Pagi yang cukup membosankan, seperti biasa. Langkah kakiku
yang tegap terpaut di atas ubin koridor yang akan selamanya
membisu. Aku memegang bukuku lebih erat. Kufokuskan mataku pada bait ke
sembilan halaman empat puluh lima, “The
Nicomachean Ethics” karya Aristoteles. Kuintip pemandangan di depanku
dengan malas.
Ibarat tongkat Nabi Musa yang dapat
membelah lautan, kini tampaknya auraku dapat membelah lautan manusia yang
seakan terhipnotis oleh - ya, segala kehebatanku. Mungkin kini auraku bisa agak
menyamai aura Nabi Yusuf.
Lihat saja gadis-gadis yang tengah bersorak- sorak
mendewakan namaku itu. Huh, kampungan sekali. Kalau saja kuberi mereka sebilah
pedang, kurasa bisa saja mereka memotong tangan mereka dengan itu. Tanpa merasa
sakit. Karena pesonaku kurasa, tentu saja dapat menetralkan itu.
Lagu ‘Paradise’
yang terdengar serak mengalun di sepanjang koridor mengiringi langkah
kakiku. Semua berjalan seperti biasa. Pernyataan cinta, karangan bunga,
kado- kado dengan pita mungil yang aneh, coklat-coklat yang kurasa bisa bikin
obesitas dan tentu saja yang paling utama, penolakan dariku menanggapi semua
hal-hal tak penting itu. Aku mendengus kesal. Sungguh merepotkan.
Tadinya aku ingin menyimpulkan bahwa pagi ini juga akan
masuk dalam kategori pagi paling membosankan-versi kamus hidupku. Sampai tiba
saatnya, suatu mahluk. Eh, ralat. Maksudku, seorang manusia aneh datang
menghampiriku di antara hiruk pikuk ketenaranku.
Di atas kepalanya tertancap sebuah mahkota besi yang kurasa
lebih mirip untaian sarang burung elang. Di wajahnya terlukis cengiran kuda
yang sungguh-sungguh konyol. Aku menghela nafas panjang.
Kali ini apa lagi?
Bocah bertubuh cungkring itu mendekatiku, kemudian
berjinjit sembari meletakkan mahkota konyolnya di atas kepalaku. Aku
hanya bergeming. Begitu juga semua mahluk yang ada di sekitar kami. Tak
ada lagu ‘Paradise’ lagi. Layaknya sihir, kini semua perhatian
hanya tertuju kepada bocah di hadapanku ini.
Bocah itu menatap bola mataku lekat-lekat. Masih diiringi dengan
cengirannya yang semakin melebar.
“Hai,
Aneh! Kau mau apa?” aku bertanya tak sabar.
Bocah itu menarik nafas panjang. Tampak bersusah payah, ia
membuka mulutnya.
“Aku Zero. Anak baru di kelas sepuluh. Melihat talenta dan
karisma kakak, aku mau… kakak menjadi partnerku. Kita berdua bisa jadi
perpaduan yang keren,kak. Kita akan jadi artis yang luar biasa!”
Mata bocah itu berbinar. Aku tahu ia sedang tidak bercanda.
Aku bisa mendengar detak jantungnya yang beradu di antara tawa meremehkan dari
orang- orang di sekitarku. Aku tahu ini menggelikan. Jarang-jarang ada bocah
dekil yang lancang menghadapku untuk sekadar ‘menembakku’ seperti ini.
Kupejamkan mataku sesaat. Berusaha untuk mencerna apa yang
kini sebenarnya tengah terjadi. Sesaat kemudian, senyumku mengembang. Aku punya
rencana lain. Rencana yang aku rasa bisa menghiburku pagi ini. Aku, akan
menghadiahkan sebuah feedback yang menyenangkan bagi bocah lancang ini.
“Baik, bocah. Aku mau. Asalkan….”
“ASALKAN APA?!!! Kenapa kau menerimanya, Pangeran!?”
