Panas. Gerah. Nasib…..
Pagi yang menyenangkan, kurasa. Aku berlari lurus menyapu
trotoar. Jalanan kota metropolitan ini tampak runyam bercampur debu penoda
paru-paru. Aku sudah biasa dan tak peduli dengan keadaan semacam ini. Satu hal
yang ingin kulakukan sekarang adalah melihat anak- anak seusiaku yang tampak
keren dengan seragam sekolah mereka.
Aku duduk di samping tempat sampah pinggir jalan berukuran
raksasa. Berharap setidaknya tong sampah tersebut dapat menyembunyikan minimal
seperempat bagian tubuhku dari pandangan mata orang- orang yang kini tengah
berlalu- lalang. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku malu dengan kondisi dan
penampilanku yang seperti ini. Tapi, ya bagaimana lagi?
Perkenalkan, namaku Patejo Sutik. Kau bisa memanggil
aku dengan julukan Patek.
Aku
adalah seorang pengemis.
Sebenarnya, bukan itu saja yang membuat aku malu kepada
Tuhan dan diri sendiri. Selain berprofesi sebagai seorang peminta belas kasih,
kau juga bisa menjuluki aku sebagai seorang penipu ulung.
Kenapa begitu? Karena luka-luka bakar serta coreng cemorang
yang tertoreh di wajah cokelatku ini hanyalah suatu kepalsuan belaka. Ini
hanyalah sebuah usaha yang aku lakukan untuk dapat meningkatkan rasa belas
kasih dari para pengguna jalan yang menaruh iba kepada nasibku.
“Huaaaa….”Aku
menguap tiba- tiba.
Aneh, kurasa. Tak biasanya aku mengantuk sepagi ini. Kucoba
berpikir apa saja aktivitas yang kulakukan sebelumnya.
“Oh, ya! Kini aku ingat. Beberapa jam lalu aku kan baru saja
menelan pil sakit kepala yang amat pahit itu.” Aku bergumam pelan pada diri
sendiri.
Ya, mau bagaimana lagi. Rasa kantuk
itu akhirnya harus menjadi alasan bagiku untuk meninggalkan pinggir tong sampah
ini. Aku pun berdiri. Dengan sigap, aku berlari menjauhi trotoar menuju ke
lorong sebuah gang buntu yang biasa menjadi tempat istirahatku. Aku
menemukannya. Ya, itu lorong yang seakan sudah menjadi rumah keduaku.
Kusandarkan tubuh kurusku merapat ke arah tembok penuh lumut
yang lembap dan sedikit lengket. Bau ini dirasa semakin membuat mataku menjadi
berat dan berair. Akupun berbaring di atas koran lima lapis yang sudah mulai
habis karena cakaran para kucing kampung yang sudah lama menjadi musuh
bebuyutanku.
***
“Lari… lari…. Ada razia pengemis!!!!” Teriakan lantang itu
sukses sudah membangunkan aku hingga nyaris terloncat dari Kasur kardusku.
Berisik sekali. Terdengar suara sirene mobil polisi dan juga jeritan
manusia- manusia yang memekik bak ikan mas koi yang nyaris terjerit jaring
lebar berlubang rapat.
Akupun berdiri. Setengah berlari, kudekati mulut lorong yang
entah mengapa, kini terlihat terdominasi dengan warna hitam luntur. Aku melihat
jalan raya dan langit dipenuhi dengan berbagai kendaraan dengan label
kepolisian yang terpampang besar. Ada mobil, sepeda motor, bahkan si mewah
helicopter dengan label polisi yang tampak menyeringai dan berkuasa. Aku
mendesis.
Ada apa ini ?
Kusapukan pandangan elangku lebih mendetail lagi. Aneh. Ini
aneh sekali. Di sini memang ramai dan penuh dengan polisi. Tapi, pengemis.
