Rabu, 03 Juni 2020

Cerpen: Luka Palsu

Luka Palsu





          

            Panas. Gerah. Nasib…..

Pagi yang menyenangkan, kurasa. Aku berlari lurus menyapu trotoar. Jalanan kota metropolitan ini tampak runyam bercampur debu penoda paru-paru. Aku sudah biasa dan tak peduli dengan keadaan semacam ini. Satu hal yang ingin kulakukan sekarang adalah melihat anak- anak seusiaku yang tampak keren dengan seragam sekolah mereka.

Aku duduk di samping tempat sampah pinggir jalan berukuran raksasa. Berharap setidaknya tong sampah tersebut dapat menyembunyikan minimal seperempat bagian tubuhku dari pandangan mata orang- orang yang kini tengah berlalu- lalang. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku malu dengan kondisi dan penampilanku yang seperti ini. Tapi, ya bagaimana lagi?

 Perkenalkan, namaku Patejo Sutik. Kau bisa memanggil aku dengan julukan Patek.

Aku adalah seorang pengemis.

Sebenarnya, bukan itu saja yang membuat aku malu kepada Tuhan dan diri sendiri. Selain berprofesi sebagai seorang peminta belas kasih, kau juga bisa menjuluki aku sebagai seorang penipu ulung.

Kenapa begitu? Karena luka-luka bakar serta coreng cemorang yang tertoreh di wajah cokelatku ini hanyalah suatu kepalsuan belaka. Ini hanyalah sebuah usaha yang aku lakukan untuk dapat meningkatkan rasa belas kasih dari para pengguna jalan yang menaruh iba kepada nasibku.

Huaaaa….”Aku menguap tiba- tiba.

Aneh, kurasa. Tak biasanya aku mengantuk sepagi ini. Kucoba berpikir apa saja aktivitas yang kulakukan sebelumnya.

“Oh, ya! Kini aku ingat. Beberapa jam lalu aku kan baru saja menelan pil sakit kepala yang amat pahit itu.” Aku bergumam pelan pada diri sendiri.

            Ya, mau bagaimana lagi. Rasa kantuk itu akhirnya harus menjadi alasan bagiku untuk meninggalkan pinggir tong sampah ini. Aku pun berdiri. Dengan sigap, aku berlari menjauhi trotoar menuju ke lorong sebuah gang buntu yang biasa menjadi tempat istirahatku. Aku menemukannya. Ya, itu lorong yang seakan sudah menjadi rumah keduaku.

Kusandarkan tubuh kurusku merapat ke arah tembok penuh lumut yang lembap dan sedikit lengket. Bau ini dirasa semakin membuat mataku menjadi berat dan berair. Akupun berbaring di atas koran lima lapis yang sudah mulai habis karena cakaran para kucing kampung yang sudah lama menjadi musuh bebuyutanku.

***

“Lari… lari…. Ada razia pengemis!!!!” Teriakan lantang itu sukses sudah membangunkan aku hingga nyaris terloncat dari Kasur kardusku. Berisik sekali.  Terdengar suara sirene mobil polisi dan juga jeritan manusia- manusia yang memekik bak ikan mas koi yang nyaris terjerit jaring lebar  berlubang rapat.

Akupun berdiri. Setengah berlari, kudekati mulut lorong yang entah mengapa, kini terlihat terdominasi dengan warna hitam luntur. Aku melihat jalan raya dan  langit dipenuhi dengan berbagai kendaraan dengan label kepolisian yang terpampang besar. Ada mobil, sepeda motor, bahkan si mewah helicopter dengan label polisi yang tampak menyeringai dan berkuasa. Aku mendesis.

Ada apa ini ?

Kusapukan pandangan elangku lebih mendetail lagi. Aneh. Ini aneh sekali. Di sini memang ramai dan penuh dengan polisi. Tapi, pengemis. Dirasa, taka da satu pun orang yang bisa dipanggil pengemis untuk  detik ini. Tak ada satupun orang yang kini tampak hidup melarat. Di dekat lampu merah, aku melihat Paman Dondo, seorang juragan pengemis kenalanku kini tengah berlari dengan segebong perhiasan termasuk emas bergelantungan nyaris di seluruh tubuhnya. Seorang polisi berkumis lebat yang tak kalah garang dengannya, kini sedang berlari sembari menyodorkan pistol keperakan dengan berbagai umpatan kasar yang menjalar lancar dari mulutnya.

“Dasar kau, orang tak waras!!!!”, polisi itu terlihat semakin marah ketika melihat Paman Dondo masih sempat-sempatnya menoleh dengan lidah terjulur dan ludah yang tersembur sebagai bonusnya.

