Rabu, 03 Juni 2020

Cerpen: Rumah Kaleng

Rumah Kaleng




  

Klontang…

Bruk…

Brak….

“Aw…”

Ya, itu aku. Suara keempat itu milikku setelah sebuah kaleng peyok sukses sudah menghantam pelipisku yang kini berdenyut- denyut tak karuan. Entah aku yang lemah atau apa, hantaman keras kaleng itu cukup ampuh membuat aku, yang kata teman-temanku cukup kekar ini, terguling ke belakang. Tubuhku menghantam daratan aspal yang menganga penuh kerikil di dalamnya.

Aku meraih kaleng itu dan menggenggamnya dengan geram. Ingin sekali rasanya aku berteriak dan meluapkan emosiku di depan mahluk yang tega melemparkan ini dan berhasil mencetakkan gol di pelipisku. Aku menunduk. Berusaha untuk bersabar karena sadar bahwa hari ini aku tengah berpuasa.

Selagi aku menunduk, mengatur nafas dan terus beristighfar, sesosok gumpalan daging berlari menghampiriku. Ralat. Bukan gumpalan daging. Bisa dibilang, lebih tepatnya ia adalah sesosok manusia berkostum sapi milkita dengan totol coklat tua yang berbentuk tak karuan. Sapi milkita itu menghampiriku dan mengulurkan tangan. Aku pun menyambut uluran tangan sapi itu dengan suka rela. Aku mengenalnya.

“ Maafkan aku. Aku gak sengaja nendang kaleng itu tadi... aku….”

Sebelum sapi tadi sempat meneruskan pidato rasa bersalahnya, dengan sigap kubuka penutup sapi totol coklat itu sembari mengecup kening pemilik kostum sapi aneh itu.

“Gak papa kok Dek. Gak sakit. Kamu gak usah sedih gitu, dong. Sekarang Mas malah khawatir. Kamu kabur dari rumah lagi ya?”

Sang pemilik kostum sapi itu tersenyum lega. Menunjukkan sepasang lesung pipi yang cukup dalam di atas kulit putihnya yang lebih terkesan pucat. Kalau saja bukan karena bibirnya yang merah ranum, mungkin saja semua orang yang baru melihatnya, menerka- nerka bahwa gadis berjilbab jingga itu tengah mengidap suatu penyakit kronis yang  bisa membuatnya ambruk kapan saja. Walaupun itu tak sepenuhnya salah.

 “Maafkan aku ya, Mas… sampai luka gitu…”

Ekspresi gadis itu tiba- tiba berubah suram. Mungkin karena ia baru menyadari akan luka memar yang berhasil ia lukis di pelipisku. Tak lama kemudian, dia terisak. Dasar memang mahluk hati kapas yang super lembut ini. Tak kasihankah ia kepada diriku yang bisa menjadi tersangka kalau saja aku dan dia pulang bersama, dengan dia yang sedang menangis. Bapak bisa menghakimiku nanti.

“Aduh Dek… Mas gak papa kok. Jangan nangis lagi. Bukan salahmu kok… Jangan nangis lagi, ya… ya…”

Aku mengatur nafasku agar tetap teratur. Posisi kami kini berada di tengah kompleks perumahan elite. Segerombolan ibu muda berjalan melewati kami sembari sesekali berbisik dan menatap tajam ke arahku dan menatap iba ke arah adikku yang rapuh itu. Kami memang hanya berbeda satu tahun dan wajah kami memang tidak terlalu mirip. Tapi, tidak bisakah orang- orang mengerti bahwa akupun kadangkala menderita jika harus dituduh sebagai seorang laki- laki yang tega membuat seorang perempuan lemah menangis. Please deh, bu. Dia itu adikku. A-D-I-K-K-U. Jadi, bisakah kalian bersikap sewajarnya saja dan berusaha berhusnudhan kepadaku?

“Dek… wes, jangan nangis. Pulang aja, yuk. Ini bukan salahmu kok. Suwer deh, Dek….”

Aku berusaha memeluknya dan menepuk-nepuk pundaknya lembut. Kali ini, abang- abang bakso kumisan yang ganti menatap wajahku dengan ekspresi apakah-anda-masih-waras yang berlebihan.

