“Segeralah menikah, nak…”
“Iya, bu…”
“Segera
menikah ya, nak…” Ibuku tersenyum. Suaranya bergetar.
“Iya, bu.
Secepatnya. Aku janji.”
***
Janji itu membelit raga ini di antara langkah lunglai
tubuhku. Ibuku yang sudah menginjak usia separuh abad itu agaknya sudah tak
dapat menahan hasratnya guna menimang seorang cucu. Untungnya, kini Tuhanku
yang Maha Segala-galanya terbitkan tapak demi tapak petunjuk yang mengarah pada
mimpi besar itu. Menikah di usia muda.
Tuhan munculkan sebuah lukisan indah yang sukses menjerat
mata, raga dan batinku. Ya, bola mata itu. Coklat. Dengan sebilah untaian emas
tipis yang terpaut mengelilinginya. Indah. Menawan. Elok dan jutaan kata
kekaguman lain yang harus kugunakan demi menggambarkanya.
Sang
pemilik adalah seseorang yang gemulai dan tertutup rapat. Bercadar. Bergamis
panjang gelap. Hanya dua hal yang dapat kulihat pada dirinya. Sepasang mata
elok dan kedua telapak tangannya. Aku sudah menaruh hati padanya sejak pertama
kali ia muncul di restoranku dengan segala aura luar biasa yang berhasil
menyedot seluruh perhatianku.
Sejak hari itu aku tak akan pernah ragu lagi. Aku yakin
dialah yang akan menjadi bidadariku. Sejak hari itu aku terus berusaha mendekatinya
dan mengajaknya untuk mendaki ke jenjang yang lebih serius. Walau aku tahu,
bahwa sejak hari itu aku juga telah menemukan satu kekurangan besar pada
dirinya yang telah kusimpulkan bahwa itu adalah sebuah cacat yang sudah ia
miliki sejak mendiami rahim ibu.
Dia bisu. Aku tak pernah mendengar
satu kata pun terlontar dari bibirnya. Tapi, tak apa. Aku sudah bertekad bahwa
aku tak akan pernah mempermasalahkan itu. Berbicara dengannya melalui lembaran
kertas datar saja, aku sudah sangat bahagia. Tentu saja. Tentu saja aku
bahagia. Karena bola mata coklat itu, telah berhasil membuat aku paham tentang
apa itu yang disebut dengan terperangkap dalam mabuk cinta.
Dan lihat. Detik ini, ratusan bunga-bunga putih dan kupu-kupu
kuning berhasil menggelitik dadaku dan sukses membuat aku sulit bernafas.
Setelah sekian lama dalam penantian, akhirnya tawaran itu datang juga. Dia
mengundangku untuk datang kerumahnya siang ini, sendiri. Kukosongkan semua
kesibukanku dan datang ke rumahnya dengan penampilan terbaikku. Kubawa sebuah
cincin perak dan seekor kelinci Persia sebagai kejutan kecil untuknya.
Hari ini aku bertekad untuk melamarnya.
***
Agaknya penambilan rumahnya tak
seindah warna bola matanya. Kelabu dengan beberapa warna hitam di sudut-
sudut ruangan. Kuamati rumah gadis pujaanku itu sekilas. Ia memang pernah
menuliskannya kepadaku bahwa ia sangat menyukai binatang. Tapi, aku tak pernah
menyangka bahwa jumlahnya akan sebanyak ini. Ada kucing, marmot, tikus putih,
tupai dan binatang kecil berbulu lainnya yang terkurung di dalam kandang
kaca. Awalnya aku biasa saja. Tapi, beberapa kadal dan ular yang juga ada
di sana cukup membuat aku kaget dan tidak merasa biasa.
Berbeda dengan perkiraanku sebelumnya, semua tampak hening
dan terasa kikuk. Kini aku tengah duduk sendirian di atas kursi kayu ruang
tamu. Gadisku sudah lama pergi guna meracik secangkir minuman hangat untukku di
dapur. Bagiku yang koki handal, tak pernah kutemui sebuah resep minuman yang
butuh waktu selama ini untuk membuatnya. Aku mendengus pelan. Bosan.
Akhirnya, kuputuskan untuk beranjak pergi demi sebukat
bunga mawar yang ingin aku pajang di atas meja kaca ruang tamu gadis itu.
Hitung- hitung mengisi kekosongan, akupun memutuskan untuk berjalan kaki
saja. Setengah jam kemudian aku kembali dengan sepaket bunga mawar ranum indah
dan sekantong wortel yang tadi sempat kubeli untuk Mona, kelinci persiaku. Aku
tersenyum sumrigah. Aku akan mengejutkannya.
Sesampainya di teras rumahnya, kupercepat langkah kakiku
menuju ruang tamu. Sepi sekali. Tak kutemui siapapun di situ. Tak terkecuali
Mona dan kandangnya yang tadi kuletakkan di atas meja.
Dimana perginya hewan berbulu itu?
Ditengah kebisuanku berpikir, secangkir minuman cokelat
kemerahan di atas meja, meruak menarik perhatianku. Tanpa banyak pikir, akupun
menyeruput minuman yang tampak seperti campuran kopi dan teh itu. Cepat. Aku
menyeruputnya dengan selera. Namun, tampaknya aku melupakan sesuatu. Karena,
sedetik kemudian sesuatu yang aneh merayap membungkus lidahku. Kepalaku
berdenyut memperotes keganjilan. Aneh sekali. Akupun berhenti meminumnya.
Minuman apa ini?
Belum selesai aku mencerna kembali tentang apa yang kini
masuk ke dalam lambungku, sedikit rasa pekat yang tak mengenakkan tiba- tiba
muncul memeluntir permukaan lidahku.
Kucoba mengidentifikasi aroma minuman itu. Bau asing
menyeruak menyusuri lubang hidungku. Asam, menyengat, anyir dan sedikit amis.
Semakin lama, aroma itu semakin kuat. Menepis aroma wangi yang tadi sempat kucium
ketika pertama kali menyesapnya. Kulirik meja kaca ruang tamu dihadapanku
sesaat. Aku berpikir. Tertegun.
Ini… masa iya? Dicampur cairan
itukah?
Kucoba mencium minuman itu sekali lagi. Keraguanku sirna
seketika. Ini memang cairan itu. Menyadari sesuatu, akupun segera melempar
cangkir di tanganku seraya berlari mencari tong sampah terdekat. Tak
kupedulikan suara pecahan cangkir yang menggema memenuhi ruang tamu. Kubuka
tutup tong sampah dekat dapur cepat- cepat. Ingin rasanya kukeluarkan semua isi
dalam perutku saat ini juga. Tapi, semua kuurungkan disaat kudapati gundukan
bulu- bulu emas coklat kemerahan yang kini memenuhi permukaan tong sampah itu.
Kulongokkan kepalaku lebih dalam. Tak hanya satu jenis. Belasan jenis bulu
binatang bergerombol mengisi ruang kosong tong sampah itu. Amis bercak darah
menembus menampar hidungku dan hatiku.
Aku membekap mulutku kuat-kuat. Kulihat telinga Mona
kelinciku, mencuat di antara lautan bulu-bulu itu. Satu- satunya hal masuk akal
yang kupikirkan kini adalah bagaimana caraku agar bisa segera keluar dari
tempat menakutkan ini. Namun sayang pula. Naas memang tengah merengutku. Tiba-
tiba sebuah cengkraman kuat bertengger talak di atas bahuku. Bulu kuduku
meremang seiring gerak tubuhku yang semakin membatu. Dengan cepat, kutolehkan
wajahku menatap bola mata pemilik cengkraman tangan itu.
Aku tercengang. Tak kudapati lagi sinar indah yang biasa
terpancar menghiasi bola mata coklat itu.Ya, semua kini menjadi abstrak. Bola
mata itu… mengerjap- ngerjap liar menusuk mataku. Awalnya Kelabu. Hitam.
Kemudian menjadi merah. Dan lagi. Ditangannya kini terasah pisau dapur raksasa
yang penuh dengan cairan merah pekat dan berlendir. Ia mengacungkan pisau itu
kearah hidungku.
“Bagaimana,
Mas? Kuharap minuman itu bisa jadi menu andalan baru di restoranmu. Bagiku,
campuran darah kelinci itu memang yang paling lezat di banding yang lain.
Bagaimana menurutmu, Mas?!”
Aku bergidik. Suara berat dan datar itu. Tak bisa kupercaya
apa yang kudapati saat ini. Bukan. Bukan hanya karena sosok yang kukira wanita
bercadar itu tiba-tiba bisa berbicara. Aku menghirup nafas dalam-dalam.
Oksigen. Aku butuh oksigen. Pengap. Aku sulit bernafas. Semua berputar begitu
cepat. Kepalaku pening. Mual . Telingaku berdenyut. Hidungku merah dan terasa
basah. Aku tak tahu apalagi skenario yang terjadi berikutnya. Tiba-tiba semua
teraduk dan…
Gelap.
Dalam bawah sadar, alih-alih kudengar bibirku berbisik
lirih.
Bagaimana mungkin. Suaranya… suara
miliknya… Bagaimana mungkin gadisku, ternyata dia… selama ini… tak
kusangka…dia…
Seorang bocah laki- laki, peminum darah
binatang.
(edited)
***
(Zilfania
AM-pernah dimuat di majalah Magnet)
NOTE: dalam cerpen ini, penulis sama sekali tidak ada maksud menjelek-jelekkan agama manapun, berikut atributnya. Cerpen ini hanya merupakan fiksi belaka dan menyiratkan dan menyinggung sedikit gambaran mengenai fenomena 'tidak benar' yang terjadi di muka bumi ini. Seperti menggunakan atribut keagamaan untuk hal2 yang tidak seharusnya misalnya.

0 komentar:
Posting Komentar