Kamis, 25 Juni 2020

Curhatan tentang dunia nulis (Part 1)

Assalamu'alaikum Wr. Wb. 

Hai, semuanya... Apa kabar?  Aku harap kalian semua sehat dan bahagia ya... Jadi, di kesempatan kali ini aku mau curhat. Ini tentang dunia tulis menulis. Belakangan ini aku upload di wattpad cerita SAKURAYA yang merupakan projek terbaruku. Awalnya sih aku hepi2 aja karena merasa bahwa InsyaAllah semua akan berjalan baik2 aja. Tapi makin ke sini, aku jadi mikir... Emang ada orang yg tertarik baca ceritaku? Di liat dari viewsnya jg ga banyak. yg vote jg ga banyak. Apakah ada yg salah sama ceritaku? 

I mean, ini bukan cerita yg lagi hits di pasaran wattpad. Cover cerita ini 
juga bukan cover hot yg bikin orang penasaran terus jadi pengen baca. Tema cerita ini juga cuma tentang kisah romantis yg manis dan ngga melulu tentang cinta2an. Banyak cerita tentang keluarga, trauma, rasa kehilangan, dan hal2 lain dalam kehidupan yang akan dibahas di sini. 

Tapi masalahnya, orang-orang tu ga tertarik sama yang ginian. 
Percintaan romantis ala orang kaya atau percintaan dewasa yg hot itu sepertinya lbh menarik di mata mayoritas. 


Terus, pertanyaannya... 
Sekarang aku harus gimana? 
Nyerah? 

Hmmmmmmm
Nggak deh. Sekarang terlalu dini buat nyerah. 
Aku yakin usaha akan membuahkan hasil walau butuh waktu yg luamaaaa. 

So, buat kalian yg punya masalah mirip2 kayak masalahku... Kalian ngga sendiri gaes. Ada Tuhan, ada kawan, dan ada keluarga yg bakal support kita. 

Aku bakal kasih tau update perkembangan nasib tulisanku di wattpad beberapa waktu lagi InsyaAllah. Mari kita lihat apa yg akan terjadi. 
Bismillah. KITA BISAAAAA. I HAVE NO RIGHT TO GIVE UP!!!!!! 
Continue reading Curhatan tentang dunia nulis (Part 1)

Selasa, 23 Juni 2020

CERBUNG: SAKURAYA (PART 4)

APOLOGIZE



Blood is thicker than rain water.

Whatever the conditions, they will always become reliable brothers.

They will teach you, hug you, and love you...

Forever, till they die...

"Ay... jangan ditusuk-tusuk doang wortelnya! Di makan, dong!" Suara ngebass Dion berhasil membuyarkan lamunanku.

Sekarang kami bertiga sedang duduk melingkari meja makan untuk makan siang. Hidangan hari ini adalah cap cai andalan dion dengan banyak wortel dan brokoli. Dion adalah yang terjago masak kedua dirumah ini setelah ibu. Kemampuan memasaknya sepertinya muncul, karena ia memilih untuk hidup hemat dengan cara masak sendiri selama masa pertukaran pelajar di Jepang.

"Ay!!! Makananan tuh, jangan dimainiin!"

Aku segera menghentikan gerak alat makanku ketika tersadar bahwa aku telah membangun brokoli empat susun di piringku. Pikiranku sekarang benar-benar kacau sampai-sampai aku tidak sadar dengan apa yang telah kuperbuat terhadap brokoli-brokoli cantik ini.

"Sebenarnya kamu lagi mikirin apa sih, Ay?" Dava bertanya serius sambil menyendok brokoli susunku ke piringnya.

"Ngga papa. Nggak penting, kok..." ucapku sambil berusaha berkonsentrasi melahap nasi dan potongan sosis sapi.

"Dan lagi, apa-apaan tadi itu?"

"Apanya?" tanyaku pura-pura tak tahu.

"Suara dari lantai dua. Kayak ada yang banting pintu sama teriak gitu. Tadi ngga sempat kucek soalnya aku lagi sibuk bantu Dion motongin sayur biar cepet kelar."

"Loh, emangnya ada yang begituan tadi? Aku kok ngga denger?! Emang ada apaan Ay di atas?" sahut Dion ikut penasaran.

" Hantu." Jawabku pendek.

"Apaa?!" Dion dan Dava berseru bebarengan.

"Hantu kolong kasur pakai baju putih, yang kata kak Dava itu..." lanjutku misterius.

"Ya?" Dava merasa terpanggil.

