“Aku akan membunuh waktu.”
“Sudah kubilang berapa kali, itu tidak mungkin, Bung!”
“Hentikan! Jangan sekarang, tuan sok tahu. Aku sedang
pening. Diamlah!”
“Tapi…”
“Diam!”
“Tapi Bung….”
“Kubilang diam! “
“Oke! Aku sudah memperingatkanmu!”
***
Kala itu, di simpang jalan itu, aku menemukanmu. Menangis.
Disamping jasad ayahmu. Matamu merah, lebih karena marah. Aku tahu, kau tengah
marah pada waktu. Kau terlambat. Ayahmupun terbunuh. Aku tak habis pikir.
Kenapa kau tak marah saja pada perampok itu dan berhenti menghujat waktu.
Ketika kutanya alasanmu, kau bilang bahwa sang waktu juga telah membunuh ibumu,
lewat penyakit kangker otak itu. Saat kutanya apa rencanamu, kau bilang akan
buat mesin waktu. Aku tertawa. Mengejek ketidak pekaan otakmu pada apa itu yang
disebut dengan kewajaran. Kau tak rasional. Kau sakit. Itu kesimpulanku.
Kini, di bawah pohon jati, aku harap kau mau mendengarkan
aku. Dengar ,Bung. Aku pun pernah hidup di atas ambang layaknya dirimu. Aku
pernah kalap. Akupun pernah memaki waktu. Tapi kini aku merasa dungu. Kenapa
harus marah pada waktu?
Ini kisah pertama yang akan aku ceritakan kepadamu. Sore
itu, aku memelototi waktu. Lima menit lagi. Waktuku hanya tinggal lima menit.
Kertas ulangan matematikaku kala itu basah. Basah oleh peluh dan air
mata. Tanganku bergetar. Kepalaku pening. Perutku mulas tak karuan. Otakku
kosong dan mati rangsang. Walau aku kala itu tinggal di asrama, bayangan wajah
bapak, juga sebatang rotan hutan yang siap membirukan punggungku tak
habisnya membuat tubuhku menggigil dan merinding. Sebenarnya, aku bukannya tak
mampu. Di asrama, aku juga membaca buku.Tapi aku memang kekurangan waktu. Ah,
lagi- lagi waktu. Kala itu, aku mengkambing hitamkan waktu.
Hai, Bung. Sadari kehadiranku. Kenapa kau terlihat tak
pernah mau tahu. Kau masih sibuk dengan kabel- kabel itu. Aku tahu rasa yakin
itu masih tumbuh. Tapi mesin waktu? Itu fiksi Bung. Khayalan. Jangan bermimpi.
Ini
kisah keduaku. Kau mungkin tak mengenalnya. Dia tinggal di asrama seberang.
Dulu aku sangat menyukainya. Gadisku. Namanya Cempaka. Cantik, putih juga
semampai. Tapi aku bukanlah ayam jago tunggal. Banyak pejantan lain yang datang
memperebutkannya. Tak mau kehilangan gadisku, akupun maju dan tanpa malu
kuutarakan perasaanku di tengah upacara yang nyaris berlalu. Semua terjadi
layaknya hempasan tornado. Sorak- sorak itu, ejekan, pukulan lawan, juga
tamparan guru.
Tapi ada hal lain. Gadis itu tersenyum. Rona itu merekah di
atas pipi tirusnya. Ia mengangguk. Ia menerimaku. Aku tersenyum. Kemudian tertawa.
Kemudian terduduk. Lalu satu minggu kemudian, aku terbaring menangis. Aku
kehilangan gadisku. Ia dilamar guru. Kupikir ini masalah waktu. Andai aku
menimangnya dulu. Ah. Lagi-lagi, aku menghakimi waktu.
Hai,
Bung. Lihat dirimu! Kali ini apa lagi? Kabel- kabel yang melilit batang pohon
juga bulu tikus sebagai bahan percobaanmu? Memangnya kau bisa apa dengan semua
itu?
Oh,ya. Ngomong- ngomong soal keanehan dirimu, kau
mengingatkan aku pada salah seorang kawanku di asrama. Kawan yang bisa dibilang
sama gilanya dengan dirimu. Kawanku itu pemakan kapur. Juga putung rokok. Juga
potongan beton di reruntuhan bangunan. Ada yang bilang semua kebiasaannya itu
bisa dihilangkan. Katanya dengan jasa psikiater.
Tapi
sayang kedua orang tuanya sibuk. Di luar negeri. Designer juga arsitek professional.