“Kalau bukan salahku, jadinya ini salah siapa, Mas?” Suara adikku bergetar kaku.

Walau umurnya sudah genap enam belas tahun, namun sikapnya tak jauh beda dengan anak SD usia tujuh tahun. Aku maklum. Mungkin karena semua orang tak terkecuali aku yang terus memanjakanya dan memperlakukannya tak ubah seperti anak SD yang tak mandiri. Bukannya apa, tapi semua itu kami lakukan karena penyakit kanker paru-paru yang kini sedang diderita oleh adikku. Dokter bilang, umurnya tak mungkin bisa mencampai angka dua puluh lima tahun. Ia tak pernah tahu tentang hal itu. Sedih, memang.

“Mas, jangan bengong. Jawab dulu pertanyaanku. Kalau bukan aku yang salah, lalu siapa?”

Aku tersadar mendengar pertanyaan adikku yang terdengar memaksa. Aku berpikir keras, tak tahu harus menyalahkan siapa. Tapi untungnya, tak lama kemudian sebuah ide cemerlang melintas cepat di otakku.

“Ini salah orang yang minum dari kaleng ini, Dek.” Aku memungut kaleng itu dan menjulurkannya tepat di depan hidung adikku.

“ Loh, kok?” Adikku menatapku ragu. Matanya melebar, mencari penjelasan.

Ya udah, kalau mau tahu selengkapnya, kita duduk- duduk dulu di gardu itu yuk! Gak enak di sini. Dilihatin sama orang- orang yang lewat.”

Aku menepuk-nepuk pipi adikku lembut. Memang tak enak jika aku terus mengobrol dengannya dalam posisi seperti ini. Apalagi ketika aku menyadari bahwa kini seorang tukang cendol terus-terusan mencuri pandang ke arah kami. Ditambah lagi, seorang tukang jamu gendong paruh baya yang nyaris tersandung ketika mendapat pelototan hebat dariku.

Habisnya…. Risih kan, kalau dilihatin gitu…

Untungnya adikku tak protes ketika aku mengajukan usul itu. Jadi,  sekarang di sinilah kami. Duduk di bawah gardu berkanopi bambu yang cukup ya, berkesan. Dengan sarang semut dan tawon yang jumlahnya cukup menakjubkan.

“Jadi begini Dek, orang yang minum dari kaleng inilah yang salah. Karena dia tidak mau membuang kaleng tersebut di tempat yang benar. Jadi kamu yang menendang kaleng ini bisa dibilang sebagai korban.” Aku memulai pembicaraan dengan penuh semangat.

“Oh begitu ya, Mas…” Adikku mangut- mangut.

“Tak cuma itu, Dek. Si pemilik kaleng ini juga salah karena ia membeli minuman yang berkaleng.  ”

“Loh kok?” Adikku memutar bola mata coklatnya. Ia tampak semakin tak mengerti.

“Ia… Adek tahu, kan. Di zaman modern ini semua yang ada memang serba instan. Makanan di plastikin. Dikasih styrofoam. Minuman juga dibotolin. Dikalengin. Ikan juga sudah tak sesegar dulu. Dibekukan lalu dikalengin. Makannya…”

“Lalu hubungannya apa Mas?” Adikku mulai gemas. Bibirnya mengerucut hebat.

“Sabar dong, Dek… sabar…. Hubungannya, semua kaleng dan plastik itu tidak ada satupun yang bisa diuraikan dan dimanfaatkan untuk menjadi penyubur bagi tanah. Selain itu… sampah- sampah dari kaleng dan plastik yang terus menumpuk, jika tidak didaur ulang dengan benar, maka dapat menyebabkan berbagai penyakit dan juga bencana seperti…”

“Banjir!” Adikku berteriak lantang seperti habis memenangkan lotre.

“ Benar.. .nah, itu kamu tahu!” Aku tersenyum simpul.

“Tapi mas, kalau aku pikir, itu bukan kesalahan yang beli dong. Tapi, kesalahan pabrik yang bikin. Mereka jahat sekali, ya!”

Aku tersenyum geli. Kali ini sambil menepuk kepala adikku perlahan. Sekarang aku mulai tahu jalan pikiran manusia yang seperti malaikat ini.