Dirasa, taka da satu pun orang yang bisa dipanggil pengemis untuk detik
ini. Tak ada satupun orang yang kini tampak hidup melarat. Di dekat lampu merah,
aku melihat Paman Dondo, seorang juragan pengemis kenalanku kini tengah berlari
dengan segebong perhiasan termasuk emas bergelantungan nyaris di seluruh
tubuhnya. Seorang polisi berkumis lebat yang tak kalah garang dengannya, kini
sedang berlari sembari menyodorkan pistol keperakan dengan berbagai umpatan
kasar yang menjalar lancar dari mulutnya.
“Dasar kau, orang tak waras!!!!”, polisi itu terlihat
semakin marah ketika melihat Paman Dondo masih sempat-sempatnya menoleh dengan
lidah terjulur dan ludah yang tersembur sebagai bonusnya.
Kulihat pula dengan jelas bagaimana ratusan partner
pengemisku yang kini tengah kocar- kacir berlarian dikejar polisi. Tak ada
satupun yang tidak menggunakan sandal alias cekeran. Manusia- manusia itu. Ya,
manusia- manusia penuh sandiwara itu. Tidak seperti penampilan mereka
sebelumnya. Mereka tampak mewah. Elegan. Kaya raya. Baju mereka bagus. Sandal
mereka berlabel merek terkenal.
Aku menghembus nafas pelan. Risau. Perutku sakit.
Kepalaku pusing. Aku masih tak mengerti tentang apa yang sebenarnya tengah
terjadi. Aku coba mengerjapkan mata tiga kali berturut- turut, kemudian aku
berusaha untuk fokus. Semuanya aneh. Polisi- polisi itu. Para pengemis berbaju
elegan itu. Kendaraan-kendaraan berlabel polisi itu. Dan….
Eits, tunggu dulu!
Kalau jalanan-jalanan kini tengah dipenuhi para polisi
ganas dan pengemis-pengemis setengah waras, lantas sekarang dimanakah keberadaan
manusia- manusia normalnya? Tunggu. Maksudku, manusia-manusia yang
biasanya menjadi korban para pengemis pembohong dan polisi penguras. Manusia
yang mudah diliputi belas kasih kepada pengemis dengan jerawat bernanah dan
luka-luka palsu, juga mudah memberi uang merdeka kepada polisi buncit yang
tengah lapar mencari mangsa. Manusia yang ya…. kadang bisa dibilang dermawan
namun setengah tak pintar dalam mengambil logika dan keputusan.
Manusia-manusia pemberi yang tertipu
itu…. Apakah kini, memang sudah musnah?
Selagi aku sibuk berpikir tentang kemana perginya manusia-manusia
murah hati yang biasa menjadi gudang rezeki kami, tiba- tiba terdengar deruan
hentakan puluhan, eh tidak! Ini ratusan. Kaki- kaki yang terdengar bising dan
nyaris memecah kedua gendang telingaku.
Ah, itu dia!
Di jalan raya yang pada awalnya terisi polisi-polisi
berperut buncit dan para ‘mantan pengemis’ tajir, dirasa kini akan menjadi
semakin porak poranda. Manusia- manusia pemberi itu, detik ini juga tengah
memenuhi jalan raya dengan tampang mereka yang bisa dibilang bak zombie yang
haus akan darah korbannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kini mereka tampak
benar- benar menakjubkan, mungkin.
Bulu kuduku meremang sesaat. Ngeri. Apalagi ketika aku
melihat manusia- manusia itu berdiri dengan postur tubuh yang ditegakkan.
Sangat tegap. Bahkan nyaris terlihat menjinjit. Mereka membentuk sekitar tiga
puluh shaf tak bercela sembari membawa senjata masing- masing. Ada sekiranya
tujuh golongan manusia dalam shaf-shaf
tersebut.
Golongan pertama, terdiri dari para bapak berdasi licin
namun miring, dengan garpu raksasa di bertumpu pada tangan- tangan kekar
mereka. Golongan kedua adalah ibu- ibu rumah tangga dengan panci alumunium anti
karat, lengkap dengan spatula kayu berukuran tiga kali lipat spatula biasanya.