Tapi untungnya, kawanku itu bisa curi perhatian ayah juga mamanya lagi. Tapi
itu terjadi setelah dokter mengvonis kalau ia cuma bisa hidup tiga bulan lagi.
Tapi, ya mau bagaimana lagi. Kematian kawan malangku itu datang dua bulan lebih
cepat. Orang tuanya tak terima. Mereka menyalahkan Tuhan, juga waktu. Nah,
lihat! Tidakkah kau merasa orang- orang itu sama tak bijaknya dengan
dirimu?Bukannya banyak manusia yang terus menyalahkan waktu?
Bung, masihkah kau tak sadar akan kehadiranku? Kau hanya
sibuk dengan kabel, bulu tikus, kotak triplek, juga air dari gentong- gentong
itu. Harusnya kau ingat aku. Juga dia. Dia yang berdiri tak jauh dari tempatmu
dan aku menapak bumi. Dia yang kini tengah memperhatikanmu di antara semak dan pohon
palem itu. Bukankah dia juga pernah memberi tahumu tentang gejanggalan saat kau
berusaha membunuh waktu?
Kalau boleh jujur, aku kini membencimu, Bung. Aku, kau dan
dia. Bukankah kita dulu pernah hidup bersama? Selepas aku memutuskan untuk
keluar dari asrama demi menemanimu? Kini, kau sudah terlalu sakit. Nah, lihat!
untuk apa kini kau masuk ke dalam kotak triplek yang terisi kabel dan air itu?
Hei Bung, coba lihat itu! Awan gelap itu. Juga halilintar itu. Hujan deras
sekali, Bung. Apa kau tak sadar kalau hujan kini sudah mengguyur habis tubuh
ceking dan semua bahan percobaanmu.
Sebenarnya aku ingin memayungimu. Tapi maaf, Bung.
Sepertinya payungku rusak. Atau hilang. Atau dimakan tikus. Coba kau minta
kepada dia yang di semak. Agar tak hanya berdiri di situ dan memakai payung itu
sendiri.
Bung, sepertinya waktu magrib sudah nyaris habis. Maaf,
bukannya sok alim. Tapi, sudahkah kau sholat,
Bung? Kau ingat kapan terakhir kita shalat bersama? Apakah kau juga ingat kapan
tepatnya kau memutuskan untuk berhenti shalat? Kapan tepatnya kau marah padaku
karena lupa membangunkanmu untuk shalat magrib? Kau sungguh naif, Bung.
Kala itu kau mencela Tuhan dan dengan pongahnya berkata
bahwa tanpa shalat kau tetap bisa hidup, makan dan bernafas. Kala itu, kau juga
menghujat waktu magrib yang entah karena apa, kau anggap terlalu pendek dan tak
seimbangan dengan waktu-waktu shalat yang lain. Kau memperolok perhitungan
Tuhan. Juga waktu. Ah. Lagi- lagi waktu.
Bung, sepertinya hujannya semakin deras. Sepertinya, petir,
rumput bahkan ilalang sedang marah kepadamu. Berhati- hatilah, Bung. Ah, Bung.
Coba, lihat! Benar dugaanku. Sepertinya awan sedang membantu petir untuk
memperingatkanmu. Lihat! Lihat, anak petir itu! Dia kini tengah mengarah ke
arah tuan pinus ini. Ah, Bung. Cepatlah keluar dari kotak triplek itu, Bung!
Cepat! Cepat! Kau bisa terluka. Ah, Bung! Aku tahu kau tak mau mendengarku.
Tapi, tolong pakai nalurimu! Bung! Bung! Bung! Ah!!!
Ah, begitulah. Sudah terlambat, Bung. Kilat menyambar pohon
itu. Juga dirimu. Maafkan aku. Aku tak mampu menarikmu. Tapi tenang, Bung.
Nanti mungkin kita bisa bertemu. Setelah masa kritismu. Setelah masa sekaratmu.
Apa kau kesakitan? Ya, tentu saja. Aku bisa melihatnya. Tarian asap yang
berasal dari kotak triplek yang menampung tubuhmu. Air memang perantara cerdik
untuk menghantarkan listrik dari kabel yang melilit pohon itu. Aku pikir
rasanya tidak hanya sakit. Tapi perih. Suara petir itu nyaring sekali, Bung.
Kau tentu mendengarnya, bukan?
Bung, sepertinya aku mau pergi saja. Tak tega pula aku
melihat kondisimu. Kau yang kehitaman, kejang- kejang, melotot dan berasap.
Mungkin aku tak perlu sekawatir itu. Lihat dia yang tadi di semak. Dia berjalan
mendekatimu. Dengan payung. Juga karung. Aku pergi dulu, Bung. Bukan. Bukan
karena ingin balas dendam, Bung. Bukan karena dulu kau meninggalkanku.