“Benar juga sih Dek…. Tapi, pabrik itu tidak sepenuhnya salah. Mereka hanya bekerja karena permintaan para konsumen. Pencipta dari kaleng dan plastikpun kakak rasa tidak bermaksud jahat kepada siapapun. Justru mereka berniat untuk mempermudah pekerjaan manusia.”

“Lalu, bagaimana polisi, tentara dan hakim? Tidak inginkah mereka menangkap dan menghukum para pembuang sampah yang sembarangan itu? Bukankah membuat banjir dan sebagainya adalah suatu kejahatan, Mas? Dan lagi, apa yang akan dilakukan para kyai dan para pendakwah? Apakah mereka akan diam saja dan tidak ceramah besar-besaran menanggapi masalah ribet ini, Mas?”

Mataku terbelalak dan spontan terdengar kata ‘hah’ yang cukup keras terlontar dari bibirku. Tak pernah kusangka adikku berpikir sejauh itu. Aku terharu sekaligus merasa bersalah. Betapa jahatnya aku yang terus memperlakukan ia hanya sebatas adik perempuan yang butuh dimanja. Maafkan kakak gantengmu, ini ya dik…

“Mmm… kalau itu sih, Mas kurang tau, Dek. Itu bukan urusan kita. Jadi…”

“Oh….oh…oh…” terdengar adikku ber ‘Oh ‘ ria dan sekarang tampaknya ia tengah berusaha menyimpulkan sesuatu.

“Aku pikir Mas tahu segalanya. Padahal selama ini aku menganggap Mas seperti ibu guru yang tahu segalanya.” Wajah adikku tiba- tiba berubah suram. Aku merinding. Dia terus menatapku dengan  tatapan sendu ala sadakonya.

Eits… eits..eits…” Aku memainkan ibu jariku di depan hidungnya. Berusaha untuk bersikap biasa saja. Padahal sebenarnya ngeri setengah mati mendapati tatapan mautnya.

“Jangan salah! Atas izin Allah SWT, Mas memang banyak tahu tentang ya….banyak hal. Dan dijadikan perantara oleh-Nya untuk mengajarimu, Dek. Tetap anggap Mas ibu gur… eh, bapak guru maksudnya… oke!?”

Adikku bergumam pelan. Mimiknya terlihat menimang-nimang apakah ia harus mempercayaiku atau harus menganggap ucapanku omong kosong.

“Oke, Mas!” Jawabnya kembali ceria. Aku bersorak dalam hati. Mudah sekali merubah suasana hati adikku yang satu ini.

“Dek… karena kamu sudah kembali percaya… kamu boleh deh, kasih Mas satu pertanyaan lagi. Tapi ini pertanyaan terakhir ya….”

“M… oke Mas!” Ucapnya sembari mencondongkan tubuhnya ke arahku, lalu tersenum.

“Kalau peran Aku, Mas, teman- teman Mas, juga remaja yang sering minum dari kaleng- kaleng itu apa dong Mas? Emangnya kita bisa ngelakuin apa?”

Oke, cukup. Sekarang dengan mantap aku bisa menyimpulkan kalau adikku ternyata memang cukup cerdas. Pertanyaannya cukup membuat aku tertohok tepat di sasaran. Memangnya apa ya, peran kita sebagai remaja, khususnya remaja muslim dalam menanggapi hal-hal sederhana macam ini? Mungkin….

Aha! Aku tahu.

“ Ada kok, Dek. Kita yang masih mudah ini malah bisa berbuat banyak” Aku tersenyum girang.

“Oh, ya? memangnya apa Mas? Coba buktikan ke aku dan omongin sedetail-detailnya!”

“ M… oke. Sini,kamu mendekat.  Biar Mas bisikin.”

Jadi, begitulah. Kuutarakan semua opiniku di gendang telinga adikku selama hampir setengah jam. Aku tahu bahwa semua omonganku cukup membuatnya mengantuk. Karena pada bait  ketika aku mengucapkan ‘Mas akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengajak yang lain berpartisipasi dan menunjukkan kepada adik bahwa kita hebat’-ala proklamator, ternyata dia sudah tertidur. Tubuhnya bersandar di bahu kananku yang cukup kuat menopang berat tubuhnya yang ringan. Ya… mau bagaimana lagi. Kali ini, aku harus menggendongnya-dengan kostum sapi milkita-pulang dan berusaha untuk mencari alasan yang bisa meredam kemarahan bapak di rumah. Nanti.

