HIS EYES
Past is just a past. Time will erase your sadness. Don’t worry. There will be a bright future for everyone who tries a lot.
Aku merupakan salah satu pencinta warna-warna alam seperti pelangi, bulan, matahari, bunga-bunga, dan pegunungan. Sering kali aku menyendiri di kamar berjam-jam, hanya untuk melukis pemandangan yang telah kupotret sebelumnya. Lukisan-lukisan tersebut kemudian akan kumasukkan ke kotak harta karunku untuk kemudian kulihat lagi di saat aku sedang ingin menghibur diri.
“Indah sekali!” Begitulah kata yang otomatis keluar dari bibirku setelah kulihat warna bola mata Rai.
Aku pernah membaca di sebuah artikel, mengenai bola mata-bola mata yang langkah di muka bumi ini. Pada saat itu, aku sangat takjub dan terkagum-kagum akan kuasa yang dimiliki oleh Tuhan.
Tapi tetap saja, tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding melihatnya secara langsung, bukan?
“Boleh kupotret?” tanpa pikir panjang, aku mendekat ke tempat Rai duduk dan menunjuk ke arah bola matanya.
Mata Rai mengerjab beberapa kali. Itu membuat bola matanya yang berwarna perpaduan hitam dan perak seperti permata, menjadi berkilauan akibat terkena cahaya matahari yang berasal dari kaca jendela kamar tamu.
Rai kemudian berdiri. Aku baru sadar bahwa dia tinggi sekali. Lebih tinggi dari Dava yang memiliki julukan tiang bendera, malah.
Dia menundukkan wajahnya dan menatap mataku lekat-lekat seperti menilai sesuatu. Setelah itu, dia tersenyum kecut.
“Kau,” katanya dingin.
“Ya?”
“Tak tahu malu, ya?” lanjutnya dengan tajam dan segera sukses membuat aku terlonjak dan mundur beberapa langkah.
Hah? Apa itu barusan? Aku dibilang tak tahu malu hanya gara-gara izin memotret matanya? Huh, kejam sekali perkataannya. Kalau tidak mau kan bisa tinggal bilang tidak!
Aku segera berbalik dan pergi keluar dari kamar itu. Rai masih terus berdiri dan sepertinya masih mengawasiku.
Dengan kesal, aku berjalan cepat menuruni anak-anak tangga. Sudah hilang moodku untuk mengerjakan UAS. Dibanding UAS, ada hal penting lain yang ingin kuketahui.
Kulewati ruang keluarga yang kosong dengan terburu-buru. Nampaknya Dion, sudah kembali ke kamarnya atau pergi kelayapan entah kemana.
Tok.. tok.. tok..
Kuketuk pintu kayu kamar Dava keras-keras. Bukannya apa, sering kali Dava sedang mendengarkan musik dan tidak mendengar siapapun yang memanggil atau mencarinya.
“Kak, aku boleh masuk?”
“Kak?” tanyaku pada pintu bisu.
Karena tak ada suara sautan, maka akupun nyelonong masuk saja. Di sana, Dava sedang duduk di depan meja belajar yang membelakangi pintu. Dia tengah mempelajari sesuatu dari sebuah buku tebal. Di telinganya, terpasang sepasang earpods yang menjadi penyebab dia tidak dapat mendengarku tadi.
“Kak,” Aku menepuk pundaknya pelan.
“Eh ada tamu kehormatan. Tumben nih, Ay?” Senyum Dava segera mengembang begitu dia memutar kursinya dan mendapatiku ada di dalam kamarnya.
“Ada yang mau aku omongin.”
Aku berjalan menuju ranjang Dava dan segera mencari posisi duduk yang nyaman. Davapun bangkit dari kursinya dan ikut duduk di sampingku.
“Tentang apa?” tanyanya sambil melepas earpords dan memasukkannya ke kantung kemeja.
“Mata perak,” ucapku pelan, takut-takut Rai punya pendengaran super.
“Maksud kamu, Rai?” Dava menimpali dengan tenang tanpa repot-repot mengecilkan suara.
Sia-sia sekali usaha pengaturan suaraku barusan.
“Ah, kakak udah tahu?” tanyaku tak kaget. Tentu saja Dava tahu. Dia pasti sudah mengintograsi ayah habis-habisan. Konyol juga aku yang masih memastikannya.
