Rabu, 03 Juni 2020

Cerpen: Membunuh Waktu

Membunuh Waktu




“Aku akan membunuh waktu.”

“Sudah kubilang berapa kali, itu tidak mungkin, Bung!”

 “Hentikan! Jangan sekarang, tuan sok tahu. Aku sedang pening. Diamlah!”

“Tapi…”

“Diam!”

“Tapi Bung….”

“Kubilang diam! “

“Oke!  Aku sudah memperingatkanmu!”

                                                                                                ***

Kala itu, di simpang jalan itu, aku menemukanmu. Menangis. Disamping jasad ayahmu. Matamu merah, lebih karena marah. Aku tahu, kau tengah marah pada waktu. Kau terlambat. Ayahmupun terbunuh. Aku tak habis pikir. Kenapa kau tak marah saja pada perampok itu dan berhenti menghujat waktu. Ketika kutanya alasanmu, kau bilang bahwa sang waktu juga telah membunuh ibumu, lewat penyakit kangker otak itu. Saat kutanya apa rencanamu, kau bilang akan buat mesin waktu. Aku tertawa. Mengejek ketidak pekaan otakmu pada apa itu yang disebut dengan kewajaran. Kau tak rasional. Kau sakit. Itu kesimpulanku.

Kini, di bawah pohon jati, aku harap kau mau mendengarkan aku. Dengar ,Bung. Aku pun pernah hidup di atas ambang layaknya dirimu. Aku pernah kalap. Akupun pernah memaki waktu. Tapi kini aku merasa dungu. Kenapa harus marah pada waktu?

Ini kisah pertama yang akan aku ceritakan kepadamu. Sore itu, aku memelototi waktu. Lima menit lagi. Waktuku hanya tinggal lima menit. Kertas ulangan  matematikaku kala itu basah. Basah oleh peluh dan air mata. Tanganku bergetar. Kepalaku pening. Perutku mulas tak karuan. Otakku kosong dan mati rangsang. Walau aku kala itu tinggal di asrama, bayangan wajah bapak,  juga sebatang rotan hutan yang siap membirukan punggungku tak habisnya membuat tubuhku menggigil dan merinding. Sebenarnya, aku bukannya tak mampu. Di asrama, aku juga membaca buku.Tapi aku memang kekurangan waktu. Ah, lagi- lagi waktu. Kala itu, aku mengkambing hitamkan waktu.

Hai, Bung. Sadari kehadiranku. Kenapa kau terlihat tak pernah mau tahu. Kau masih sibuk dengan kabel- kabel itu. Aku tahu rasa yakin itu masih tumbuh. Tapi mesin waktu? Itu fiksi Bung. Khayalan. Jangan bermimpi.

Ini kisah keduaku. Kau mungkin tak mengenalnya. Dia tinggal di asrama seberang. Dulu aku sangat menyukainya. Gadisku. Namanya Cempaka. Cantik, putih juga semampai. Tapi aku bukanlah ayam jago tunggal. Banyak pejantan lain yang datang memperebutkannya. Tak mau kehilangan gadisku, akupun maju dan tanpa malu kuutarakan perasaanku di tengah upacara yang nyaris berlalu. Semua terjadi layaknya hempasan tornado. Sorak- sorak itu, ejekan, pukulan lawan, juga tamparan guru.

Tapi ada hal lain. Gadis itu tersenyum. Rona itu merekah di atas pipi tirusnya. Ia mengangguk. Ia menerimaku. Aku tersenyum. Kemudian tertawa. Kemudian terduduk. Lalu satu minggu kemudian, aku terbaring menangis. Aku kehilangan gadisku. Ia dilamar guru. Kupikir ini masalah waktu. Andai aku menimangnya dulu. Ah. Lagi-lagi, aku menghakimi waktu.

Hai, Bung. Lihat dirimu! Kali ini apa lagi? Kabel- kabel yang melilit batang pohon juga bulu tikus sebagai bahan percobaanmu? Memangnya kau bisa apa dengan semua itu?

Oh,ya. Ngomong- ngomong soal keanehan dirimu, kau mengingatkan aku pada salah seorang kawanku di asrama. Kawan yang bisa dibilang sama gilanya dengan dirimu. Kawanku itu pemakan kapur. Juga putung rokok. Juga potongan beton di reruntuhan bangunan. Ada yang bilang semua kebiasaannya itu bisa dihilangkan. Katanya dengan jasa psikiater.