"Ternyata memang ada di kamar tamu..." ucapku santai. Toh aku tidak benar-benar berbohong. Memang ada 'hantu' ganteng berbajuh putih di kamar tamu.

"Emangnya ada hantu di kamar tamu, Dav?" kini ganti Dion yang bertanya kepada Dava.

"Ehe.. Itu..." Dava tampak ragu.

"Aku sebenarnya cuma bercanda bilang gitu ke Aya. Soalnya kan Aya parnoan sama hal-hal yang kayak gitu. Etapi kan di kamar tamu sekarang ada Rai, Ay!" Dava menatapku tak mengerti.

"Mungkin Rai nya lagi pake headset sambil merem jadinya ngga tau," jawabku asal.

"Wah kalo ada hantu beneran, gawat nih Dav. Kayaknya kita harus segera panggil pengusir setan! Apa kita kasih garem aja di depan kamar tamu?" Dion mulai panik sambil mengscroll handphone nya untuk mencari kontak seseorang.

"Apaan sih Yon! Udahlah ngga usah dibahas. Aya pasti ngomong ngelantur barusan!" Papar Dava sambil melanjutkan aktivitas makannya.

Walaupun Dava menyuruh kami untuk tidak membahasnya, wajahnya justru menunjukkan bahwa ia masih memikirkannya. Mungkin Dava sedang memikirkan berbagai macam kemungkinan, namun terlalu menganggap tidak masuk akal jika Rai adalah pelakunya.

"Ngomong-ngomong, Rai kok ngga ikut makan, kak?" tanyaku pada Dion.

Aku memang masih kesal kepada Rai. Tapi, aku masih punya sisi kemanusiaan yang tak tega jika mengetahui seseorang dibiarkan kelaparan di saat jelas-jelas ada makanan melimpah yang siap untuk dimakan.

"Oh, Rai... Tadi dia udah kuajak, kok. Tapi dianya nolak dan justru bilang 'ich habe keinen Hunger', gitu..." kata Dion sambil menirukan mimik dingin Rai.

"Emang kakak tau artinya?" tanyaku penasaran.

Aku tidak ingat Dion pernah belajar bahasa Jerman. Kalau Dava yang tahu artinya sih, aku tidak heran.

"Ngga tau artinya kok! Cuma, dari gestur tubuh dan mimiknya... mirip banget kayak Aya pas lagi nolak waktu kuajak makan," jawab Dion dengan tenang. Dia terlihat seperti sedang mengenang sesuatu.

"Emang itu artinya, intinya dia nggak mau makan ya, kak?" tanyaku kepada Dava. Memastikan bahwa Dion tak salah kaprah dan berujung membuat anak orang kelaparan.

"Itu intinya, dia nggak lapar..." jawab Dava menerawang.

"Udah ah, ngga usah dipikirin! Dia beli banyak stok makanan kok tadi. Itu empat dari tujuh kresek yang dia tenteng, isinya makanan semua! Dan juga, kayaknya ada kemungkinan dia ngga bakal keluar kamar beberapa hari dan memilih untuk makan sendiri di kamarnya... Anak itu... kayaknya pikirannya kacau banget!" Dava menghela nafas panjang. Tampak iba dengan kondisi mental yang dialami Rai.

Aku ikut menghela nafas panjang. Pasti beban pikiran Rai sangatlah berat saat ini. Dia harus melihat ibunya meninggal di hadapannya, dan melihat ayahnya meninggal setelah penantian panjangnya. Bisa jadi juga, ia menyalahkan dirinya atas kematian kedua orang tuanya. Ditambah lagi, posisi Rai yang anak tunggal. Dia pasti merasa sebatang kara tanpa ada satupun saudara yang hadir di sampingnya.

Aku menatap kedua kakakku lekat-lekat. Baru kali ini aku merasa sangat beruntung memiliki mereka. Mereka yang selalu ada dan menunjukkan kasih sayang mereka secara terang-terangan. Mereka yang sering menyebalkan, tapi tidak benar-benar pernah menyakitiku.

"Kak..." kataku sedikit terbawa emosi.

"Ya?" kedua kakakku menoleh bebarengan.

"Terimakasih. Aku, sayang kalian..." tambahku tulus.

Dava dan Dion saling bertatapan tak percaya. Dion segera menampar mukanya sendiri, sedangkan Dava menatapku tajam seperti meminta klarifikasi.

"Kamu ngga lagi bercanda kan, Ay? Kok, tiba-tiba..."

