Rabu, 03 Juni 2020

Cerpen: Zero Is Not Zero

Zero Is Not Zero





Pagi yang cukup membosankan, seperti biasa. Langkah kakiku yang tegap terpaut di atas ubin koridor yang akan selamanya  membisu.  Aku memegang bukuku lebih erat. Kufokuskan mataku pada bait ke sembilan halaman empat puluh lima, “The Nicomachean Ethics” karya Aristoteles. Kuintip pemandangan di depanku dengan malas.

            Ibarat tongkat Nabi Musa yang dapat membelah lautan, kini tampaknya auraku dapat membelah lautan manusia yang seakan terhipnotis oleh - ya, segala kehebatanku. Mungkin kini auraku bisa agak menyamai aura Nabi Yusuf.

Lihat saja gadis-gadis yang tengah bersorak- sorak mendewakan namaku itu. Huh, kampungan sekali. Kalau saja kuberi mereka sebilah pedang, kurasa bisa saja mereka memotong tangan mereka dengan itu. Tanpa merasa sakit. Karena pesonaku kurasa, tentu saja dapat menetralkan itu.

Lagu ‘Paradise’ yang terdengar serak mengalun di sepanjang koridor mengiringi langkah kakiku.  Semua berjalan seperti biasa. Pernyataan cinta, karangan bunga, kado- kado dengan pita mungil yang aneh, coklat-coklat yang kurasa bisa bikin obesitas dan tentu saja yang paling utama, penolakan dariku menanggapi semua hal-hal tak penting itu. Aku mendengus kesal. Sungguh merepotkan.

Tadinya aku ingin menyimpulkan bahwa pagi ini juga akan masuk dalam kategori pagi paling membosankan-versi kamus hidupku. Sampai tiba saatnya, suatu mahluk. Eh, ralat. Maksudku, seorang manusia aneh datang menghampiriku di antara hiruk pikuk ketenaranku.

Di atas kepalanya tertancap sebuah mahkota besi yang kurasa lebih mirip untaian sarang burung elang. Di wajahnya terlukis cengiran kuda yang sungguh-sungguh konyol. Aku menghela nafas panjang.

Kali ini apa lagi?

Bocah bertubuh cungkring itu mendekatiku, kemudian berjinjit  sembari meletakkan mahkota konyolnya di atas kepalaku. Aku hanya bergeming. Begitu juga semua mahluk yang ada di sekitar kami.  Tak ada lagu ‘Paradise’ lagi.  Layaknya sihir, kini semua perhatian  hanya tertuju kepada bocah di hadapanku ini.

Bocah itu menatap bola mataku lekat-lekat. Masih diiringi dengan cengirannya yang semakin melebar.

            “Hai, Aneh! Kau mau apa?” aku bertanya tak sabar.

Bocah itu menarik nafas panjang. Tampak bersusah payah, ia membuka mulutnya.

“Aku Zero. Anak baru di kelas sepuluh. Melihat talenta dan karisma kakak, aku mau… kakak menjadi partnerku. Kita berdua bisa jadi perpaduan yang keren,kak. Kita akan jadi artis yang luar biasa!”

Mata bocah itu berbinar. Aku tahu ia sedang tidak bercanda. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang beradu di antara tawa meremehkan dari orang- orang di sekitarku. Aku tahu ini menggelikan. Jarang-jarang ada bocah dekil yang lancang menghadapku untuk sekadar ‘menembakku’ seperti ini.

Kupejamkan mataku sesaat. Berusaha untuk mencerna apa yang kini sebenarnya tengah terjadi. Sesaat kemudian, senyumku mengembang. Aku punya rencana lain. Rencana yang aku rasa bisa menghiburku pagi ini. Aku, akan menghadiahkan sebuah feedback yang menyenangkan bagi bocah lancang ini.

“Baik, bocah. Aku mau. Asalkan….”

“ASALKAN APA?!!! Kenapa kau menerimanya, Pangeran!?”