                                                               ***                                                 

Aku menghirup nafas lega. Akhirnya rumah mungil berbahan kaleng ini sudah jadi. Rumah kesehatan bergorden putih ini memang diperuntukkan untuk adikku yang kini tengah terkulai lemah di atas kursi roda. Usianya kini sudah dua puluh empat tahun dan kau tentu tahu apa itu artinya.

Delapan tahun belakangan, setelah percakapan yang cukup panjang di bawah kanopi bambu gardu itu, aku menjalankan tekadku. Dengan izin Tuhanku, aku menjalankannya bersama segenap teman-temanku yang tak kalah semangat ketika aku mengutarakan rencana yang cukup kuanggap brilian itu.

Dan Alhamdulillah, beginilah hasilnya. Kau bisa lihat betapa indahnya Indonesia saat ini. Sampah- sampah kaleng dan plastic yang menjadi perdebatan kami kala itu, akhirnya bisa menumbuhkan anugerah sendiri bagi bangsa ini. Dengan kolaborasi kecerdasan anak- anak teknik mesin, robotik, geografi, biologi dan arsitektur, akhirnya kami dapat menanggulangi sampah- sampah kaleng dan plastik yang terus menggunung.

Lihatlah semua rumah dan apartemen yang dibangun dengan kokoh itu. Jika kau menyentuhnya, tentu kau akan terkejut bahwa yang kau temukan di sana bukanlah rumah yang terbuat dari batu-bata, melainkan terbuat dari kaleng. Kami, dibantu dengan pemerintah yang cukup setuju dengan rencana penanggulangan ini, membuat bangunan-bangunan itu di atas tanah lapang yang mendominasi pulau-pulau besar nan minim penduduk seperti Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTT, NTB, juga Sumatera.

Rumah-rumah itu tentunya dikhususkan bagi masyarakat seperti gelandangan, pengemis, tunawisma, juga korban- korban bencana alam yang kehilangan rumah mereka. Namun dirasa, tak sedikit pula para manusia berduit yang menggunakan bahan kaleng untuk membangun ‘istana’ mereka.

“Lalu bagaimana dengan semua plastik dan botol bekas, juga sampah lain seperti styrofoam?” tanya seorang wartawan yang dengan penuh semangat menyundulkan miknya ke arahku. Ya, kalian benar. Kini aku tengah di wawancarai. Para wartawan lapar berita itu langsung menyerbuku selepas aku selesai mengantarkan adikku memasuki kamar kesehatan barunya. Atas kesuksesanku dan teman-temanku beberapa waktu silam, cukup membuat para wartawan, tak terkecuali dari manca negara, tak pernah kehabisan berita.

“Kalau sampah plastik dan teman- temannya sih, kami gunakan untuk menutupi lubang- lubang aspal yang menganga itu. Tentunya setelah kami campur dengan beberapa bahan dan zat lain yang dapat membuatnya bisa menjadi lebih kuat dibanding semen pada umumnya.”

“Oh…. Itu cerdas sekali, Pak!” Wartawan itu menanggapi jawabanku dengan berlebihan.

Aku hanya tersenyum. Sebenarnya tak hanya itu yang kami lakukan. Masih banyak pencapaian-pencapaian yang kami dapatkan selepas itu. Tapi yang terpenting, berkah dan kasih sayang Allah SWT telah berhasil memgantar kami pada keberhasilan yang luar biasa ini. Tentunya setelah Ia menyuguhi kami dengan berbagai cobaan yang berarti.

Masih terngiang di benakku ketika para satpam kekar itu, meneriakiku dengan sebutan ‘orang tak waras’ dan hampir menarik tubuhku ke meja kepolisian pada pidato pertamaku di Kota Jakarta. Aku dan teman-temanku memang terus mencari dana dan dukungan dari berbagai pihak dari pelosok negeri. Puncaknya terjadi ketika aku yang merupakan seorang mahasiswa semester lima, yang merupakan seorang ‘proklamator’ ulung, berhasil mempengaruhi banyak pihak.

