukup kuat menopang berat
tubuhnya yang ringan. Ya… mau bagaimana lagi. Kali ini, aku harus
menggendongnya-dengan kostum sapi milkita-pulang dan berusaha untuk mencari
alasan yang bisa meredam kemarahan bapak di rumah. Nanti.
***
Aku menghirup nafas lega. Akhirnya rumah mungil berbahan
kaleng ini sudah jadi. Rumah kesehatan bergorden putih ini memang diperuntukkan
untuk adikku yang kini tengah terkulai lemah di atas kursi roda. Usianya kini
sudah dua puluh empat tahun dan kau tentu tahu apa itu artinya.
Delapan tahun belakangan, setelah percakapan yang cukup
panjang di bawah kanopi bambu gardu itu, aku menjalankan tekadku. Dengan izin
Tuhanku, aku menjalankannya bersama segenap teman-temanku yang tak kalah
semangat ketika aku mengutarakan rencana yang cukup kuanggap brilian itu.
Dan Alhamdulillah,
beginilah hasilnya. Kau bisa lihat betapa indahnya Indonesia saat ini. Sampah-
sampah kaleng dan plastic yang menjadi perdebatan kami kala itu, akhirnya bisa
menumbuhkan anugerah sendiri bagi bangsa ini. Dengan kolaborasi kecerdasan
anak- anak teknik mesin, robotik, geografi, biologi dan arsitektur, akhirnya
kami dapat menanggulangi sampah- sampah kaleng dan plastik yang terus
menggunung.
Lihatlah semua rumah dan apartemen yang dibangun dengan
kokoh itu. Jika kau menyentuhnya, tentu kau akan terkejut bahwa yang kau
temukan di sana bukanlah rumah yang terbuat dari batu-bata, melainkan terbuat
dari kaleng. Kami, dibantu dengan pemerintah yang cukup setuju dengan rencana
penanggulangan ini, membuat bangunan-bangunan itu di atas tanah lapang yang
mendominasi pulau-pulau besar nan minim penduduk seperti Kalimantan, Sulawesi,
Papua, NTT, NTB, juga Sumatera.
Rumah-rumah itu tentunya dikhususkan bagi masyarakat seperti
gelandangan, pengemis, tunawisma, juga korban- korban bencana alam yang kehilangan
rumah mereka. Namun dirasa, tak sedikit pula para manusia berduit yang
menggunakan bahan kaleng untuk membangun ‘istana’ mereka.
“Lalu
bagaimana dengan semua plastik dan botol bekas, juga sampah lain seperti styrofoam?” tanya seorang wartawan yang
dengan penuh semangat menyundulkan miknya
ke arahku. Ya, kalian benar. Kini aku tengah di wawancarai. Para wartawan lapar
berita itu langsung menyerbuku selepas aku selesai mengantarkan adikku memasuki
kamar kesehatan barunya. Atas kesuksesanku dan teman-temanku beberapa waktu
silam, cukup membuat para wartawan, tak terkecuali dari manca negara, tak
pernah kehabisan berita.
“Kalau sampah plastik dan teman- temannya sih, kami gunakan
untuk menutupi lubang- lubang aspal yang menganga itu. Tentunya setelah kami
campur dengan beberapa bahan dan zat lain yang dapat membuatnya bisa menjadi
lebih kuat dibanding semen pada umumnya.”
“Oh…. Itu cerdas sekali, Pak!” Wartawan itu menanggapi
jawabanku dengan berlebihan.
Aku hanya tersenyum. Sebenarnya tak hanya itu yang kami lakukan.
Masih banyak pencapaian-pencapaian yang kami dapatkan selepas itu. Tapi yang
terpenting, berkah dan kasih sayang Allah SWT telah berhasil memgantar kami
pada keberhasilan yang luar biasa ini. Tentunya setelah Ia menyuguhi kami
dengan berbagai cobaan yang berarti.
Masih terngiang di benakku ketika para satpam kekar itu,
meneriakiku dengan sebutan ‘orang tak waras’ dan hampir menarik tubuhku ke meja
kepolisian pada pidato pertamaku di Kota Jakarta. Aku dan teman-temanku memang
terus mencari dana dan dukungan dari berbagai pihak dari pelosok negeri. Puncaknya
terjadi ketika aku yang merupakan seorang mahasiswa semester lima, yang
merupakan seorang ‘proklamator’ ulung, berhasil mempengaruhi banyak pihak.