Kulihat pula dengan jelas bagaimana ratusan partner pengemisku yang kini tengah kocar- kacir berlarian dikejar polisi. Tak ada satupun yang tidak menggunakan sandal alias cekeran. Manusia- manusia itu. Ya, manusia- manusia penuh sandiwara itu. Tidak seperti penampilan mereka sebelumnya. Mereka tampak mewah. Elegan. Kaya raya. Baju mereka bagus. Sandal mereka berlabel merek terkenal.

Aku menghembus nafas pelan. Risau.  Perutku sakit. Kepalaku pusing. Aku masih tak mengerti tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi. Aku coba mengerjapkan mata tiga kali berturut- turut, kemudian aku berusaha untuk fokus. Semuanya aneh. Polisi- polisi itu. Para pengemis berbaju elegan itu. Kendaraan-kendaraan berlabel polisi itu. Dan….

Eits, tunggu dulu!

Kalau jalanan-jalanan  kini tengah dipenuhi para polisi ganas dan pengemis-pengemis setengah waras, lantas sekarang dimanakah keberadaan manusia- manusia  normalnya? Tunggu. Maksudku, manusia-manusia yang biasanya menjadi korban para pengemis pembohong dan polisi penguras. Manusia yang mudah diliputi belas kasih kepada pengemis dengan jerawat bernanah dan luka-luka palsu, juga mudah memberi uang merdeka kepada polisi buncit yang tengah lapar mencari mangsa. Manusia yang ya…. kadang bisa dibilang dermawan namun setengah tak pintar dalam mengambil logika dan keputusan.

Manusia-manusia pemberi yang tertipu itu…. Apakah kini, memang sudah musnah?

Selagi aku sibuk berpikir tentang kemana perginya manusia-manusia murah hati yang biasa menjadi gudang rezeki kami, tiba- tiba terdengar deruan hentakan puluhan, eh tidak! Ini ratusan. Kaki- kaki yang terdengar bising dan nyaris memecah kedua gendang telingaku.

Ah, itu dia!

Di jalan raya yang pada awalnya terisi polisi-polisi berperut buncit dan para ‘mantan pengemis’ tajir, dirasa kini akan menjadi semakin porak poranda. Manusia- manusia pemberi itu, detik ini juga tengah memenuhi jalan raya dengan tampang mereka yang bisa dibilang bak zombie yang haus akan darah korbannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kini mereka tampak benar- benar menakjubkan, mungkin.

Bulu kuduku meremang sesaat. Ngeri.  Apalagi ketika aku melihat manusia- manusia itu berdiri dengan postur tubuh yang ditegakkan. Sangat tegap. Bahkan nyaris terlihat menjinjit. Mereka membentuk sekitar tiga puluh shaf tak bercela sembari membawa senjata masing- masing. Ada sekiranya tujuh golongan manusia dalam shaf-shaf  tersebut.

Golongan pertama, terdiri dari para bapak berdasi licin namun miring, dengan garpu raksasa di bertumpu pada tangan- tangan kekar mereka. Golongan kedua adalah ibu- ibu rumah tangga dengan panci alumunium anti karat, lengkap dengan spatula kayu berukuran tiga kali lipat spatula biasanya. Kelompok ketiga berisi para supir angkot,bis, becak, taksi, bahkan angkot kreta kuda dan  kini supir- supir itu  tengah membawa satu botol aqua berisi bensin yang mereka genggap erat pada tangan- tangan legam mereka yang berkuku panjang dan hitam. Bara. Mereka juga membawa bara api pada tiap- tiap batang obor bambu hijau yang tampak sangar dengan jamur- jamur putih beracun yang bertebaran di atas kulit bambunya.

Seram. Mungkin, mereka sudah tak waras.

Ada satu golongan lagi yang dirasa aku pun tak habis pikir ketika harus melihat betapa ganjilnya penampilan mereka. Golongan tersebut berisi mahluk- mahluk kecil berseragam batik coklat tua yang kini tampak jauh lebih usang dari biasanya. Aku merasa sekarang pesona pelajar pejuang mereka, telah lenyap seketika. Di kedua tangan berdebu mereka, tengah asyik bergelantungan seikat bawang putih dan dua ikat bawang merah berbau menusuk. Ditambah lagi kalung bawang Bombay jumbo yang sedang melingkar di leher kurus mereka. Ingin rasanya aku berlari ke sungai berantas dan memuntahkan isi perutku saat ini juga, disebabkan tak kuat akan bau busuk mereka.

“Bakar para pengemis itu! Hanguskan ! Lenyapkan! Kami tak sudi mereka kotori bangsa ini dengan kebohongan mereka yang sangat MUNAFIKKKK!” teriak seorang supir berkepala botak yang kini melambai- lambaikan obor raksasanya, isyarat memberi komando kepada yang lainnya.

“Benar! Bakar para pemalas itu! Aku sangat benci mereka!”

“Mereka penipu!”

“Mereka penggangu!”

“Dasar, Hama!”