Terdengar teriakan seorang gadis tambun di antara kerumunan manusia-manusia yang mulai bersahutan menyetujui protes gadis tambun itu. Aku tersenyum. Tidak peduli dengan reaksi mereka. Kini yang kupedulikan hanyalah kesenanganku. Itu saja.

“Asalkan kau mau memungut ini untukku, BOCAH!!” Ucapku seraya melemparkan mahkota besi yang tadi ia berikan kepadaku ke arah kolam belut yang berada di pekarangan sekolah kami.

Di luar dugaanku, ternyata bocah nekat itu-tanpa berpikir panjang, berlari dan langsung menceburkan seluruh raganya ke dasar kolam belut yang menjijikkan. Aku tersenyum. Ini sangat menarik.

Selang beberapa menit, bocah itu menampakkan batang hidungnya yang memerah dan berair ke daratan. Dalam kuyup, ia datang dan menyodorkan  mahkota sarang burung elangnya di depan hidungku. Ia menggigil di atas cengiran lebar yang ia paksakan. Aku mendengus dan tertawa lepas. Semua yang ada di sanapun tertawa tak kalah keras dariku.

“Payah. Aku tak butuh mahkota itu. Jangan bermimpi. Tadi itu aku hanya…. Ya… sedikit mengerjaimu. ”

Dalam sedekap, kulebarkan mata dan kufokuskan diri melihat reaksi bocah itu. Dan yang terjadi adalah, cukup memukau. Bocah itu mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. Ia marah. Wajahnya tampak semerah kepiting rebus yang kematangan. Ia tak menonjokku, untung saja. Ia hanya membalikkan badan dan merlari menjauhiku.

Nasib baik kurasa tak berpihak untuknya kali ini. Karena tak lama kemudian, kudengar suara pekikan keras dari mulut bocah itu. Rupanya ia terpeleset dan mendarat di atas gundukan kotoran kuda yang tengah menjadi objek penelitian anak-anak kompos di sekolahku.

Zero on the horse dumb. Betapa menyedihkannya bocah itu. Kuyup, memalukan, dan bau. Aku mengelus dada. Sedikit penyesalan meresap cepat ke dalam lubuk hatiku. Satu hal yang aku tahu semenjak kejadian itu. Zero menghilang dan tak pernah datang lagi ke sekolah.

***

“Kau diterima Zidan, selamat!!!”

Satu kalimat sederhana itu, agaknya menorehkan rasa bahagia yang berlebihan dalam kalbuku. Akhirnya dalam audisi ke empat puluh lima selama hampir lima tahun belakangan. Ya, lima tahun belakangan. Aku berhasil memperoleh peranku sebagai tokoh figuran dalam sebuah sinetron yang diproduksi oleh Stasiun Silver TV-sebuah stasiun tv tersohor di negara ini. Kurasa, semua pesonaku yang dulunya pernah di dewa- dewakan di sekolah,tak cukup berlaku dalam kehidupan dunia yang berduri ini.

Masih dengan acara loncat-loncat kegirangan di ruang audisi, setelah kupeluk satu demi satu juri sebagai tanda terimakasih, suaraku menggema dengan lantang,

“Sutradaranya! Boleh aku bertemu sutradaranya? Oh, ayolah! Aku hanya ingin sangat-sangat berterimakasih. Please, Mas…. Please!!

Aku mengguncang-guncang tubuh mas  pemanggil nomor audisi dengan keras. Agaknya, aku sudah tidak terlalu terkendali lagi. Mahluk tak terkendali yang cukup membuat semua orang yang ada di ruang audisi melongo. Melihat hal itu, Sang mas-mas, sontak mengambil ponselnya dan segera melakukan kegiatan menelepon di luar ruang audisi. Mungkin mas-mas itu takut, jika aku menjadi semakin membabi buta.