"Aku serius. Tapi aku ngga mau ngulangin lagi kata-kataku barusan," ucapku kembali ke mode normal.

Walaupun bingung dengan ucapanku yang tiba-tiba, Dava tetap tersenyum. Terlihat terharu malah. Sedangkan Dion, di luar dugaan, kakakku yang satu itu sudah memasang wajah mewek dan bersiap untuk menangis. Drama sekali, memang!

Aku merasa cukup konyol melihat pemandangan ini. Tapi akupun sama konyolnya, karena mengucapkan hal menggelikan seperti barusan. Di sisi lain, aku cukup merasa lega karena telah mengatakannya. Dengan begitu, setidaknya kedua kakakku tahu. Bahwa, bagaimanapun sikapku kepada mereka, di dalam hatiku, aku tetap menyayangi mereka.

***

Brrrrrrr

Aku menggigil.

Malam ini, udara cukup dingin. Aku memakai penutup kepala hoodieku dan berjalan ke arah bangku balkon yang menghadap ke arah langit. Dari balkon yang terletak di lantai dua, aku bisa melihat sekelompok remaja tengah nongkrong di lapangan RT kompleksku, sambil memakan sekeresek jagung bakar.

Aku tak begitu suka udara malam yang membuat kaki dan tanganku terasa membeku. Aku tak begitu suka duduk di atas kursi balkon, sambil menatap rembulan yang tinggal setengah. Aku juga tak begitu suka suasana malam ini, karena ada beberapa ekor nyamuk yang nimbrung terbang di hadapanku. Tapi mau tak mau, aku harus melakukannya. Aku harus segera meminta maaf dengan benar kepada Rai.

Tadi, setelah makan siang yang cukup 'mengharukan' bersama kedua kakakku, aku segera pergi ke kamar dan menulis surat damai untuk Rai. Kemudian, kuselipkan surat tersebut melalui sela-sela yang ada di bagian bawah pintu kamar tamu.

Di dalam surat itu, aku mengajaknya bertemu di balkon malam ini, agar aku bisa meminta maaf dengan benar. Di sampimg, untuk meluruskan prasangka Rai terhadapku yang sepertinya keliru. Kupilih waktu ini karena, hanya di jam-jam inilah Dava dan Dion akan sibuk dengan urusannya masing-masing dan tidak akan kepikiran untuk mengusikku.

Aku yakin sekali Rai akan datang menemuiku. Bukannya aku terlalu percaya diri. Tapi, aku memang sangat ahli dalam melakukan trik persuasif kepada orang lain melalui tulisan tangan.

"Hei! Ist es dringent? (Jerm: Apakah ini mendesak?)"

Rai muncul dari pintu balkon dengan wajah ditekuk. Panjang umur sekali dia.

Aku tersenyum tipis menanggapi pertanyaannya (walaupun aku sama sekali tak tahu apa artinya kecuali bagian 'hei' nya). Sudah kubilang aku ini ahli persuasi. Es batu saja bisa datang kepadaku jika berhasil dibujuk!

"Hai, Rai... Sini, duduk!" ucapku sambil menepuk bangku lain di sampingku.

Rai tetap bergeming di posisinya. Dia tak mau duduk di sampingku.

"Udahlah, cepetan! Aku ngga mau buang-buang waktu!" Katanya tajam.

Aku menghela nafas dan fokus menatap Rai. Bau kasturi tercium semerbak memasuki lubang hidungku.

"Aku cuma mau minta maaf."

"Untuk apa?" tanya Rai sangsi.

"Semuanya," jawabku sungguh-sungguh.

"Aku ngga ada maksud."

"Apanya?" Rai mengernyitkan dahi.

"Aku ngga ada maksud menyinggung matamu..."

"Lalu?" tanya Rai dengan nada mengintograsi.

"Aku hanya takjub dan mengaguminya."

"Lalu?"

"Tanpa sadar aku ingin memotretnya," kataku jujur.

"Lalu?"

"Aku tidak akan melakukannya lagi," ucapku pada akhirnya.

Dalam kondisi begini, aku memang harus mengatakan apa yang ingin didengar oleh lawan. Ini namanya trik anti debat. Biasanya, aku menggunakan trik ini ketika ada anak-anak perempuan yang mendatangiku untuk minta dikenalkan kepada Dava dan Dion. Ya, walaupun konteks obrolannya jauh berbeda dengan yang sekarang.