Tapi sayang kedua orang tuanya sibuk. Di luar negeri. Designer juga arsitek professional. Tapi untungnya, kawanku itu bisa curi perhatian ayah juga mamanya lagi. Tapi itu terjadi setelah dokter mengvonis kalau ia cuma bisa hidup tiga bulan lagi. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Kematian kawan malangku itu datang dua bulan lebih cepat. Orang tuanya tak terima. Mereka menyalahkan Tuhan, juga waktu. Nah, lihat! Tidakkah kau merasa orang- orang itu sama tak bijaknya dengan dirimu?Bukannya banyak manusia yang terus menyalahkan waktu?

Bung, masihkah kau tak sadar akan kehadiranku? Kau hanya sibuk dengan kabel, bulu tikus, kotak triplek, juga air dari gentong- gentong itu. Harusnya kau ingat aku. Juga dia. Dia yang berdiri tak jauh dari tempatmu dan aku menapak bumi. Dia yang kini tengah memperhatikanmu di antara semak dan pohon palem itu. Bukankah dia juga pernah memberi tahumu tentang gejanggalan saat kau berusaha membunuh waktu?

Kalau boleh jujur, aku kini membencimu, Bung. Aku, kau dan dia. Bukankah kita dulu pernah hidup bersama? Selepas aku memutuskan untuk keluar dari asrama demi menemanimu? Kini, kau sudah terlalu sakit. Nah, lihat! untuk apa kini kau masuk ke dalam kotak triplek yang terisi kabel dan air itu? Hei Bung, coba lihat itu! Awan gelap itu. Juga halilintar itu. Hujan deras sekali, Bung. Apa kau tak sadar kalau hujan kini sudah mengguyur habis tubuh ceking dan semua bahan percobaanmu.

Sebenarnya aku ingin memayungimu. Tapi maaf, Bung. Sepertinya payungku rusak. Atau hilang. Atau dimakan tikus. Coba kau minta kepada dia yang di semak. Agar tak hanya berdiri di situ dan memakai payung itu sendiri.

Bung, sepertinya waktu magrib sudah nyaris habis. Maaf, bukannya sok alim. Tapi, sudahkah kau sholat, Bung? Kau ingat kapan terakhir kita shalat bersama? Apakah kau juga ingat kapan tepatnya kau memutuskan untuk berhenti shalat? Kapan tepatnya kau marah padaku karena lupa membangunkanmu untuk shalat magrib? Kau sungguh naif, Bung.

Kala itu kau mencela Tuhan dan dengan pongahnya berkata bahwa tanpa shalat kau tetap bisa hidup, makan dan bernafas. Kala itu, kau juga menghujat waktu magrib yang entah karena apa, kau anggap terlalu pendek dan tak seimbangan dengan waktu-waktu shalat yang lain. Kau memperolok perhitungan Tuhan. Juga waktu. Ah. Lagi- lagi waktu.

Bung, sepertinya hujannya semakin deras. Sepertinya, petir, rumput bahkan ilalang sedang marah kepadamu. Berhati- hatilah, Bung. Ah, Bung. Coba, lihat! Benar dugaanku. Sepertinya awan sedang membantu petir untuk memperingatkanmu. Lihat! Lihat, anak petir itu! Dia kini tengah mengarah ke arah tuan pinus ini. Ah, Bung. Cepatlah keluar dari kotak triplek itu, Bung! Cepat! Cepat! Kau bisa terluka. Ah, Bung! Aku tahu kau tak mau mendengarku. Tapi, tolong pakai nalurimu! Bung! Bung! Bung! Ah!!!

Ah, begitulah. Sudah terlambat, Bung. Kilat menyambar pohon itu. Juga dirimu. Maafkan aku. Aku tak mampu menarikmu. Tapi tenang, Bung. Nanti mungkin kita bisa bertemu. Setelah masa kritismu. Setelah masa sekaratmu. Apa kau kesakitan? Ya, tentu saja. Aku bisa melihatnya. Tarian asap yang berasal dari kotak triplek yang menampung tubuhmu. Air memang perantara cerdik untuk menghantarkan listrik dari kabel yang melilit pohon itu. Aku pikir rasanya tidak hanya sakit. Tapi perih. Suara petir itu nyaring sekali, Bung. Kau tentu mendengarnya, bukan?

Bung, sepertinya aku mau pergi saja. Tak tega pula aku melihat kondisimu. Kau yang kehitaman, kejang- kejang, melotot dan berasap. Mungkin aku tak perlu sekawatir itu. Lihat dia yang tadi di semak. Dia berjalan mendekatimu. Dengan payung. Juga karung. Aku pergi dulu, Bung. Bukan. Bukan karena ingin balas dendam, Bung. Bukan karena dulu kau meninggalkanku.

