Blood is thicker than rain water.
Whatever the conditions, they will always become reliable brothers.
They will teach you, hug you, and love you...
Forever, till they die...
"Ay... jangan ditusuk-tusuk doang wortelnya! Di makan, dong!" Suara ngebass Dion berhasil membuyarkan lamunanku.
Sekarang kami bertiga sedang duduk melingkari meja makan untuk makan siang. Hidangan hari ini adalah cap cai andalan dion dengan banyak wortel dan brokoli. Dion adalah yang terjago masak kedua dirumah ini setelah ibu. Kemampuan memasaknya sepertinya muncul, karena ia memilih untuk hidup hemat dengan cara masak sendiri selama masa pertukaran pelajar di Jepang.
"Ay!!! Makananan tuh, jangan dimainiin!"
Aku segera menghentikan gerak alat makanku ketika tersadar bahwa aku telah membangun brokoli empat susun di piringku. Pikiranku sekarang benar-benar kacau sampai-sampai aku tidak sadar dengan apa yang telah kuperbuat terhadap brokoli-brokoli cantik ini.
"Sebenarnya kamu lagi mikirin apa sih, Ay?" Dava bertanya serius sambil menyendok brokoli susunku ke piringnya.
"Ngga papa. Nggak penting, kok..." ucapku sambil berusaha berkonsentrasi melahap nasi dan potongan sosis sapi.
"Dan lagi, apa-apaan tadi itu?"
"Apanya?" tanyaku pura-pura tak tahu.
"Suara dari lantai dua. Kayak ada yang banting pintu sama teriak gitu. Tadi ngga sempat kucek soalnya aku lagi sibuk bantu Dion motongin sayur biar cepet kelar."
"Loh, emangnya ada yang begituan tadi? Aku kok ngga denger?! Emang ada apaan Ay di atas?" sahut Dion ikut penasaran.
" Hantu." Jawabku pendek.
"Apaa?!" Dion dan Dava berseru bebarengan.
"Hantu kolong kasur pakai baju putih, yang kata kak Dava itu..." lanjutku misterius.
"Ya?" Dava merasa terpanggil.
"Ternyata memang ada di kamar tamu..." ucapku santai. Toh aku tidak benar-benar berbohong. Memang ada 'hantu' ganteng berbajuh putih di kamar tamu.
"Emangnya ada hantu di kamar tamu, Dav?" kini ganti Dion yang bertanya kepada Dava.
"Ehe.. Itu..." Dava tampak ragu.
"Aku sebenarnya cuma bercanda bilang gitu ke Aya. Soalnya kan Aya parnoan sama hal-hal yang kayak gitu. Etapi kan di kamar tamu sekarang ada Rai, Ay!" Dava menatapku tak mengerti.
"Mungkin Rai nya lagi pake headset sambil merem jadinya ngga tau," jawabku asal.
"Wah kalo ada hantu beneran, gawat nih Dav. Kayaknya kita harus segera panggil pengusir setan! Apa kita kasih garem aja di depan kamar tamu?" Dion mulai panik sambil mengscroll handphone nya untuk mencari kontak seseorang.
"Apaan sih Yon! Udahlah ngga usah dibahas. Aya pasti ngomong ngelantur barusan!" Papar Dava sambil melanjutkan aktivitas makannya.
Walaupun Dava menyuruh kami untuk tidak membahasnya, wajahnya justru menunjukkan bahwa ia masih memikirkannya. Mungkin Dava sedang memikirkan berbagai macam kemungkinan, namun terlalu menganggap tidak masuk akal jika Rai adalah pelakunya.
"Ngomong-ngomong, Rai kok ngga ikut makan, kak?" tanyaku pada Dion.
Aku memang masih kesal kepada Rai. Tapi, aku masih punya sisi kemanusiaan yang tak tega jika mengetahui seseorang dibiarkan kelaparan di saat jelas-jelas ada makanan melimpah yang siap untuk dimakan.
"Oh, Rai... Tadi dia udah kuajak, kok. Tapi dianya nolak dan justru bilang 'ich habe keinen Hunger', gitu..." kata Dion sambil menirukan mimik dingin Rai.
"Emang kakak tau artinya?" tanyaku penasaran.
Aku tidak ingat Dion pernah belajar bahasa Jerman. Kalau Dava yang tahu artinya sih, aku tidak heran.
"Ngga tau artinya kok! Cuma, dari gestur tubuh dan mimiknya... mirip banget kayak Aya pas lagi nolak waktu kuajak makan," jawab Dion dengan tenang. Dia terlihat seperti sedang mengenang sesuatu.
"Emang itu artinya, intinya dia nggak mau makan ya, kak?" tanyaku kepada Dava. Memastikan bahwa Dion tak salah kaprah dan berujung membuat anak orang kelaparan.
"Itu intinya, dia nggak lapar..." jawab Dava menerawang.