Terdengar teriakan seorang gadis tambun di antara kerumunan
manusia-manusia yang mulai bersahutan menyetujui protes gadis tambun itu. Aku
tersenyum. Tidak peduli dengan reaksi mereka. Kini yang kupedulikan hanyalah
kesenanganku. Itu saja.
“Asalkan kau mau memungut ini untukku, BOCAH!!” Ucapku
seraya melemparkan mahkota besi yang tadi ia berikan kepadaku ke arah kolam
belut yang berada di pekarangan sekolah kami.
Di luar dugaanku, ternyata bocah nekat itu-tanpa berpikir
panjang, berlari dan langsung menceburkan seluruh raganya ke dasar kolam belut
yang menjijikkan. Aku tersenyum. Ini sangat menarik.
Selang beberapa menit, bocah itu menampakkan batang
hidungnya yang memerah dan berair ke daratan. Dalam kuyup, ia datang dan
menyodorkan mahkota sarang burung elangnya di depan hidungku. Ia
menggigil di atas cengiran lebar yang ia paksakan. Aku mendengus dan tertawa
lepas. Semua yang ada di sanapun tertawa tak kalah keras dariku.
“Payah. Aku tak butuh mahkota itu. Jangan bermimpi. Tadi itu
aku hanya…. Ya… sedikit mengerjaimu. ”
Dalam sedekap, kulebarkan mata dan kufokuskan diri melihat
reaksi bocah itu. Dan yang terjadi adalah, cukup memukau. Bocah itu mengepalkan
kedua tangannya kuat-kuat. Ia marah. Wajahnya tampak semerah kepiting rebus
yang kematangan. Ia tak menonjokku, untung saja. Ia hanya membalikkan badan dan
merlari menjauhiku.
Nasib baik kurasa tak berpihak untuknya kali ini. Karena tak
lama kemudian, kudengar suara pekikan keras dari mulut bocah itu. Rupanya ia
terpeleset dan mendarat di atas gundukan kotoran kuda yang tengah menjadi objek
penelitian anak-anak kompos di sekolahku.
Zero on the horse dumb. Betapa menyedihkannya bocah itu.
Kuyup, memalukan, dan bau. Aku mengelus dada. Sedikit penyesalan meresap cepat
ke dalam lubuk hatiku. Satu hal yang aku tahu semenjak kejadian itu. Zero
menghilang dan tak pernah datang lagi ke sekolah.
***
“Kau
diterima Zidan, selamat!!!”
Satu kalimat sederhana itu, agaknya menorehkan rasa bahagia
yang berlebihan dalam kalbuku. Akhirnya dalam audisi ke empat puluh lima selama
hampir lima tahun belakangan. Ya, lima tahun belakangan. Aku berhasil
memperoleh peranku sebagai tokoh figuran dalam sebuah sinetron yang diproduksi
oleh Stasiun Silver TV-sebuah stasiun
tv tersohor di negara ini. Kurasa, semua pesonaku yang dulunya pernah di dewa-
dewakan di sekolah,tak cukup berlaku dalam kehidupan dunia yang berduri ini.
Masih dengan acara loncat-loncat kegirangan di ruang audisi,
setelah kupeluk satu demi satu juri sebagai tanda terimakasih, suaraku menggema
dengan lantang,
“Sutradaranya! Boleh aku bertemu sutradaranya? Oh, ayolah!
Aku hanya ingin sangat-sangat berterimakasih. Please, Mas…. Please!!”
Aku mengguncang-guncang tubuh mas pemanggil nomor
audisi dengan keras. Agaknya, aku sudah tidak terlalu terkendali lagi. Mahluk
tak terkendali yang cukup membuat semua orang yang ada di ruang audisi melongo.
Melihat hal itu, Sang mas-mas, sontak mengambil ponselnya dan segera melakukan
kegiatan menelepon di luar ruang audisi. Mungkin mas-mas itu takut, jika aku
menjadi semakin membabi buta.
Beberapa menit kemudian, terdengar decitan pintu audisi yang
dibuka perlahan. Aku tersenyum lega ketika melihat tiga orang berseragam
berbeda memasuki ruangan itu. Salah satu di antaranya kuyakini sebagai seorang
sutradara, dilihat dari topi ala sutradara yang ia kenakan. Tapi, ada satu hal
yang lebih menarik dibanding itu. Sekilas kuamati, ternyata aku mengenali salah
satu di antara ketiganya. Ya, manusia bebalut kemeja abu-abu di samping
sutradara itu adalah Zero. Wait!
Zero?!
Senyumku memudar.
Untuk apa Zero datang ke sini? Mau
ikut audisi juga rupanya…Hah?!dia ikut audisi? mimpi saja!!!
Insting kejahilanku tampaknya kumat. Dengan
pongah dan dagu terangkat akupun mendatangi Si Ceking Zero yang tersenyum
melihatku.
“Hai
Zero! Are you remember me? Mau ikut
audisi juga rupanya? Emagnya bisa?” erangku dengan puas di cuping telinganya
seraya mendorong tubuh ringkih Zero hingga terpental kebelakang. Alhasil,
terdengarlah suara ‘buk’ yang cukup keras menggema di dalam ruangan ini.
Tampaknya peran figuran yang kudapat ini cukup banyak merusak psikolog dan
moralku.
Aku melebarkan mata untuk melihat reaksi apa yang kali ini
akan ia tunjukkan. But, setelahnya,
aku tak tersenyum apalagi tertawa. Senyumku lenyap sama sekali. Bukan. Bukan
Zero penyebabnya. Dia hanya meringis dan tampak bersusah payah menyunggingkan
seulas senyuman miring yang kurasa mustahil dipersembahkan oleh seorang
pecundang sejenis Zero.
Namun, reaksi orang- orang di sekitarnya. Pria yang sedari
tadi berdiri di samping kiri Zero, yang kini baru aku sadari bahwa ia adalah
seorang security, memegang tanganku
dan memeluntirnya ke belakang, membuat aku meringis kesakitan. Selagi security itu ‘menyiksaku' kulihat para
juri dan staf lain dalan ruang audisi itu mulai sibuk menelepon kepolisian dan
rumah sakit jiwa. Enak saja. Memangnya mereka pikir aku sudah gila?
Dan lagi sang sutradara…
Oh, tidak! Pupus sudah semua harapanku,
peranku… Ya, peranku.
“Usir orang gila ini! Ia tak akan pernah lolos di audisi
manapun. MANAPUN!!! Bawa dia pergi! PERGI!!!!!” Sang sutradara berteriak
sembari menendangi kakiku.
Bapak security segera
menggeretku keluar dari ruang audisi. Aku yang tak terima terus saja
memberontak dan berusaha melepaskan diri. Gagal. Rupanya aku kalah kuat
dibanding security ini. Oke, aku
pasrah dalam keingintahuan yang luar biasa. Kulirik Zero untuk yang terakhir
kalinya. Menyebalkan. Ia hanya tersenyum kepadaku.
Aneh. Bagaimana bisa?
Selagi sempat, dalam penderitaan, kutanyakan kepada mas-mas
penjaga pintu ketika aku melewatinya,
“Mas, kok semua tiba- tiba jadi kayak gini? Memangnya
salah saya apa, Mas?!” ucapku tak habis pikir.
“Ya habisnya, masnya aneh-aneh wae. Masa gitu sama orang. Di sarangnya, lagi.”
“Ye.. Cuma gitu
doang kok mas. Saya cuma gituin adik kelas saya pas SMA, mas. Masa sampe diginiin. Saya bercanda doang, Mas!”
“Ya, mas. Masa gak
tau sih… soalnya….”
“Soalnya apa mas?!” aku menggertakkan gigi.
“Soalnya tadi saya juga manggil Pak Zero ke sini. Dia itu,
manajer tertinggi di stasiun TV ini!”
(edited)
***
(Zilfania
AM-ditulis pada zaman dahuku kala untuk sekedar mengisi waktu)


0 komentar:
Posting Komentar