Brrrrrrrrr

Semilir hembusan angin yang cukup keras, berhasil membuat aku terlonjak dan menggigil. Aku memang sangat sensitif terhadap udara dingin.

"Kenapa?"

"Dingin banget!" seruku merapatkan penutup hoodieku yang sempat melorot.

Dahi Rai berkerut. Dia memandangku dengan aneh seolah aku ini adalah alien.

Melihat reaksi tersebut, akupun balik mengamatinya dengan heran. Malam ini pakaian Rai bisa dibilang sangat flu-able. Maksudku, bagaimana mungkin dia bisa muncul di balkon malam-malam, dengan kaos pendek hitam dan celana tidur garis-garis yang keliatannya tipis banget?

Selain itu, bahkan dia tidak memprediksikan bahwa akan ada sepasang nyamuk yang hinggap di lengan putihnya dan dengan rakus menghisap darahnya.

Duh, dasar nyamuk-nyamuk jahat! Kalau begini kan aku jadi tidak sabar untuk menabok kalian! Kutepuk pelan aja kali, ya? Toh, niatku baik!

Pak!

PLAAAK!

Aku terlonjak kaget sampai posisiku kini sudah berdiri. Kupegangi telapak tanganku yang tadi ditepis keras oleh Rai erat-erat. Telapak tanganku yang tadinya terasa dingin, kini ganti terasa panas dan perih.

"KAMU NGAPAIN, SIH?" Rai menatapku benci sambil memegangi lengannya yang tadi kupukul pelan.

"Berlebihan banget... Kamu yang ngapain? Barusan aku cuma mukul nyamuk di lenganmu..." ucapku berusaha untuk terdengar tenang. Padahal setengah mati badanku bergetar, dan aku yakin itu bukan sekadar karena dingin udara malam.

"Sakit loh, Rai. Kamu ternyata, kasar yah..." aku berkata miris sambil berbalik dan berjalan menuju pintu keluar balkon.

Damai apanya? Dia loh yang kali ini mulai... Dasar, sensitif banget!

"Tunggu!" Suara Rai yang mengandung sedikit rasa bersalah, segera berhasil menghentikan langkahku.

Aku membalikkan badan dan menatapnya ingin tahu.

Mari kita dengarkan apa yang akan dikatakan si menyebalkan ini setelah dengan kerasnya ia memukul tangan seorang gadis lemah yang baik hati.

"Sorry..." ucap Rai pendek sambil sedikit menunduk.

Aku tersenyum tipis. Mahluk ini bisa minta maaf juga rupanya.

"Kenapa kamu mukul tanganku?" tanyaku meminta penjelasan.

"Aku kaget."

"Tapi tadi keras banget!"

"Itu juga salahmu! Seharusnya kamu nggak pernah nyentuh aku!" Rai sekarang ganti menyalahkanku.

"Hah? Kenapa?" Aku menatapnya geli seakan dia adalah brokoli yang ada di masakan Dion.

"Itu... aku... " Rai tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

"Tak apa, katakan saja! Aku tak akan marah kalau ucapanmu masuk akal..." ucapku lugas.

"Kamu mungkin akan menganggapku sedang bercanda..."

"Ya?"

"Tapi, aku adalah seorang penderita hapephobia..." lanjut Rai pelan. Ada nada tersiksa di dalam kalimatnya.

"Kamu, hape apa?" aku berusaha memastikan perkataannya.

Takut-takut telingaku salah dengar dikarenakan udara malam.

"Hapephobia!" Seru Rai lebih keras.

Aku terdiam sesaat.

Apa itu hapephobia? Apa maksud Rai, ia phobia hape?

Aku menatap kedua mata Rai lekat-lekat. Berharap, akan ada kebohongan yang aku temukan di kedua sinar bola matanya. Beberapa detik kemudian, aku mengalihkan pandanganku ke arah langit malam. Rai tidak berbohong. Sayangnya, dia berkata yang sebenarnya.

***



























Continue reading CERBUNG: SAKURAYA (PART 4)

Jumat, 19 Juni 2020

CERBUNG: SAKURAYA (PART 3)

BAD NEWS! 



The moon loves night. But, sakura hates it...

Sakura loves sunlight. But the moon hates it...

Sakura and the moon…  Will they be all right?

Aku menutup laptopku dengan kasar. Akhirnya tugas UASku selesai!

Terimakasih banyak untuk pidato panjang Dava. Berkat dia, aku gagal membututi Rai dan bisa segera mengerjakan tugas UAsku. Ya, walaupun itu butuh waktu yang sangat lama. Menumpuknya pikiran di otakku membuat kinerjaku meurun tiga kali lipat dan meningkatkan kemampuan melamunku lima kali lipat.