“Apa yang ingin kamu ketahui, Ay?” ujarnya menghiraukan pertanyaanku dan ganti menatapku lembut.
“Semua.”
“Tentang mata perak?” tanyanya sambil mengangkat tangan seperti hendak mengelus rambutku, tetapi kemudian menurunkannya lagi. Sepertinya dia baru ingat bahwa aku benci disentuh, teruma di bagian kepala.
“Tentang Rai,” ucapku yakin.
Memang benar ada sesuatu tentang diri Rai yang ingin kuketahui lebih jauh mengingat aura kami yang terasa hampir sama.
Dava menggeleng. Mulutnya mengerucut.
“Seingetku kamu ngga pernah pingin tahu apapun tentang aku deh, Ay. Aku cemburu nih, ” katanya menarik-narik ujung lengan sweaterku manja.
“Jijik!” Kuhentakkan lenganku pelan.
Kalau sudah seperti ini, Dava telah berubah wujud dari si pintar menjadi si menggelikan.
“Hahahahah... Oke… oke… akan kuberitahu poin pentingnya aja ya, Ay. Kamu tidak perlu tahu banyak tentang Rai dan jangan terlalu mencari tahu. Aku harap kamu juga tidak terlalu dekat dengannya. Walaupun aku yakin kamu juga ngga bakal tertarik untuk dekat-dekat dengan laki-laki apalagi yang modelan begitu...”
Modelan? Haha. Seperti dia tahu seleraku saja. Kadang kakakku ini memang sangat sok tahu. Ya, walaupun aku juga belum benar-benar mengerti seleraku dan aku juga belum terlalu memikirkannya.
Dava menarik nafas pelan dan menghembuskannya panjang. Itulah kebiasaan Dava jika akan berbicara panjang lebar. Akupun segera mempertajam pendengaranku, berharap tidak ada detail yang terlewati. Kadang kala otak dan mulut Dava berlomba ketika berbicara, sehingga tak jarang terdengar seperti ngerap.
“Jadi Ay, seperti yang kita ketahui, ada beberapa kasus tentang warna bola mata unik yang ada di dunia ini. Bola mata perak yang dimiliki Rai, merupakan salah satu yang terlangkah. Warnanya perak, karena memiliki kadar melamin yang sangat kecil, dan warna tersebut didapat murni sejak dia lahir. Mulai sekarang, kamu harus mulai terbiasa melihatnya, Ay…” papar Dava sambil mengambil bantal dan menaruhnya di pangkuannya.
“Kalau kamu ingin tahu kenapa ayah membawa Rai ke sini, salah satu alasannya adalah karena bola mata itu,” ujarnya tampak menerawang.
“Kenapa?”
“Karena banyak yang mengincarnya, tentu saja. Banyak yang mengincar Rai. Entah untuk bisnis di dunia model, hiburan, ataupun penelitian, ” papar Dava dengan nada seolah itu adalah hal yang wajar.
“Kenapa ayah peduli?” Aku tak habis pikir.
Ya. Kenapa ayah peduli? Memangnya siapa Si Rai ini? Aku sama sekali tak ingat punya saudara jauh bernama Rai atau Raian, ataupun Raimon.
“Kedua orang tua Rai adalah sahabat ayah ketika masih bersekolah di Osaka University. Ayah Rai orang Jepang dan Ibunya Orang Jerman. Mereka berdua merupakan pecinta bahasa dan budaya Indonesia, sehingga bisa berteman baik dengan ayah, ” ucap Dava sambil memindahkan bantal di pangkuannya ke pangkuanku.
“Dua tahun lalu, seseorang menyelinap ke rumah mereka di Jerman. Mendatangi kamar Rai, dan berusaha menculiknya. Orang tersebut mengincar Rai karena matanya. Pada saat itu, kedua orang tua Rai berusaha mati-matian untuk menyelamatkannya.”
Dava terdiam beberapa menit. Aku pun ikut terdiam menunggu kelanjutannya.
“Lalu?” pada akhirnya, aku bertanya dengan tidak sabar. Terlalu lama ia terdiam. Aku paling tak suka jika digantung seperti ini. Dikira drakor apa, ya?
Dava mengambil bantal lainnya di belakang punggung dan menaruhnya di pangkuannya.