Kelompok ketiga berisi para supir angkot,bis, becak, taksi, bahkan angkot kreta
kuda dan kini supir- supir itu tengah membawa satu botol aqua
berisi bensin yang mereka genggap erat pada tangan- tangan legam mereka yang
berkuku panjang dan hitam. Bara. Mereka juga membawa bara api pada tiap- tiap
batang obor bambu hijau yang tampak sangar dengan jamur- jamur putih beracun
yang bertebaran di atas kulit bambunya.
Seram. Mungkin, mereka sudah tak
waras.
Ada satu golongan lagi yang dirasa aku pun tak habis pikir
ketika harus melihat betapa ganjilnya penampilan mereka. Golongan tersebut
berisi mahluk- mahluk kecil berseragam batik coklat tua yang kini tampak jauh
lebih usang dari biasanya. Aku merasa sekarang pesona pelajar pejuang mereka,
telah lenyap seketika. Di kedua tangan berdebu mereka, tengah asyik
bergelantungan seikat bawang putih dan dua ikat bawang merah berbau menusuk.
Ditambah lagi kalung bawang Bombay jumbo yang sedang melingkar di leher kurus
mereka. Ingin rasanya aku berlari ke sungai berantas dan memuntahkan isi
perutku saat ini juga, disebabkan tak kuat akan bau busuk mereka.
“Bakar para pengemis itu! Hanguskan ! Lenyapkan! Kami tak
sudi mereka kotori bangsa ini dengan kebohongan mereka yang sangat MUNAFIKKKK!”
teriak seorang supir berkepala botak yang kini melambai- lambaikan obor
raksasanya, isyarat memberi komando kepada yang lainnya.
“Benar! Bakar para pemalas itu! Aku sangat benci mereka!”
“Mereka penipu!”
“Mereka penggangu!”
“Dasar, Hama!”
Ribut. Sungguh membabibuta. Aku pusing dan ingin muntah
saja. Akupun memutuskan untuk menutup mata sembari komat- kamit melantunkan doa
panjang umur. Entah mengapa firasatku tiba- tiba mendeteksi bahwa akan ada
sesuatu yang tidak beres setelah ini. Benar saja. Baru saja ketika aku berusaha
untuk berhuznudzan dengan keadaan,
tiba- tiba…..
“Woiii kamu yang ada di sana! Ya, kamu… kamu… yang hitam
itu! Cepat angkat tangan dan ikut kami ke kantor polisi!” Seorang polisi dengan
postur tiga kali lipat tubuhku dengan kumis tebal berwarna hitam pekat itu,
kini sedang menyodorkan pistol sungguhan lurus ke arah hidung bengkongku.
Yak, pemirsa saya ulang sekali lagi, ini pistol SUNGGUHAN!!!.
“Hei
kamu! Iya kamu! yang giginya tongos itu! Jangan bengong! Cepat ikut kami ke
kantor polisi jika tidak ingin hidung bengkokmu itu malah hilang sama sekali.”
Huh, dasar menyebalkan. Polisi ini sangat menyebalkan. Enak
saja bilang aku hitam dan bergigi tongos. Ini tidak tongos tahu. Gigiku tidak
separah itu. Gigiku hanya tutik. Dalam bahasa jawa itu merupakan singkatan dari
untune metu setitik-giginya keluar
sedikit.
“Hei kamu, yang.”
“Iya… iya saya akan ikut Anda ke kantor polisi”Ucapku lirih,
sebelum bapak gempal tadi meneriakkan kekurangan fisikku yang lain. Ini namanya
menyerah demi harga diri.
Bapak itupun menggiringku dengan kasar ke kantor polisi
terdekat. Berjalan mejauhi trotoar dan jalan raya yang terasa semakin tak
karuan. Sesampainya di kantor polisi, akupun di intograsi. Aku tersenyum penuh
syukur. Sedikit senang, bisa dibilang. Buka bapak tambun itu lagi yang bertugas
mengurusiku. Melainkan, seorang polwan cantik berpakaian ketat berperawakan
semampai dengan make-up yang agak tebal, tapi tidak bisa mengusir wajah
penuh wibawa dan ketenangannya itu. Aku tersenyum. Mungkin aku bisa tinggal
lebih lam adi kantor polisi ini.
Tapi, seperti biasanya. Baru saja, ketika aku memulai
kebaikan ‘berhusnudzan ria’ tiba-tiba….
“Woi Lu yang ada
di sana! Tau gak Lu kenapa ada di ni kantor polisi?!” Ucap polwan
itu sembari mengibaskan tangannya ke depan dagu.
Aku merinding. Bukan hanya karena sikap kasarnya. Tapi,
karena sepertinya polwan ini bukanlah polwan biasa. Sepertinya dia polwan jadi-
jadian.Dia banci. Suaranya lebih berat dan mengerikan di banding laki-laki
normal pada umumnya.
“Hei Lu anak
kecil! Jangan diem aje. Oke. Kagak usah basa-basi lage. Lu di sini karena kasus yang Lu
buat sendiri.”
“Hah? Kasus. Maaf pak… Eh, Mbak. Sepertinya Anda salah. Saya
tidak pernah membuat kasus. Apalagi perbuatan Kriminal. Sepertinya Anda salah
tangkap. Ditambah lagi, umur saya baru empat belas tahun. Baru di bawah umur.
Jadi…”
“Hussssh….. Jangan sok tahu!!” Si Banci itu berteriak gusar
sembari menggebrak meja kayu kantor polisi.
“Semua peraturan negara kite
sudah berubah. yang bersalah, ya bersalah. Kagak lihat age nya.”
Huh… Aku mendegus. Banci ini sepertinya
tak pernah belajar EYD. Perkataannya tak resmi dan amburadul. Sepertinya ia
juga merupakan polisi ilegal.
“Oke item… kagak usah perpanjang perseteruan kita ye, kite langsung mulai intograsinya aje ye… Yuk, cap cus cin…”
Dasar banci jahat. EYD salah. Bilang item juga lagi. Ya
sudah kurasa aku hanya bisa sabar. Sabar.
“Nama?” Ucap Si Banci mulai mengintograsiku.
“Patek.”
“M… nama yang jelek tapi cocok untukmu”
“Asal?”
“Bawa jembatan”
“Pantas saja gigimu tongos seperti tikus bawah jembatan.
Tempat lahir dan latar belakang keluarga?”
”Tempat lahir saya di bawah perut ibu. Kata Ibu, saya sempat
tertindih. Sedangkan latar keluarga saya, ayah ibu saya seorang pengemis. Kakek
nenek saya juga seorang pengemis. Ayah ibu dari nenek kakek saya juga seorang
pengemis. Kakek nenek dari nenek kakek saya juga seorang pengemis . Kakek nenek
dari…”
“STOOPP!!Eke tahu. Pokoknyo intinya lu
dari keluarga pengemis. Berapa lama mengemis?”
“Sejak lahir. Ibu menjadikan saya bayi penuh coreng-
cemoreng agar orang lain bertambah iba dan memberi uang lebih.”
“Oh, begitu ya…” Polisi banci itu tampak berpikir panjang.
“Budget lu. Budget lu sebulan berape?” Ia tersenyum miring.
“Tak sebanyak pengemis yang lainnya, kok. Hanya bekisar satu
juta sebulan.”
“ Oh… “ Polisi banci itu bembeo panjang.
“Lalu? Lalu? Apakah saya tetap
dinyatakan bersalah” Aku memasang jurus kemelasanku. Kudesak ia agar menyatakan
dengan jelas bahwa aku tidak bersalah.
“M…. Eke udah
ambil kesimpulan kalau lu dinyatakan BERSALAH.”
“Hah?! Bersalah? Kok bisa pak?!”