Tadi,  setelah Dava tahu isi surat yang dikirimkan Raya, dengan cepat ia mendudukkanku kembali ke ranjangnya dan memberiku segudang wejangan.

“Nanti kalo ada Raya, jangan terlalu dekat-dekat. Kalo ada aktivitas penting yang mau dilakukan bareng Raya, harus izin ke aku dulu. Kamu tahu kan, Raya suka sama kamu?! Oh, Tuhan!  Kenapa adikku harus seperti bidadari sih, sampai banyak yang deketin!!! Bisa Gila, akuuuu!” Dava mengeraskan suaranya dengan frustasi.

Ucapan Dava sebenarnya mengandung dua kesalahan. Pertama, aku tidak seperti bidadari. Kedua, tidak banyak yang mendekatiku karena ada dua macan over protective yang akan mencakar mereka jika mereka berani dekat-dekat. Dan Raya adalah salah satu yang ternekat.

Ceramah panjang Dava begitu membuat telingaku panas. Aku terus menyebut kata UAS sebagai alasan untuk kabur, tapi Dava tidak mau menggubrisnya.

“Dava Prasetya!” Ucapku penuh penekanan.

Dava membatu. Dia sadar bahwa ketika aku menyebut namanya tanpa embel-embel kakak, itu berarti dirinya sudah melakukan sesuatu yang kelewatan.

“Ah… Maaf…” bisiknya sembari menunduk.

“Aku harus UAS. Kakak paham?” ujarku melunak, tak tega melihat wajah bersalahnya.

Dava hanya terdiam. Dia tampak menyesal.

Tak ingin buang-buang waktu, akupun segera berdiri dan meluncur ke lantai atas.

Begitulah drama yang terjadi tadi siang (menjelang sore) sebelum aku bisa sampai di kamarku.

Krucuk…  krucuk

Kudengar perutku berbunyi cukup keras. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku belum makan apapun dari tadi siang.

“Ah, iya! Roti dan susu!” Seruku seraya mengambil susu cokelat pemberian Dion.

Tiga jam yang lalu, Dion datang ke kamarku untuk mengajak makan malam.

“Ay, ayo makan malam dulu! Semua udah pada kumpul di ruang makan soalnya ada hal penting yang mau ayah dan ibu omongin,” begitu katanya.

Tapi karena aku sedang 'keasyikan' ngelamun (disambi mengerjakan UAS), akupun menolak dan membawa-bawa kata ‘deadline’ sebagai alasannya. Untungnya, Dion mau mengerti.

Sebagai ganti keabsenanku di acara makan malam tersebut, Dion membawakanku roti dan susu.

“Buat ganjel perut,” ucapnya ceria.

“Nanti sebelum tidur, kakak bakal balik ke sini lagi buat beritahu kamu tentang obrolan kami. Sekalian juga buat nanyain kamu, barangkali laper dan mau dimasakin sesuatu...” kata Dion sambil membuka lemariku. 

Dikeluarkannya sebuah jaket tebal dan sepasang kaos kaki katun. Kemudian, ia meletakkan benda-benda tersebut di atas meja belajarku.

“Nih, dipake! Kamu kan gampang kedinginan...” Ucapnya tadi sebelum pergi meninggalkan kamar.

Aku memasukkan sedotan dan segera meminum habis susu cokelat kemasanku. Sekotak susu cokelat merupakan senjata yang ampuh untuk membuatku kenyang dan mengantuk.

Kurebahkan kepalaku di atas meja belajar. Udara begitu dingin, tetapi aku terlalu mager untuk memakai jaket yang diserahkan oleh Dion tadi.

“Aku capek.”

“Tapi gaboleh tidur,” gumamku.

“Kak Dion mau ngomongin sesuatu katanya,” bisikku semakin pelan.

Setelah itu, mataku semakin berat dan kesadaranku perlahan hilang. Bayangan buku-buku di hadapanku mulai mengabur dan kemudian semua menjadi gelap. Malam itu, aku bermimpi naik pesawat terbang.

*** 
Aku terbangun setelah mendengar deruan keras suara motor bebek yang lewat di depan rumahku. Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi.

Gawat! Aku ketiduran!

Dan lagi, kenapa aku bisa ada di atas kasur dan selimutan tebal begini?

Apa jangan-jangan, di kolong kasur ini ada hantu baik?