Ribut. Sungguh membabibuta. Aku pusing dan ingin muntah saja. Akupun memutuskan untuk menutup mata sembari komat- kamit melantunkan doa panjang umur. Entah mengapa firasatku tiba- tiba mendeteksi bahwa akan ada sesuatu yang tidak beres setelah ini. Benar saja. Baru saja ketika aku berusaha untuk berhuznudzan dengan keadaan, tiba- tiba…..

“Woiii kamu yang ada di sana! Ya, kamu… kamu… yang hitam itu! Cepat angkat tangan dan ikut kami ke kantor polisi!” Seorang polisi dengan postur tiga kali lipat tubuhku dengan kumis tebal berwarna hitam pekat itu, kini sedang menyodorkan pistol sungguhan  lurus ke arah hidung bengkongku. Yak, pemirsa saya ulang sekali lagi, ini pistol SUNGGUHAN!!!.

“Hei kamu! Iya kamu! yang giginya tongos itu! Jangan bengong! Cepat ikut kami ke kantor polisi jika tidak ingin hidung bengkokmu itu malah hilang sama sekali.”

Huh, dasar menyebalkan. Polisi ini sangat menyebalkan. Enak saja bilang aku hitam dan bergigi tongos. Ini tidak tongos tahu. Gigiku tidak separah itu. Gigiku hanya tutik. Dalam bahasa jawa itu merupakan singkatan dari untune metu setitik-giginya keluar sedikit.

“Hei kamu, yang.”

“Iya… iya saya akan ikut Anda ke kantor polisi”Ucapku lirih, sebelum bapak gempal tadi meneriakkan kekurangan fisikku yang lain. Ini namanya menyerah demi harga diri.

Bapak itupun menggiringku dengan kasar ke kantor polisi terdekat. Berjalan mejauhi trotoar dan jalan raya yang terasa semakin tak karuan. Sesampainya di kantor polisi, akupun di intograsi. Aku tersenyum penuh syukur. Sedikit senang, bisa dibilang. Buka bapak tambun itu lagi yang bertugas mengurusiku. Melainkan, seorang polwan cantik berpakaian ketat berperawakan semampai dengan  make-up yang agak tebal, tapi tidak bisa mengusir wajah penuh wibawa dan ketenangannya itu. Aku tersenyum. Mungkin aku bisa tinggal lebih lam adi kantor polisi ini.

Tapi, seperti biasanya. Baru saja, ketika aku memulai kebaikan ‘berhusnudzan ria’ tiba-tiba….

Woi Lu yang ada di sana! Tau gak Lu kenapa ada di ni kantor polisi?!” Ucap polwan itu  sembari mengibaskan  tangannya ke depan dagu.

Aku merinding. Bukan hanya karena sikap kasarnya. Tapi, karena sepertinya polwan ini bukanlah polwan biasa. Sepertinya dia polwan jadi- jadian.Dia banci. Suaranya lebih berat dan mengerikan di banding laki-laki normal pada umumnya.

“Hei Lu anak kecil! Jangan diem aje. Oke. Kagak usah basa-basi lage. Lu di sini karena kasus yang Lu buat sendiri.”

“Hah? Kasus. Maaf pak… Eh, Mbak. Sepertinya Anda salah. Saya tidak pernah membuat kasus. Apalagi perbuatan Kriminal. Sepertinya Anda salah tangkap. Ditambah lagi, umur saya baru empat belas tahun. Baru di bawah umur. Jadi…”

“Hussssh….. Jangan sok tahu!!” Si Banci itu berteriak gusar sembari menggebrak meja kayu kantor polisi.

“Semua peraturan negara kite sudah berubah. yang bersalah, ya bersalah. Kagak lihat age nya.”

Huh… Aku mendegus. Banci ini sepertinya tak pernah belajar EYD. Perkataannya tak resmi dan amburadul. Sepertinya ia juga merupakan polisi ilegal.

“Oke item… kagak usah perpanjang perseteruan kita ye, kite langsung mulai intograsinya aje ye… Yuk, cap cus cin…

Dasar banci jahat. EYD salah. Bilang item juga lagi. Ya sudah kurasa aku hanya bisa sabar. Sabar.

“Nama?” Ucap Si Banci mulai mengintograsiku.

“Patek.”

“M… nama yang jelek tapi cocok untukmu”

“Asal?”

“Bawa jembatan”

“Pantas saja gigimu tongos seperti tikus bawah jembatan. Tempat lahir dan latar belakang keluarga?”

”Tempat lahir saya di bawah perut ibu. Kata Ibu, saya sempat tertindih. Sedangkan latar keluarga saya, ayah ibu saya seorang pengemis. Kakek nenek saya juga seorang pengemis. Ayah ibu dari nenek kakek saya juga seorang pengemis. Kakek nenek dari nenek kakek saya juga seorang pengemis . Kakek nenek dari…”

STOOPP!!Eke tahu. Pokoknyo intinya lu dari keluarga pengemis. Berapa lama mengemis?”