Beberapa menit kemudian, terdengar decitan pintu audisi yang dibuka perlahan. Aku tersenyum lega ketika melihat tiga orang berseragam berbeda memasuki ruangan itu. Salah satu di antaranya kuyakini sebagai seorang sutradara, dilihat dari topi ala sutradara yang ia kenakan. Tapi, ada satu hal yang lebih menarik dibanding itu. Sekilas kuamati, ternyata aku mengenali salah satu di antara ketiganya. Ya, manusia bebalut kemeja abu-abu di samping sutradara  itu adalah Zero. Wait! Zero?!

Senyumku memudar.

Untuk apa Zero datang ke sini? Mau ikut audisi juga rupanya…Hah?!dia ikut audisi? mimpi saja!!!

Insting kejahilanku tampaknya kumat. Dengan pongah dan dagu terangkat akupun mendatangi  Si Ceking Zero yang tersenyum melihatku.

“Hai Zero! Are you remember me? Mau ikut audisi juga rupanya? Emagnya bisa?” erangku dengan puas di cuping telinganya seraya mendorong tubuh ringkih Zero hingga terpental kebelakang. Alhasil, terdengarlah suara ‘buk’ yang cukup keras menggema di dalam ruangan ini. Tampaknya peran figuran yang kudapat ini cukup banyak merusak psikolog dan moralku.

Aku melebarkan mata untuk melihat reaksi apa yang kali ini akan ia tunjukkan. But, setelahnya, aku tak tersenyum apalagi tertawa. Senyumku lenyap sama sekali. Bukan. Bukan Zero penyebabnya. Dia hanya meringis dan tampak bersusah payah menyunggingkan seulas senyuman miring yang kurasa mustahil dipersembahkan oleh seorang pecundang sejenis Zero.

Namun, reaksi orang- orang di sekitarnya. Pria yang sedari tadi berdiri di samping kiri Zero, yang kini baru aku sadari bahwa ia adalah seorang security, memegang tanganku dan memeluntirnya ke belakang, membuat aku meringis kesakitan. Selagi security itu ‘menyiksaku' kulihat para juri dan staf lain dalan ruang audisi itu mulai sibuk menelepon kepolisian dan rumah sakit jiwa. Enak saja. Memangnya mereka pikir aku sudah gila?

Dan lagi sang sutradara…

Oh, tidak! Pupus sudah semua harapanku, peranku… Ya, peranku.

“Usir orang gila ini! Ia tak akan pernah lolos di audisi manapun. MANAPUN!!! Bawa dia pergi! PERGI!!!!!” Sang sutradara berteriak sembari menendangi kakiku.

Bapak security segera menggeretku keluar dari ruang audisi. Aku yang tak terima terus saja memberontak dan berusaha melepaskan diri. Gagal. Rupanya aku kalah kuat dibanding security ini. Oke, aku pasrah dalam keingintahuan yang luar biasa. Kulirik Zero untuk yang terakhir kalinya. Menyebalkan. Ia hanya tersenyum kepadaku.

Aneh. Bagaimana bisa?

Selagi sempat, dalam penderitaan, kutanyakan kepada mas-mas penjaga pintu ketika aku melewatinya,

“Mas, kok semua  tiba- tiba jadi kayak gini? Memangnya salah saya apa, Mas?!” ucapku tak habis pikir.

“Ya habisnya, masnya aneh-aneh wae. Masa gitu sama orang. Di sarangnya, lagi.”

Ye.. Cuma gitu doang kok mas. Saya cuma gituin adik kelas saya pas SMA, mas. Masa sampe diginiin. Saya bercanda doang, Mas!”

“Ya, mas. Masa gak tau sih… soalnya….”

“Soalnya apa mas?!” aku menggertakkan gigi.

“Soalnya tadi saya juga manggil Pak Zero ke sini. Dia itu, manajer tertinggi di stasiun TV ini!”

(edited)

***                                                                                                                                   

 (Zilfania AM-ditulis pada zaman dahuku kala untuk sekedar mengisi waktu) 


0 komentar:

Posting Komentar