Sebelum aku pergi, apakah kau ingat tentang kisah ini?Bung, Lima tahun lalu, di libur akhir sekolah, ada dua bocah berperawakan kurus menatap takjub ke arah sebuah jam raksasa di sebuah kota. Sebut saja nama kedua bocah itu Si Hitam dan Si Putih sebagaimana warna kulit mereka.

Si Putih menyuruh Si Hitam untuk masuk ke dalam mesin jam itu. Si Putih berkata, jam itu bisa membuat Si Hitam lupa akan semua permasalahan hidupnya. Si Putih bilang itu jam ajaib. Karena merasa masalah hidupnya terlalu berat, Si Hitampun masuk ke dalam mesin jam itu dan di dalam mesin jam, ia terus mengamati mesin juga bandul raksasa yang menggantung di situ. Tapi naas. Rupanya bandul itu akan berdentang setiap jarum menit berada di angka dua belas.

Dan petaka itupun terjadi. Bandul itu bergerak cepat. Berdentang. Menampar dan mencabik tubuh Si Hitam yang tak kuat membuka pintu jam raksasa yang tiba- tiba macet. Sebelum semuanya berakhir dan menjadi gelap, ada segelintir hal yang tertancap kuat di dalam memori Si Hitam. Rekaman adegan itu. Pekikan histeris orang- orang, lengkingan teriakan parau dari seorang bapak tua bertopi kelabu yang terus berusaha membuka kenop pintu jam itu dan juga seringai mengerikan dari Si Putih.

Tapi sayang, Si Putih kabur. Diambilnya langkah seribu. Ia menghilang. Dengan dosa yang membuatnya gila dan dipenuhi rasa bersalah. Lalu nasib Si Hitam? Ya, dia tidak mati. Hanya koma dan kritis. Lima tahun ia begitu. Terbaring dan tak sadarkan diri. Sampai akhirnya ia meninggal tiga hari yang lalu. Begitulah Bung, kisah terakhirku yang kuceritakan kepadamu.

Hei, lihat! Nampaknya dia yang tadi disemak  itu, sudah semakin dekat dengan tubuhmu. Sampaikan salam dan rinduku untuknya. Kusudahi saja semua skenario dan sok ketidaktahuanku. Aku sadar kau tidak mungkin bisa mendengarku. Percuma saja aku mencuit panjang lebar.

Ngomong- ngomong soal dia yang di semak, dia sudah memaafkanmu. Kau tentu ingat kalau dia ayahku. Ayahku sudah memaafkanmu. Akupun sudah memaafkanmu. Kau masih anggap aku sebagai saudara dan dia sebagai ayah angkatmu bukan? Ya, tentu saja. Harusnya kau terus menganggap kami keluarga sejak ayahku memungutmu dari simpang jalan itu paska terbunuhnya ayahmu. Ya, benar. Itu terjadi di saat dengan keras kepalanya kau menyalahkan waktu.

Sudahlah, Bung. Setelah hari ini, aku yakin kau sudah tak akan bisa mengalahkan waktu. Akui saja. Kau kalah telak oleh waktu. Aku berharap Tuhan masih mengampunimu tingkahmu, Juga keegoisanmu. Aku harap kau yang dulunya bersikeras membunuh waktu, tidak berbalik malah dibunuh waktu.

Aku harap kau tidak seperti aku. Aku yang lenyap tiga hari lalu karena ulahmu menggunakan waktu sebagai alat untuk menyakitiku lima tahun lalu. Si putih, Si Hitam juga si bapak bertopi lusuh. Ingatkah kau tentang kisah kita itu? Kau tentu tahu, kaulah Si Putih itu. Ayahku sang bapak bertopi lusuh. Dan aku. Akulah sang korban dalam kisah miris itu.

Jangan memelototi aku begitu. Kau marah? Atau sakit? Atau kau sudah bertemu Sang Malaikat Maut? Haha. Kau lucu, Bung. Kau telah membuat jasadku tak tenang, Bung. Dan lagi Bung, sebelum aku pergi, aku ingin bertanya kepadamu.

           Bung, jika kau mati, tidakkah kau senang karena akan menemui ibumu? Bukankah kini, harusnya kau berterimakasih pada waktu?!

(edited)

                                                            ***

 

(Zilfania AM-pernah dimuat di kumpulan cerpen angkatan) 

 

 

 

 


0 komentar:

Posting Komentar