“Sejak lahir. Ibu menjadikan saya bayi penuh coreng- cemoreng agar orang lain bertambah iba dan memberi uang lebih.”

“Oh, begitu ya…” Polisi banci itu tampak berpikir panjang.

Budget lu. Budget lu  sebulan berape?” Ia tersenyum miring.

“Tak sebanyak pengemis yang lainnya, kok. Hanya bekisar satu juta sebulan.”

“ Oh… “ Polisi banci itu bembeo panjang.                                       

“Lalu? Lalu? Apakah saya tetap dinyatakan bersalah” Aku memasang jurus kemelasanku. Kudesak ia agar menyatakan dengan jelas bahwa aku tidak bersalah.

“M…. Eke udah ambil kesimpulan kalau lu dinyatakan BERSALAH.”

“Hah?! Bersalah? Kok bisa pak?!”

“Bisalah. Kamu juga akan eke hukum sekarang juga.”

“Hukum? Hukum apa. Sudah saya bilang, saya tidak bersalah.” Aku nyaris menangis.

“Lu bersalah. Umurlu masih muda dan bisa dikatan masih sangat kuat umtuk bekerja. Jika satu juta sebulan, berarti dua belas juta setahun dan serratus enam puluh delapan juta untuk empat belas tahun. Kalian para pengemis, menyedot uang rakyat yang sudah bekerja sungguh-sungguh. Jadi eke harus menghukum lu sekarang.”

Polisi banci itu tersenyum puas. Ada rona misterius yang memancar tajam dari kedua bola matanya yang kehijauan. Apa yang akan dia lakukan?

“Hukuman untukmu, adalah ini…” Wanita jadi-jadian itu mengacungkan pistol, lurus ke pelipis tengkorak kepalaku.

“App…appa? Apa yang An..Anda lakukan dengan benda itu. Anda mau membunuh say…saya?” Suaraku tercekat.

Nafasku tiba-tiba sulit sekali untuk mengalir teratur. Polisi ini psikopat gila. Aku belum siap untuk mati. Aku belum sempat sekolah dan belum sempat menikah. Aku masih ingin makan mie dan nasi goring dunia. Aku… aku tidak ingin mati semudah ini. Aku tak ingin mati konyol dengan air mata yang terus- menerus membanjiri pipi cekungku, serta ingus yang terus meluas di atas bibir coklat tuaku.

“Eitts! Jangan nangis…. Ini tugasku, Bung. Para pengemis yang malas itu, pada tabiatnya… Memang harus dimusnahkan.” Si Banci terkekeh.

Tanpa basa-basi, ia menekan pelatuk pistol kuat- kuat. Aku berteriak keras. Suaraku tercekat. Jantungu menderu tegang. Apakah aku… benar- benar sudah mati?

***

Aku mencoba bergerak. Ini sulit. Mata ini tak bisa terbuka. Dingin. Ada sesuatu yang bau dan dingin di sekitar wajahku. Kucoba membuka mata sekali lagi. Menguceknya perlahan sembari mengerjap-ngerjap. Aku berhasil. Aku terjaga. Seekor anjing raksasa, tengah berdiri di atas perutku dengan ekor camplang yang terayun- ayun pelan.

Aku mencoba untuk duduk dan merenung. Sebenarnya aku… ada di surga atau  neraka?

Aku melirik ke arah anjing yang tadi menjilati wajahku. Biasanya, dari cerita yang kudengar, di akhirat hewan-hewan dapat berbicara.

“Njing, sebenarnya sekarang kita sedang ada di mana?”

“Guk! Guk!” Respon si anjing.

“Loh! Kamu kok ndak bisa ngomong?”

“Guk….guk..” Anjing itu mendekatiku.

‘Graukkkk’ Anjing itu menggigitku.

“Aaarrgggghhh!!” Aku memekik parau. Sakit sekali. Ternyata aku tidak sedang bermimpi.

Anjing itu kini berlari meninggalku. Aku kira ia tak akan kembali lagi. Tapi, tak lama kemudian, anjing itu kembali sembari menggit satu gulungan koran yang terlihat padat. Anjing coklat itu menjatuhkan gulungan koran yang tampak baru tepat di depan lututku. Kupungut koran  tersebut sembari membukanya perlahan. Di halaman pertama koran itu, terpampang jelas sebuah judul yang sungguh menarik perhatianku, ‘Fakta: Pengemis Terkaya di Indonesia,  Mampu Beli Mobil CR-V!’

Kini, artikel itu mengingatkan aku  kepada sesuatu.

(edited)

                                                             ***

(Zilfania AM- pernah dimuat di kumpulan cerpen Forum Lingkar Penah) 

 

 

 

 

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar