FAMILY
Love is unlimited. But sometimes, you can't show it. Just try, believe, and keep going. Then you will find, it showing something.
Hai. Perkenalkan. Namaku, Aya. Aku tak memiliki nama panjang. Karena namaku, hanya Aya saja. Nama tersebut diambil dari bahasa Jepang, yang artinya warna-warni. Berbeda dengan namaku, hidupku tidaklah warna-warni. Sebaliknya, hidupku bisa dikata agak suram disebabkan kepribadianku yang sulit mengekspresikan rasa.
Aku jarang menangis, sulit tersenyum, dan hampir tidak pernah marah di depan orang lain. Namun, di balik itu semua, sebenarnya hatiku sering kali berbicara dan bermonolog jika dibutuhkan. Rasanya di dalam diriku, terdapat sosok lain yang berbeda dengan sosokku di dunia nyata. Hanya saja, sosok itu belum sepenuhnya bangkit.
Berbeda denganku, keluargaku memiliki sifat yang berkebalikan. Mereka adalah orang-orang yang sangat pandai mengekspresikan diri. Aku bersyukur. Karena dengan begitu, aku memiliki peluang untuk memperbaiki daya rasaku menjadi lebih peka di masa depan nanti, kuharap.
Ya, kuharap.
Namun, apalah aku yang hanya manusia kelebihan harapan.
Apa yang disebut dengan harapan itu pupus seketika ketika dia datang. Menginjakkan kaki di rumahku, dengan raut wajah datarnya. Dia yang memiliki aura yang mirip denganku. Aura yang sama suramnya. Aura yang menyebalkan.
Tidak hanya sampai di situ. Mimpiku untuk bisa memiliki kehidupan yang lebih cerah rasanya harus semakin memudar pada pertemuan pertama kami di ruang keluarga, di detik saat ayahku berkata bahwa...
"Anak-anakku dan istriku tersayang, perkenalkan. Namanya Rai. Mulai hari ini, dia tinggal di sini. Aku harap, kalian baik-baik dengannya."
"Untuk penjelasan lebih lanjut, kalian bisa tanyakan nanti. Biarkan Rai pergi ke kamar tamu dan beristirahat dulu. Dia pasti capek setelah menempuh perjalanan jauh," ucap ayahku segera ketika melihat Dava kakakku, sudah akan membuka mulut untuk bertanya.
Di menit berikutnya, ayahku tampak memaksakan senyumnya seraya bangkit dan menepuk bahu Rai. Rai kemudian ikut bangkit dan mengangguk pelan ke arahku, kedua kakakku, dan ibu yang jelas-jelas merasa kebingungan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian, dia berbalik dan berjalan mengikuti ayahku yang sudah lebih dahulu berjalan menuju kamar tamu di lantai atas.
Aku menarik nafas panjang. Apa-apaan itu. Orang itu tidak berbicara apapun, bahkan hanya untuk memberi salam. Itu kan sangat tidak sopan. Sudah begitu, matanya. Kenapa bahkan matanya tidak mau menatap kami?
Aku terus bermonolog ria di dalam hatiku, sampai aku tersadar bahwa Dion ternyata tengah menatapku lekat-lekat. Kukira sudah tidak ada orang selain aku di ruang keluarga ini.
Biasanya, orang rumah akan segera meninggalkanku di saat aku tengah bergumam dan sibuk dengan pikiranku sendiri. Mereka semua tahu bahwa itulah caraku untuk melepas pikiran yang ada, dan untungnya mereka memakluminya.
Aku yakin bahwa sekarang ibu dan Dava sedang menyerbu kamar ayah karena mereka berdua adalah tipe orang yang super ingin tahu tentang segala hal. Tak terkecuali tentang fakta sebenarnya mengenai apakah telur ayam lebih dahulu ada di bumi dibanding ayam, atau malah sebaliknya, misalnya.
"Apa?" tanyaku dengan nada khasku yang monoton dan agak rendah kepada Dion yang masih terus menatapku ingin tahu.
Oiya. Biar kuberi tahu suatu hal. Seheboh dan seberisik apapun percakapan di dalam hatiku, nada suara yang kukeluarkan di dunia nyata tetaplah sama. Tawar dan datar. Sebanyak apapun dialog yang berkicau di dalam hatiku, kalimat yang nantinya keluar dari mulutku, pada akhirnya sering kali tak lebih dari satu kalimat saja.
Aku juga ingin berbicara panjang dengan nada yang variatif. Tapi sayangnya, semua kalimat yang telah siap kulontarkan, seperti tersangkut di tenggorokan dan menguap setelahnya.
Hah. Menyedihkan sekali, bukan?
"Kamu pasti sangat terganggu sekarang kan, Ay?" tatap Dion prihatin.
"Ya," jawabku pelan, setengah berbisik. Tentu saja aku terganggu. Kenapa masih nanya, sih.
"Kamu tenang aja, Ay. Aku dan Dava ngga akan biarin anak itu bikin kamu ngerasa terganggu. Entar aku tanya ayah deh tentang detail alasan kedatangan mahluk satu itu. Oh, dan... Hari ini hari terakhir UAS, kan? Gimana kalau kamu sekarang naik aja ke kamarmu dan segera selesaikan tugas UAS kuliah kamu?"
Wah. Ide bagus itu. Tanpa disuruhpun sebenarnya aku memang berniat akan pergi ke kamar. Apalagi kalau ada Dion di depanku. Rasanya, terbersit sedikit penyesalan kenapa aku tidak pergi ke kamar sedari tadi dan malah asik melamun ria.
"Baiklah," ucapku seraya bangkit dan melewati Dion tanpa permisi.
"Ay..." Panggil Dion agak keras.
Duh. Kali ini apalagi?
"Iya?" sautku malas sambil terus melangkahi anak-anak tangga.
"Semangat ya, UASnya! Kakak sayang kamu..."
Aku berhenti sebentar tanpa menoleh. Harusnya aku sudah terbiasa dengan tingkah menggelikan kakak bungsuku itu. Tapi siapa sih anak kuliahan yang akan tahan jika diperlakukan seperti anak kecil selama 20 tahun?
"Oke," ucapku sembari mempercepat langkah. Takut kakakku akan berbicara yang aneh-aneh lagi.
Mungkin kalian berpikir bahwa tingkahku ini agak kelewatan dan bahkan menganggap aku sebagai adik yang tak tahu terimakasih. Bisa jadi juga kalian berpikir bahwa akulah yang terlalu sentimental dan reaktif, padahal apa yang dilakukan kakakku terlihat dan terdengar wajar-wajar saja.
Hmmm... sebelum kalian berpikir yang tidak-tidak, aku akan perkenalkan keluargaku lebih jauh agar kalian berpikir yang iya-iya.
Aku merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamaku bernama Dava dan kakak keduaku bernama Dion. Kami bertiga, masing-masing hanya terpaut satu tahun. Memang cukup jarang kasus seperti ini. Sepertinya dulu, anjuran untuk KB tidak terlalu berlaku di daerahku.
Hubunganku dengan kedua kakakku tidak bisa dibilang buruk. Namun, juga tak bisa dibilang harmonis. Kalau kalian melihatnya, hubungan ini seperti luapan kasih sayang yang hanya datang dari satu arah.
Aku menyayangi kedua kakakku, tentu saja. Tapi hanya sebatas rasa sayang yang didorong keyakinan bahwa keluarga memang harus saling menyayangi.
Kedua kakakku sudah populer sejak masih di umur batita. Ibu bercerita bahwa mereka kerap mendapat tawaran iklan popok dan bubur bayi, disebabkan keimutan dan keceriaan mereka yang membuat banyak orang jatuh hati kala itu.
Para tetanggaku juga sangat menyukai mereka dan berharap bahwa mereka bisa memiliki anak laki-laki seperti Dion dan Dava. Alhasil, banyak anak laki-laki di RT-ku memiliki nama yang mirip dengan nama kedua kakakku.
"Dion, ke sini!"
Coba saja ada ibu yang meneriakkan kalimat ini di pesta kembang api di lapangan RT-ku. Bisa dijamin, yang datang minimal tiga orang bernama Dion.
Aku sebenarnya tidak masalah dengan kepopuleran kakakku di masa kanak-kanak kami. Namun, semua itu menjadi petaka untukku ketika aku duduk di bangku SMP.
Jarak usia kami yang masing-masing hanya terpaut satu tahun, membuat kami bertiga berkumpul di SMP yang sama selama satu tahun. Terimakasih untuk kedua kakakku, karena berkat mereka hidupku di SMP menjadi sangat penuh drama.
Pernah suatu ketika, di hari ulang tahunku, seorang anak perempuan dari kelasku datang kepadaku dan berusaha mengobrol sok akrab. Aku tahu jika ini merupakan hal yang tidak wajar, mengingat aku jarang memiliki kawan dan memang malas untuk berhubungan dengan banyak orang.
Sebenarnya, aku cukup merasa terganggu dengan kehadirannya di bangkuku. Tapi di sisi lain, aku lemah terhadap anak-anak perempuan sehingga aku tidak enak hati untuk mengusirnya.
Di saat aku bisa dengan leluasa bersikap cuek dan 'kejam' kepada semua anak laki-laki yang mendekatiku, aku tidak bisa melakukan hal yang serupa kepada anak-anak perempuan.
Sesungguhnya, di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tidak ingin membuat mereka sakit hati dan membenciku. Di samping, aku takut akan dampak mengerikan yang akan ditimbulkan jika aku sampai bermusuhan dengan mereka.
"Hai, Ay! Kamu lagi ngapain, nih?" tanya Ana sambil tersenyum manis.
Basa-basi. Padahal jelas-jelas aku sedang menulis catatan matematika. Maksudku, dimana lagi kamu akan menemukan materi aljabar jika bukan di catatan matematika, bukan?
"Mencatat," jawabku singkat sambil menatapnya. Berusaha untuk terlihat menaruh perhatian kepadanya.
"Anu... itu..." Ana tampak ragu-ragu dengan wajahnya yang terus berusaha tersenyum.
"Langsung saja. Tidak apa," ucapku tidak sabar sambil terus menatapnya.
Sebenarnya, aku sedang berbicara dengan mataku. Mengisyaratkan kepada Ana, untuk segera menyelesaikan urusannya dan pergi secepat mungkin. Tapi nampaknya dia tidak peka dan terus berbicara berputar-putar.
Singkat cerita, setelah obrolan yang dipaksakan akrab padahal kenyataannya super canggung dan membosankan, Ana bertanya kepadaku tentang benda seperti apa yang aku sukai.
"Ay, ngomong-ngomong, kamu kalau beli barang-barangmu, sukanya yan kayak gimana, sih?" begitu tanyanya.
Aku sempat curiga akan pertanyaan itu. Aneh saja kedengarannya. Untuk apa dia menanyakan hal-hal yang menunjukkan seperti dia mau membelikan sesuatu untukku saja.
Lebih dari itu, aku yakin seribu persen bahwa tidak ada satupun teman sekelas atau seangkatanku yang tau tanggal ulang tahunku, apalagi mau repot-repot mencari tahu barang kesukaanku untuk membeli kado.
"Benda berbulu dan berwarna pink." Jawabku asal, berharap jawaban itu cukup memuaskannya dan membuatnya segera pergi.
Aku menghembuskan nafas lega, karena sepertinya jawabanku memuaskan Ana. Beberapa waktu kemudian, dia segera izin pergi dan berjalan keluar kelas. Aku senang karena akhirnya aku bisa berduaan dengan catatan matematikaku lagi di jam istirahat pertamaku ini.
Namun, kesenanganku tampaknya hanya bertahan sebentar saja. Di jam istirahat kedua, si duo caper, Dion dan Dava datang ke kelasku. Mereka datang dengan membawa segudang kehebohan dan sebuah boneka beruang raksasa berbulu pink yang sungguh membuat sakit mata.
Tidak sampai di situ, mereka juga memberikan pidato singkat kepada teman-teman kelasku bahwa aku adalah adik kesayangan mereka yang sedang berulang tahun dan meminta teman-temanku untuk selalu memperlakukanku dengan sebaik mungkin.
"Jadi semuanya, ini adek aku Aya lagi ulang tahun hari ini. Ayo semuanya kasih ucapan selamaaat. Satu, dua, tiga..." Dava berteriak memberi komando sambil tersenyum lebar.
"Selamat ulang tahun, Aya..." ajaibnya, seisi kelas (kecuali aku tentunya) nurut saja dan berkoor senada mengucapkan selamat untukku.
"Mulai sekarang, kalian harus berteman baik sama Aya ya, dik-adik. Tapi kalau yang cowo jangan pada terlalu deket-deket. Kalian tahu kan, kalo aku dari klub taekwondo..." ucap Dion tersenyum miring, yang sontak membuat para anak laki-laki menegang seketika.
Itu adalah kali pertama seisi kelasku (kecuali Ana), tahu bahwa aku adalah adik Dion dan Dava. Dua sosok yang mereka dan bahkan seisi sekolah eluh-eluhkan.
Dava adalah mantan ketua OSIS yang sering memenangkan lomba debat bahasa, sedangkan Dion adalah ketua klub taekwondo yang sangat populer di sekolah. Kehadiranku yang awalnya tidak terlalu ketara karena aku sering sekali menundukkan kepala agar tidak ternotice, sejak saat itu menjadi sangat-sangat dipertimbangkan.
Namaku kemudian ikut melambung bersanding dengan nama kakak-kakakku. Aku menjadi dikenal, atau lebih tepatnya terpaksa terkenal. Bukan karena prestasi, tapi karena sensasi yang dibuat oleh Dion dan Deva. Dengan segenap kewarasan, aku mengutuk si duo caper yang dengan seenaknya menjadi biang keladi ketidak tenanganku di SMP.
"Eh, ada adik duo ganteng tuh. Kita ajak kenalan, yuk! Kali aja bisa jadi deket sama kakaknya."
Ini kaum Hawa.
"Eh, ada adik duo jago tuh. Kita deketin, yuk! Etapi jangan, deh. Ngeri kalo sampe dibanting Dion."
Dan yang ini kaum Adam.
Aku sering mendengar percakapan sejenisnya dan aku sudah sangat terbiasa.
Selama satu tahun, aku menahan semuanya.
Menahan diri agar tidak kabur setiap kedua kakakku bolak-balik ke kelasku hanya untuk alasan sepele seperti pinjam bulpen, misalnya. Menahan diri agar tidak masuk ke kolong meja setiap anak-anak perempuan datang ke bangkuku untuk sekadar menitipkan hadiah untuk kedua kakakku.
Menahan diri untuk tidak membalikkan badan dan berlari pergi setiap kakakku marah-marah dan mengancam kepada siapa saja laki-laki yang ketahuan berani mengajakku ngobrol lebih dari tiga menit.
"Adonan cireng dilarang ngajak ngobrol Aya-ku. Sana, pergi!"
Begitu kira-kira kata-kata yang sering Dion semprotkan ke telinga laki-laki yang bahkan hanya mengajak diskusi tentang tugas kelompok.
Walaupun aku tidak terlalu bisa mengekspresikan kekesalanku sehingga Dion dan Dava tidak sadar jika mereka itu super menyebalkan, sebenarnya aku bisa saja memperlakukan mereka dengan super kejam dengan cara tidak menghiraukan kehadiran mereka dan pura-pura tidak kenal sembari berkata, "Siapa ya?" misalnya
Namun, aku memilih untuk tidak melakukannya karena tidak ingin mempermalukan kedua kakakku yang terkenal itu, di samping tidak ingin dicap sebagai adik yang durhaka oleh orang lain.
Itu hanya sedikit gambaran tentang satu tahunku yang melelahkan. Di tahun keduaku di SMP, Dava tidak bersekolah lagi di sana karena sudah lulus, dan Dion mengikuti program pertukaran pelajar di Jepang selama satu tahun, sehingga aku tidak perlu repot-repot menghadapi mereka lagi.
Di bangku SMA, aku memaksa ibu untuk tidak memasukkanku ke sekolah yang sama dengan kedua kakakku dengan alasan bahwa kehadiran mereka membuat aku tidak mandiri dan sulit mendapatkan teman. Ibupun menyetujuinya tanpa pikir panjang, tanpa menghiraukan kedua kakakku yang merengek agar ibu memasukkanku ke sekolah mereka.