"Udah ah, ngga usah dipikirin! Dia beli banyak stok makanan kok tadi. Itu empat dari tujuh kresek yang dia tenteng, isinya makanan semua! Dan juga, kayaknya ada kemungkinan dia ngga bakal keluar kamar beberapa hari dan memilih untuk makan sendiri di kamarnya... Anak itu... kayaknya pikirannya kacau banget!" Dava menghela nafas panjang. Tampak iba dengan kondisi mental yang dialami Rai.
Aku ikut menghela nafas panjang. Pasti beban pikiran Rai sangatlah berat saat ini. Dia harus melihat ibunya meninggal di hadapannya, dan melihat ayahnya meninggal setelah penantian panjangnya. Bisa jadi juga, ia menyalahkan dirinya atas kematian kedua orang tuanya. Ditambah lagi, posisi Rai yang anak tunggal. Dia pasti merasa sebatang kara tanpa ada satupun saudara yang hadir di sampingnya.
Aku menatap kedua kakakku lekat-lekat. Baru kali ini aku merasa sangat beruntung memiliki mereka. Mereka yang selalu ada dan menunjukkan kasih sayang mereka secara terang-terangan. Mereka yang sering menyebalkan, tapi tidak benar-benar pernah menyakitiku.
"Kak..." kataku sedikit terbawa emosi.
"Ya?" kedua kakakku menoleh bebarengan.
"Terimakasih. Aku, sayang kalian..." tambahku tulus.
Dava dan Dion saling bertatapan tak percaya. Dion segera menampar mukanya sendiri, sedangkan Dava menatapku tajam seperti meminta klarifikasi.
"Kamu ngga lagi bercanda kan, Ay? Kok, tiba-tiba..."
"Aku serius. Tapi aku ngga mau ngulangin lagi kata-kataku barusan," ucapku kembali ke mode normal.
Walaupun bingung dengan ucapanku yang tiba-tiba, Dava tetap tersenyum. Terlihat terharu malah. Sedangkan Dion, di luar dugaan, kakakku yang satu itu sudah memasang wajah mewek dan bersiap untuk menangis. Drama sekali, memang!
Aku merasa cukup konyol melihat pemandangan ini. Tapi akupun sama konyolnya, karena mengucapkan hal menggelikan seperti barusan. Di sisi lain, aku cukup merasa lega karena telah mengatakannya. Dengan begitu, setidaknya kedua kakakku tahu. Bahwa, bagaimanapun sikapku kepada mereka, di dalam hatiku, aku tetap menyayangi mereka.
***
Brrrrrrr
Aku menggigil.
Malam ini, udara cukup dingin. Aku memakai penutup kepala hoodieku dan berjalan ke arah bangku balkon yang menghadap ke arah langit. Dari balkon yang terletak di lantai dua, aku bisa melihat sekelompok remaja tengah nongkrong di lapangan RT kompleksku, sambil memakan sekeresek jagung bakar.
Aku tak begitu suka udara malam yang membuat kaki dan tanganku terasa membeku. Aku tak begitu suka duduk di atas kursi balkon, sambil menatap rembulan yang tinggal setengah. Aku juga tak begitu suka suasana malam ini, karena ada beberapa ekor nyamuk yang nimbrung terbang di hadapanku. Tapi mau tak mau, aku harus melakukannya. Aku harus segera meminta maaf dengan benar kepada Rai.
Tadi, setelah makan siang yang cukup 'mengharukan' bersama kedua kakakku, aku segera pergi ke kamar dan menulis surat damai untuk Rai. Kemudian, kuselipkan surat tersebut melalui sela-sela yang ada di bagian bawah pintu kamar tamu.
Di dalam surat itu, aku mengajaknya bertemu di balkon malam ini, agar aku bisa meminta maaf dengan benar. Di sampimg, untuk meluruskan prasangka Rai terhadapku yang sepertinya keliru. Kupilih waktu ini karena, hanya di jam-jam inilah Dava dan Dion akan sibuk dengan urusannya masing-masing dan tidak akan kepikiran untuk mengusikku.
Aku yakin sekali Rai akan datang menemuiku. Bukannya aku terlalu percaya diri. Tapi, aku memang sangat ahli dalam melakukan trik persuasif kepada orang lain melalui tulisan tangan.
"Hei! Ist es dringent? (Jerm: Apakah ini mendesak?)"
Rai muncul dari pintu balkon dengan wajah ditekuk. Panjang umur sekali dia.
Aku tersenyum tipis menanggapi pertanyaannya (walaupun aku sama sekali tak tahu apa artinya kecuali bagian 'hei' nya). Sudah kubilang aku ini ahli persuasi. Es batu saja bisa datang kepadaku jika berhasil dibujuk!
"Hai, Rai... Sini, duduk!" ucapku sambil menepuk bangku lain di sampingku.
Rai tetap bergeming di posisinya. Dia tak mau duduk di sampingku.
"Udahlah, cepetan! Aku ngga mau buang-buang waktu!" Katanya tajam.
Aku menghela nafas dan fokus menatap Rai. Bau kasturi tercium semerbak memasuki lubang hidungku.