“Bisalah. Kamu juga akan eke
hukum sekarang juga.”
“Hukum? Hukum apa. Sudah saya bilang, saya tidak bersalah.”
Aku nyaris menangis.
“Lu bersalah. Umurlu masih muda dan bisa dikatan masih
sangat kuat umtuk bekerja. Jika satu juta sebulan, berarti dua belas juta
setahun dan serratus enam puluh delapan juta untuk empat belas tahun. Kalian
para pengemis, menyedot uang rakyat yang sudah bekerja sungguh-sungguh. Jadi eke harus menghukum lu sekarang.”
Polisi banci itu tersenyum puas. Ada rona misterius yang
memancar tajam dari kedua bola matanya yang kehijauan. Apa yang akan dia
lakukan?
“Hukuman
untukmu, adalah ini…” Wanita jadi-jadian itu mengacungkan pistol, lurus ke
pelipis tengkorak kepalaku.
“App…appa? Apa yang An..Anda lakukan dengan benda itu. Anda
mau membunuh say…saya?” Suaraku tercekat.
Nafasku tiba-tiba sulit sekali untuk mengalir teratur.
Polisi ini psikopat gila. Aku belum siap untuk mati. Aku belum sempat sekolah
dan belum sempat menikah. Aku masih ingin makan mie dan nasi goring dunia. Aku…
aku tidak ingin mati semudah ini. Aku tak ingin mati konyol dengan air mata
yang terus- menerus membanjiri pipi cekungku, serta ingus yang terus meluas di
atas bibir coklat tuaku.
“Eitts! Jangan nangis…. Ini tugasku, Bung. Para pengemis yang
malas itu, pada tabiatnya… Memang harus dimusnahkan.” Si Banci terkekeh.
Tanpa basa-basi, ia menekan pelatuk pistol kuat- kuat. Aku
berteriak keras. Suaraku tercekat. Jantungu menderu tegang. Apakah aku… benar-
benar sudah mati?
***
Aku mencoba bergerak. Ini sulit. Mata ini tak bisa terbuka.
Dingin. Ada sesuatu yang bau dan dingin di sekitar wajahku. Kucoba membuka mata
sekali lagi. Menguceknya perlahan sembari mengerjap-ngerjap. Aku berhasil. Aku
terjaga. Seekor anjing raksasa, tengah berdiri di atas perutku dengan ekor
camplang yang terayun- ayun pelan.
Aku
mencoba untuk duduk dan merenung. Sebenarnya aku… ada di surga atau
neraka?
Aku
melirik ke arah anjing yang tadi menjilati wajahku. Biasanya, dari cerita yang
kudengar, di akhirat hewan-hewan dapat berbicara.
“Njing, sebenarnya sekarang kita sedang ada di mana?”
“Guk! Guk!” Respon si anjing.
“Loh! Kamu kok ndak bisa ngomong?”
“Guk….guk..” Anjing itu mendekatiku.
‘Graukkkk’ Anjing itu menggigitku.
“Aaarrgggghhh!!” Aku memekik parau. Sakit sekali. Ternyata
aku tidak sedang bermimpi.
Anjing itu kini berlari meninggalku. Aku kira ia tak akan
kembali lagi. Tapi, tak lama kemudian, anjing itu kembali sembari menggit satu
gulungan koran yang terlihat padat. Anjing coklat itu menjatuhkan gulungan
koran yang tampak baru tepat di depan lututku. Kupungut koran tersebut
sembari membukanya perlahan. Di halaman pertama koran itu, terpampang jelas
sebuah judul yang sungguh menarik perhatianku, ‘Fakta: Pengemis Terkaya di Indonesia,
Mampu Beli Mobil CR-V!’
Kini,
artikel itu mengingatkan aku kepada sesuatu.
(edited)
***
(Zilfania
AM- pernah dimuat di kumpulan cerpen Forum Lingkar Penah)


0 komentar:
Posting Komentar