"Yah, Bu... Masa Aya enggak sesekolah sama kita. Entar kalo ada yang gangguin gimana? Aku nanti ngga bisa banting dia, dong!" Ucapan Dion segera membuat ibu mendelik kala itu.
"Kurangin uang jajan aku deh Bu... lima puluh persen, bersih! Asal Ayanya, sekolah bareng kita... " Dava ikut membawa-bawa nama duit sebagai senjatanya.
Ibu terlihat agak tergiur dengan tawaran Dava, tapi untungnya tetap menolak keinginan kedua kakakku pada akhirnya.
"Enggak! Ibu lebih sayang Aya dari kalian, jadinya ngga boleh!" Ucap ibuku kejam kala itu.
Ibu dan ayahku memang kerap sekali menuruti apapun permintaanku, dan terang-terangan mengucapkan sayang sebagaimana kakak-kakakku.
Sebenarnya cukup wajar, mengingat aku anak perempuan satu-satunya dan paling kecil di keluarga ini. Ditambah lagi, mereka tidak bisa mengabaikan fakta bahwa aku dulunya adalah bayi prematur yang lahir di usia tujuh setengah bulan dan tumbuh dengan tubuh yang tidak sesehat anak-anak lainnya.
Tidak ada hari yang mereka lewati tanpa bertanya kepadaku perihal apakah aku baik-baik saja, apakah ada yang menggangguku, ataupun apakah ada yang kuinginkan.
Setiap hari pula aku berusaha bersabar memberi tahu mereka bahwa, aku baik-baik saja, tidak ada yang menggangguku karena aku bisa menjaga diri baik-baik, dan bahwa tidak ada apapun yang kuinginkan selain ketenangan.
Tentu saja aku bersyukur karena aku mempunyai keluarga yang lengkap dan sangat perhatian. Namun, kini umurku sudah 20 tahun dan aku ingin agar mereka lebih percaya bahwa aku bisa menghadapi dunia ini dengan lebih mandiri.
"Ah!" Aku tersadar dari lamunanku ketika kurasakan kakiku mulai kesemutan.
Nampaknya dari tadi aku sudah berhenti di depan pintu dan asik melakukan rutinitasku melamun ria. Tanpa pikir panjang, akupun membuka pintu dan melangkahkan kakiku masuk ke dalam kamar. Hari ini terasa begitu melelahkan. Aku berencana untuk segera beristirahat setelah selesai menuntaskan UAS di hari terakhirku.
Sedetik kemudian, aku tersadar bahwa aku salah masuk kamar. Ini bukan kamarku. Ini bukan ubin kamarku. Nampaknya otakku memang sudah benar-benar capek, sampai-sampai aku tak ingat jalan ke kamar sendiri. Akupun segera membalikkan badan dan berjalan gontai ke arah pintu.
"Hei, kau!"
Aku membatu. Kudengar suara asing dari balik punggungku. Suara itu begitu berat dan tak bernyawa. Untuk sepersekian detik, bulu kudukku terasa berdiri. Kuberanikan diri untuk menoleh dan melihat siapa pemilik suara itu.
Aku harap aku tidak akan melihat hantu atau sebagainya di siang bolong begini. Aku teringat bahwa Dava pernah memberitahuku, ada hantu penasaran di bawah kolong tempat tidur kamar tamu.
"Hantunya pake baju putih kayak gorden, Ay. Bolong mukanya!" Ujar Dava dengan muka ngeri kala itu.
Untungnya, aku tidak melihat hantu berwajah bolong seperti yang kubayangkan. Namun di sana, di pinggir ranjang, aku melihat Rai tengah duduk tegak sembari menatapku tepat di manik mata.
Aku memang kaget akan kenyataan bahwa ternyata dia bisa berbicara. Sejujurnya, aku sempat berpikir tentang kemungkinan bahwa barangkali dia bisu atau sebagainya, mengingat dia yang tidak bersuara sama sekali di ruang keluarga tadi.
Akan tetapi, hal yang membuat aku lebih kaget hingga melebarkan mata adalah karena aku melihat sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Hal itu adalalah bola mata Rai. Aku bersumpah. Sungguh, tak ada yang kuinginkan sekarang selain berlari mengambil kamera dan memotretnya.
***




0 komentar:
Posting Komentar