"Aku cuma mau minta maaf."
"Untuk apa?" tanya Rai sangsi.
"Semuanya," jawabku sungguh-sungguh.
"Aku ngga ada maksud."
"Apanya?" Rai mengernyitkan dahi.
"Aku ngga ada maksud menyinggung matamu..."
"Lalu?" tanya Rai dengan nada mengintograsi.
"Aku hanya takjub dan mengaguminya."
"Lalu?"
"Tanpa sadar aku ingin memotretnya," kataku jujur.
"Lalu?"
"Aku tidak akan melakukannya lagi," ucapku pada akhirnya.
Dalam kondisi begini, aku memang harus mengatakan apa yang ingin didengar oleh lawan. Ini namanya trik anti debat. Biasanya, aku menggunakan trik ini ketika ada anak-anak perempuan yang mendatangiku untuk minta dikenalkan kepada Dava dan Dion. Ya, walaupun konteks obrolannya jauh berbeda dengan yang sekarang.
Brrrrrrrrr
Semilir hembusan angin yang cukup keras, berhasil membuat aku terlonjak dan menggigil. Aku memang sangat sensitif terhadap udara dingin.
"Kenapa?"
"Dingin banget!" seruku merapatkan penutup hoodieku yang sempat melorot.
Dahi Rai berkerut. Dia memandangku dengan aneh seolah aku ini adalah alien.
Melihat reaksi tersebut, akupun balik mengamatinya dengan heran. Malam ini pakaian Rai bisa dibilang sangat flu-able. Maksudku, bagaimana mungkin dia bisa muncul di balkon malam-malam, dengan kaos pendek hitam dan celana tidur garis-garis yang keliatannya tipis banget?
Selain itu, bahkan dia tidak memprediksikan bahwa akan ada sepasang nyamuk yang hinggap di lengan putihnya dan dengan rakus menghisap darahnya.
Duh, dasar nyamuk-nyamuk jahat! Kalau begini kan aku jadi tidak sabar untuk menabok kalian! Kutepuk pelan aja kali, ya? Toh, niatku baik!
Pak!
PLAAAK!
Aku terlonjak kaget sampai posisiku kini sudah berdiri. Kupegangi telapak tanganku yang tadi ditepis keras oleh Rai erat-erat. Telapak tanganku yang tadinya terasa dingin, kini ganti terasa panas dan perih.
"KAMU NGAPAIN, SIH?" Rai menatapku benci sambil memegangi lengannya yang tadi kupukul pelan.
"Berlebihan banget... Kamu yang ngapain? Barusan aku cuma mukul nyamuk di lenganmu..." ucapku berusaha untuk terdengar tenang. Padahal setengah mati badanku bergetar, dan aku yakin itu bukan sekadar karena dingin udara malam.
"Sakit loh, Rai. Kamu ternyata, kasar yah..." aku berkata miris sambil berbalik dan berjalan menuju pintu keluar balkon.
Damai apanya? Dia loh yang kali ini mulai... Dasar, sensitif banget!
"Tunggu!" Suara Rai yang mengandung sedikit rasa bersalah, segera berhasil menghentikan langkahku.
Aku membalikkan badan dan menatapnya ingin tahu.
Mari kita dengarkan apa yang akan dikatakan si menyebalkan ini setelah dengan kerasnya ia memukul tangan seorang gadis lemah yang baik hati.
"Sorry..." ucap Rai pendek sambil sedikit menunduk.
Aku tersenyum tipis. Mahluk ini bisa minta maaf juga rupanya.
"Kenapa kamu mukul tanganku?" tanyaku meminta penjelasan.
"Aku kaget."
"Tapi tadi keras banget!"
"Itu juga salahmu! Seharusnya kamu nggak pernah nyentuh aku!" Rai sekarang ganti menyalahkanku.
"Hah? Kenapa?" Aku menatapnya geli seakan dia adalah brokoli yang ada di masakan Dion.
"Itu... aku... " Rai tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Tak apa, katakan saja! Aku tak akan marah kalau ucapanmu masuk akal..." ucapku lugas.
"Kamu mungkin akan menganggapku sedang bercanda..."
"Ya?"
"Tapi, aku adalah seorang penderita hapephobia..." lanjut Rai pelan. Ada nada tersiksa di dalam kalimatnya.
"Kamu, hape apa?" aku berusaha memastikan perkataannya.
Takut-takut telingaku salah dengar dikarenakan udara malam.
"Hapephobia!" Seru Rai lebih keras.
Aku terdiam sesaat.
Apa itu hapephobia? Apa maksud Rai, ia phobia hape?
Aku menatap kedua mata Rai lekat-lekat. Berharap, akan ada kebohongan yang aku temukan di kedua sinar bola matanya. Beberapa detik kemudian, aku mengalihkan pandanganku ke arah langit malam. Rai tidak berbohong. Sayangnya, dia berkata yang sebenarnya.
***



0 komentar:
Posting Komentar