Dengan modal tekad dan dasar yang kuat, akhirnya kami mampu
menghipnotis para ‘pejabat negeri’ untuk turut mengambil peran dalam
pengembangan ini. Masyarakat awam juga turut berpartisipasi. Mereka memasukkan
cukup banyak receh kedalam kaleng-kaleng yang kami letakkan di setiap
pemberhentian, alias lampu merah.
Aku, Muhammad Haikal Suparjo adalah seorang direktur muda,
kini. Tapi, aku berjanji atas nama Tuhanku yang Maha Segala-galanya, akan
memanfaatkan jabatan ini untuk kemaslahatan masyarakat. Rupanya aku telah
berhasil membanggakan nama Indonesia dan Islam. Ya, Islam. Tentu saja. Di bawah
kepemimpinanku, dan ide-ide cemerlang kami- sejak kami masih duduk di SMA,
puluhan bahkan ratusan manusia berbagai agama turut ambil peran dengan suka
cita dan kerelaan masing-masing. Kurasa, bukankah ini sangat luar biasa?
Bukankah Islam berhak bangga?
Alhamdulillah…. Terima kasih, Ya
Rabb.
“Mas,
bisa tolong ambilin minum?” Suara adikku tedengar semakin hambar di telingaku.
Selepas wawancara, aku memang berniat untuk terus menungguhi
adikku hari ini. Ibu dan Bapak sedang keluar untuk membeli obat adikku yang
nyaris habis. Kanker yang tengah menggrogoti tubuhnya sudah mencapai tingkat
akhir. Tubuhnya kurus dan aku yakin bahwa tak ada sehelaipun rambut yang
masih tertanam di bailk kerudung hijau panjangnya itu.
“Ini,
Dek. Pelan- pelan ya, minumnya .” Aku membantunya untuk duduk dan menyodorkan
gelas perlahan di ujung bibirnya. Bibir pucat itu menghisapnya dengan perlahan.
“Alhamdulillah…
terima kasih, Mas.”
Aku hanya mangut- mangut. Entah mengapa, sebutir air mataku
tak kuasa terjun bebas dan terhempas di atas kerudungnya. Aku sudah tak tahan
lagi.
“Loh, mas. Kok nangis? Jangan nangis dong. Masa Bapak Guruku nangis sih?!”
Kalimatnya
yang terakhir justru membuat aku semakin menjadi-jadi. Akupun menangis dalam diam.
“Mas, Mas kan udah berhasil menuhi janji Mas yang dulu itu.
Sekarang Mas mau janji lagi gak?” Adikku tersenyum lemah.
“Iya Dek. Apapun itu. Mas usahakan.” Aku bertekad.
“Aku pingin, Mas
bisa mengolah limbah pabrik dengan baik. Sebagaimana Mas dan temen-temen Mas
bisa mengolah kaleng dengan baik”
“Pada era perkembangan zaman ini, pabrik dimana- mana, Mas.
Limbahnya banyak. Bikin ikan keracunan. Bikin polusi. Itu juga yang memperparah
paru-paruku. Makannya, Mas harus
janji ya?” mata adikku melebar, menerawang ke depan.
“M..m.. iya Dek. InsyaAllah.”
Adikku tersenyum. Di balik bibirnya yang pucat itu, aku
yakin ia pasti sangat bahagia.
“Ada lagi Dek?”
“M…mm..” adikku tampak menimang- nimang.
“Ada, Mas.”
“Ia Dek, ngomong aja.
Mas janji semampu Mas pasti akan berusaha nuruti apa yang kamu minta.”
“Aku pingin dibuatkan salah satu benda yang nantinya terbuat
dari limbah itu. Karena aku pikir, kurang lebih limbah itu bisa diolah menjadi
bahan bangunan. Tapi Mas gak keberatan,
kan? Soalnya Aku pingin dibuatkannya
kalau gak tahun ini, tahun depan.”
“Oh.
Ya udah. Ngomong aja, Dek. Suwer deh.
Mas akan berusaha turutin itu.”
Adikku
menghela nafas panjang. Dengan senyumnya, ia membuka mulut.
“ Aku minta…”
“Ya, Dek?”
“ Aku minta…”
“ Aku minta n..nisanku yang besar ya, Mas!”
(edited)
***
(Zilfania
AM-cerpen pemenang lomba event sekolah)


0 komentar:
Posting Komentar