Dia menutup matanya dramatis lalu berkata, “Penculiknya bawa pistol. Ibu Rai ketembak dan meninggal di tempat. Ayahnya selamat, tapi harus jatuh koma karena juga sempat tertembak.”
“Ah…” gumamku bingung harus bereaksi bagaimana.
Cukup mengejutkan ketika mengetahui bahwa Rai ternyata memiliki masa lalu yang sungguh memilukan. Sempat menyesal aku karena tadi sudah mengecap buruk dirinya. Mungkin saja aku secara tak sengaja telah menyinggungnya. Sepertinya aku harus segera meminta maaf.
Deg!
Aku menunduk sebentar. Berusaha merasakan perasaan asing yang tiba-tiba muncul di dadaku. Ini lebih tidak mengenakkan dari pada saat tahu bahwa seseorang membicarakanmu di belakang. Ya, aku memang harus minta maaf. Secepatnya!
“Untungnya…” kudengar Dava lanjut berbicara.
“Untungnya penjahatnya langsung ketangkep hari itu juga. Tapi Rai ngalamin trauma parah. Kasihannya lagi, ayahnya meninggal dua hari lalu setelah mengalami koma yang panjang. Itu kenapa, ayah kita langsung bawa Rai ke sini,” ucapnya sambil memindahkan bantalnya ke pangkuanku. Lagi!
Sebenarnya, sedang apa sih dia? Acara estafet bantal?
“Keluarganya yang lain?” tanyaku berusaha fokus tanpa menghiraukan Dava yang kini ganti menaruh guling di pangkuannya.
“Itu dia yang lagi ayah usahain. Ngelacak keberadaan keluarganya yang lain. Tapi itu ngga gampang, Ay! Butuh banyak waktu. Rai nya juga ngga mau jawab waktu ditanyain tentang itu,” jawabnya sembari berdiri dan memindahkan guling dari pangkuannya ke pangkuanku yang sudah penuh.
Aku membiarkannya. Sudah kebal aku dengan tingkah aneh orang-orang di rumah ini.
“Oiya, Ay!” serunya tiba-tiba.
“Udah dulu deh ceritanya. Kamu bukannya lagi UAS hari terakhir? Udah kelar?” tanya Dava dengan nada ringan ke arah wajahku yang setengah tertutup guling.
Sepertinya dia heran kenapa aku bisa santai-santai di kamarnya padahal sekarang hari terakhir UAS.
“Bewum, niw maw,” mulutku yang tertutup guling melontarkan kalimat yang tidak jelas.
“Hahahahaha… Kamu ngomong apa sih, Ay? Gemes banget! Dari dulu reaksimu masih lambat, ya… udah tau bantal guling numpuk, tapi ngga dipindahin! Kalo gini kan aku jadi ketagihan godain kamu,” Dava mendekat dan memelukku dengan pembatas bantal guling.
Hal cheesy apa lagi neh. Iyuh…
“Lepasin,” ucapku setelah berhasil menekan ujung guling yang menutup mulutku.
“Loh, kenapa? Jarang-jarang loh kakak peluk kamu,” Dava terkikik pelan, masih sambil memelukku (beserta bantal guling) erat-erat.
Aku mendengus kasar. Dasar, menyebalkan!
“Aku udah gede, kak. Geli!”
Dava tak menyahut.
Sebagai gantinya, dia melepaskan pelukannya dan ganti berdiri menghadapku. Dipindahkannya menara bantal guling yang ada di pangkuanku sambil tersenyum. Kali ini senyumnya tidak jahil, dan akupun sangat bersyukur atas itu.
“Ay… kamu sampai kapanpun akan jadi adik kecil kesayangan kakak. Bunga sakura yang polos, manis dan nggemesin. Sampai kapanpun! Kalau bisa, kamu jangan nikah dan selalu jadi lovely princess di keluarga ini, ya?” tatap Dava hangat.
Aku tahu bahwa Dava tulus. Tapi sayangnya, kehangatan itu justru membuat aku sedikit menggigil. Lovely princess apaan? Aku kan lebih mirip Sadako yang doyan menggerutu!
Aku terdiam sebentar. Bingung mau menjawab apa. Tidak mungkin kan, aku menyahut dengan ‘Makasih, kakak ganteng,’ atau ‘uh, aku terharu sekali,’ yang nggak aku banget.