Sebelum
aku pergi, apakah kau ingat tentang kisah ini?Bung, Lima tahun lalu, di libur
akhir sekolah, ada dua bocah berperawakan kurus menatap takjub ke arah sebuah
jam raksasa di sebuah kota. Sebut saja nama kedua bocah itu Si Hitam dan Si
Putih sebagaimana warna kulit mereka.
Si Putih menyuruh Si Hitam untuk masuk ke dalam mesin jam
itu. Si Putih berkata, jam itu bisa membuat Si Hitam lupa akan semua
permasalahan hidupnya. Si Putih bilang itu jam ajaib. Karena merasa masalah
hidupnya terlalu berat, Si Hitampun masuk ke dalam mesin jam itu dan di dalam
mesin jam, ia terus mengamati mesin juga bandul raksasa yang menggantung di
situ. Tapi naas. Rupanya bandul itu akan berdentang setiap jarum menit berada
di angka dua belas.
Dan petaka itupun terjadi. Bandul itu bergerak cepat.
Berdentang. Menampar dan mencabik tubuh Si Hitam yang tak kuat membuka pintu
jam raksasa yang tiba- tiba macet. Sebelum semuanya berakhir dan menjadi gelap,
ada segelintir hal yang tertancap kuat di dalam memori Si Hitam. Rekaman adegan
itu. Pekikan histeris orang- orang, lengkingan teriakan parau dari seorang
bapak tua bertopi kelabu yang terus berusaha membuka kenop pintu jam itu dan
juga seringai mengerikan dari Si Putih.
Tapi sayang, Si Putih kabur. Diambilnya langkah seribu. Ia
menghilang. Dengan dosa yang membuatnya gila dan dipenuhi rasa bersalah. Lalu
nasib Si Hitam? Ya, dia tidak mati. Hanya koma dan kritis. Lima tahun ia
begitu. Terbaring dan tak sadarkan diri. Sampai akhirnya ia meninggal tiga hari
yang lalu. Begitulah Bung, kisah terakhirku yang kuceritakan kepadamu.
Hei, lihat! Nampaknya dia yang tadi disemak itu, sudah
semakin dekat dengan tubuhmu. Sampaikan salam dan rinduku untuknya. Kusudahi
saja semua skenario dan sok ketidaktahuanku. Aku sadar kau tidak mungkin bisa
mendengarku. Percuma saja aku mencuit panjang lebar.
Ngomong- ngomong soal dia yang di semak, dia sudah
memaafkanmu. Kau tentu ingat kalau dia ayahku. Ayahku sudah memaafkanmu. Akupun
sudah memaafkanmu. Kau masih anggap aku sebagai saudara dan dia sebagai ayah
angkatmu bukan? Ya, tentu saja. Harusnya kau terus menganggap kami keluarga
sejak ayahku memungutmu dari simpang jalan itu paska terbunuhnya ayahmu. Ya,
benar. Itu terjadi di saat dengan keras kepalanya kau menyalahkan waktu.
Sudahlah, Bung. Setelah hari ini, aku yakin kau sudah tak akan bisa mengalahkan waktu. Akui saja. Kau kalah telak oleh waktu. Aku berharap Tuhan masih mengampunimu tingkahmu, Juga keegoisanmu. Aku harap kau yang dulunya bersikeras membunuh waktu, tidak berbalik malah dibunuh waktu.
Aku harap kau tidak seperti aku. Aku yang lenyap tiga hari lalu karena ulahmu menggunakan waktu sebagai alat untuk menyakitiku lima tahun lalu. Si putih, Si Hitam juga si bapak bertopi lusuh. Ingatkah kau tentang kisah kita itu? Kau tentu tahu, kaulah Si Putih itu. Ayahku sang bapak bertopi lusuh. Dan aku. Akulah sang korban dalam kisah miris itu.
Jangan memelototi aku begitu. Kau marah? Atau sakit? Atau
kau sudah bertemu Sang Malaikat Maut? Haha. Kau lucu, Bung. Kau telah membuat
jasadku tak tenang, Bung. Dan lagi Bung, sebelum aku pergi, aku ingin bertanya
kepadamu.
Bung,
jika kau mati, tidakkah kau senang karena akan menemui ibumu? Bukankah kini,
harusnya kau berterimakasih pada waktu?!
(edited)
***
(Zilfania
AM-pernah dimuat di kumpulan cerpen angkatan)


0 komentar:
Posting Komentar