Dengan modal tekad dan dasar yang kuat, akhirnya kami mampu menghipnotis para ‘pejabat negeri’ untuk turut mengambil peran dalam pengembangan ini. Masyarakat awam juga turut berpartisipasi. Mereka memasukkan cukup banyak receh kedalam kaleng-kaleng yang kami letakkan di setiap pemberhentian, alias lampu merah.

Aku, Muhammad Haikal Suparjo adalah seorang direktur muda, kini. Tapi, aku berjanji atas nama Tuhanku yang Maha Segala-galanya, akan memanfaatkan jabatan ini untuk kemaslahatan masyarakat. Rupanya aku telah berhasil membanggakan nama Indonesia dan Islam. Ya, Islam. Tentu saja. Di bawah kepemimpinanku, dan ide-ide cemerlang kami- sejak kami masih duduk di SMA, puluhan bahkan ratusan manusia berbagai agama turut ambil peran dengan suka cita dan kerelaan masing-masing. Kurasa, bukankah ini sangat luar biasa? Bukankah Islam berhak bangga?

Alhamdulillah…. Terima kasih, Ya Rabb.

“Mas, bisa tolong ambilin minum?” Suara adikku tedengar semakin hambar di telingaku.

Selepas wawancara, aku memang berniat untuk terus menungguhi adikku hari ini. Ibu dan Bapak sedang keluar untuk membeli obat adikku yang nyaris habis. Kanker yang tengah menggrogoti tubuhnya sudah mencapai tingkat akhir. Tubuhnya kurus dan aku yakin bahwa tak  ada sehelaipun rambut yang masih tertanam di bailk kerudung hijau panjangnya itu.

“Ini, Dek. Pelan- pelan ya, minumnya .” Aku membantunya untuk duduk dan menyodorkan gelas perlahan di ujung bibirnya. Bibir pucat itu menghisapnya dengan perlahan.

Alhamdulillah… terima kasih, Mas.”

Aku hanya mangut- mangut. Entah mengapa, sebutir air mataku tak kuasa terjun bebas dan terhempas di atas kerudungnya. Aku sudah tak tahan lagi.

“Loh, mas. Kok nangis? Jangan nangis dong. Masa Bapak Guruku nangis sih?!”

Kalimatnya yang terakhir justru membuat aku semakin menjadi-jadi. Akupun menangis dalam diam.

“Mas, Mas kan udah berhasil menuhi janji Mas yang dulu itu. Sekarang Mas mau janji lagi gak?” Adikku tersenyum lemah.

“Iya Dek. Apapun itu. Mas usahakan.” Aku bertekad.

“Aku pingin, Mas bisa mengolah limbah pabrik dengan baik. Sebagaimana Mas dan temen-temen Mas bisa mengolah kaleng dengan baik”

“Pada era perkembangan zaman ini, pabrik dimana- mana, Mas. Limbahnya banyak. Bikin ikan keracunan. Bikin polusi. Itu juga yang memperparah paru-paruku. Makannya, Mas harus janji ya?” mata adikku melebar, menerawang ke depan.

“M..m.. iya Dek. InsyaAllah.”

Adikku tersenyum. Di balik bibirnya yang pucat itu, aku yakin ia pasti sangat bahagia.

“Ada lagi Dek?”

“M…mm..” adikku tampak menimang- nimang.

“Ada, Mas.”

“Ia Dek, ngomong aja. Mas janji semampu Mas pasti akan berusaha nuruti apa yang kamu minta.”

“Aku pingin dibuatkan salah satu benda yang nantinya terbuat dari limbah itu. Karena aku pikir, kurang lebih limbah itu bisa diolah menjadi bahan bangunan. Tapi Mas gak keberatan, kan? Soalnya Aku pingin dibuatkannya kalau gak tahun ini, tahun depan.”

“Oh. Ya udah. Ngomong aja, Dek. Suwer deh. Mas akan berusaha turutin itu.”

Adikku menghela nafas panjang. Dengan senyumnya, ia membuka mulut.

“ Aku minta…”

“Ya, Dek?”

“ Aku minta…”

“ Aku minta n..nisanku yang besar ya, Mas!”

(edited)

                                                                     ***

 

(Zilfania AM-cerpen pemenang lomba event sekolah)

 

 

0 komentar:

Posting Komentar