“Kak, udah ya. Mau UAS.”
Pada akhirnya, dua kalimat itu yang keluar dari mulutku sebagai tanggapan untuk kata-kata manis Dava.
Setelah mengatakannya, aku segera berdiri dan berjalan keluar kamar. Ingin rasanya aku menghilang secepatnya dari hadapan kakakku sebelum mendengar kata-kata yang lebih cheesy lagi.
Baik Dava, maupun Dion. Keduanya sama saja. Si duo caper yang sering bikin aku ingin kabur kalau mereka sedang di mode menye-menye.
Ketika aku sudah sampai di bibir pintu kamar Dava, kulihat seseorang menuruni anak tangga dan berjalan menuju pintu depan. Penampilan orang itu sangatlah aneh. Dengan masker, jaket, sarung tangan dan topi bassball hitam. Heran, deh. Kenapa tidak sekalian pakai kaca mata hitam biar lebih mirip penguntit? Maksudku, biar totalitas gitu, loh.
Walaupun aku tidak bisa melihat wajahnya, aku sangat tahu bahwa itu adalah Rai (dilihat dari proporsi tubuhnya yang waw, tinggi banget!).
Ah, iya! Aku kan, mau minta maaf! Bodoh amatlah sama UAS. Nanti aja ngerjainnya mepet-mepet. Biasanya juga bakal melimpah rua idenya kalau ngerjainnya mepet…
Aku bermonolog di dalam hati dan membulatkan tekad untuk mengikuti Rai. Tapi sebelum itu, sepertinya…
“Ay!” Panggil Dava dari dalam kamar.
Dasar, kerang ajaib!
Tuh, kan. Firasatku benar. Pasti dipanggil lagi, deh. Pantas saja aku sempat merasa telingaku gatal.
“Iya, kak?”
Aku berbalik dan berjalan masuk ke dalam kamar Dava. Semoga saja aku tidak sampai kehilangan jejak Rai.
“Apa, Kak? Buruan!” ucapku cepat.
“Segitunya ya, pingin ngerjain UAS? Hahaha,” Dava terbahak.
Apanya sih yang lucu? Selera humornya memang sekelas teri. Cepetan dong, ah!
“Buruan!” Aku berkata tak sabar.
Gemas bin sebel banget deh, rasanya. Sumpah!
“Iya… iya, princess… Sabar! Kakak cuma mau ngasihin ini, nih. Titipan dari Raya… Dikirim langsung dari Korea,” Dava menyerahkan sebuah kaus kaki bulu berwarna pink pucat yang terbungkus plastik bening motif sakura.
Aku speechless. Kenapa harus pink dan berbulu lagi, sih?
“Maaf ya, kakak buka duluan. Habisnya takut Si Raya ngirimin yang aneh-aneh. Jadi, terpaksa deh…” ucapnya tidak enak sambil memandangi kaus kaki tersebut.
“Etapi boleh juga pilihan Si Raya, cocok banget sama kamu!” Dava tersenyum senang.
Aku mendengus. Sekarang bukan waktunya mengagumi benda berbulu ini. Aku harus segera pergi mengejar Rai, tahu!
“Terimakasih,” ucapku akhirnya, bersiap untuk berbalik.
“Ay, tunggu! Ada suratnya, tuh!” Tunjuk Dava antusias. Aku yakin Dava belum membukanya karena menghargai privasiku.
“Dibaca dulu, Ay. Bentar aja. Di sini,” ucap Dava dengan nada sedikit memaksa. Kekepoannya sepertinya kumat.
Kalau sudah begitu, aku tak punya pilihan lain selain membuka surat tersebut dan membacanya. Jika tidak, Dava akan terus menagihku sepanjang hari untuk membacanya dan sungguh, itu sangat menjengkelkan!
Syukurlah cukup setengah menit waktu yang kubutuhkan untuk membacanya.
Tapi, yang jadi masalah sekarang adalah isi dari surat ini. Isi yang mengisyaratkan kepadaku, bahwa akan datang satu masalah lagi di rumah ini. Masalah besar bernama Raya. Dan percayalah, nama lengkap masalah tersebut adalah Indonesia Raya.
***



0 komentar:
Posting Komentar