Dengan rambut berantakan belum disisir, aku segera beranjak menuju ke dapur. Susu cokelat semalam masih menyisakan rasa manis, dan aku butuh air untuk menetralkannya.

Di dapur, aku tak melihat siapapun. Biasanya di waktu ini, ibuku akan memasak berbagai kudapan dan sarapan yang aromanya tercium sampai ke rumah tetangga.

Aku mengambil air dan duduk di meja makan untuk meneguknya.

“Oh, Ay! Sudah bangun?!”

Dion tiba-tiba muncul dari arah ruang keluarga dan menyapaku.

“Enak tidurnya?” tanyanya sambil bergabung di meja makan menghadapku.

“Mana yang lain?” ucapku tak menghiraukan pertanyaannya.

Dion tersenyum.

“Dava lagi keluar nganterin Rai beli berbagai kebutuhan di supermarket dekat pasar. Kalo ibu dan ayah, sudah pergi ke bandara dari jam enam tadi…”

Dion mengambil apel yang ada di atas meja dan menyodorkannya di depan hidungku.

“Mau?” tanyanya seakan tidak ada yang salah dengan pernyataannya barusan.

“Hah? Bandara?” tanyaku tak menghiraukan pertanyaan Dion untuk kedua kalinya.

“Kok bisa?”
Aku memegangi kepala tak habis pikir. Kenapa ibu dan ayah tidak pamit kepadaku?

Dion menarik apel yang dia tawarkan kepadaku, kemudian menggigitnya.

“Jadi ceritanya, ayah ada panggilan penelitian dari Jepang. Terus kalau urusan di Jepang udah kelar, ayah sama ibu mau ke Jerman buat nyari tahu tentang keberadaan kerabat Rai beserta hal-hal lain yang emang harus dicari tahu.”

Krauk...

Dion menggigit apelnya lagi.

“Semalem, aku datang ke kamarmu… Tapi kamunya udah tidur. Karena takut lehermu sakit, kamu kupindahin deh ke atas kasur. Dan… sekalian kubungkus selimut biar ngga kedinginan,” ujarnya santai.

Mari kita abaikan fakta bahwa Dionlah yang memindahkan adiknya yang sudah berumur 20 tahun ke atas kasur. Disamping, sebenarnya aku cukup bersyukur tentang kenyataan bahwa untungnya tidak ada hantu baik yang mendekam di bawah kolong kasurku.

“Kenapa ibu dan ayah ngga bangunin aku?” ucapku lanjut bertanya seraya berusaha menghilangkan semua bayangan mengenai hantu baik.

“Mereka gak tega. Kamu keliatan capek dan pules banget tidurnya...”

Dion bangkit, kemudian berjalan ke kulkas dan membukanya.

“Mau dimasakin apa?” tanyanya.

“Berapa lama perginya?” tanpa sadar, aku mengabaikan pertanyaan Dion untuk ketiga kalinya.

Satu kali lagi, dan pasti aku akan dapat piring cantik!

“Bisa satu bulan, atau lebih,” jawabnya sabar sembari menutup pintu kulkas.

Aku terlonjak pelan. Tentu saja aku kaget. Bagaimana bisa kedua orang tuaku tega meninggalkanku sendiri bersama dengan dua kakak cowokku yang menyebalkan, serta satu cowok asing yang bikin perasaanku tak enak setiap kali aku dekat-dekat dengannya? Jangan-jangan, mereka juga belum tahu mengenai rencana Raya yang akan berkunjung ke rumah ini 6 hari lagi?

Kepalaku berdenyut keras. Sepertinya aku mendadak terkena serangan migrain.

“Kami pulaaaaang!”

Dari kejauhan, kudengar Dava berteriak sembari masuk ke dalam rumah. Di belakangnya, Rai tampak berjalan susah payah dengan tujuh buah tas kresek belanjaan bergantungan di kedua lengannya. Aku tahu bahwa Rai sepertinya punya tubuh yang cukup kuat karena beberapa otot lengannya terlihat sedikit menonjol. Tapi, bukankah cukup keterlaluan melihat Dava yang hanya menenteng dua tas kresek belanjaan sisanya?

“Wah… borong apa nih?” papar Dion basa-basi begitu Dava dan Rai sampai di hadapan kami.

Mendengar itu, Rai tak menjawab dan malah berbalik ke arah tangga. Kemudian, ia naik ke lantai atas sambil menenteng semua tas kresek belanjaannya.

“Bahkan aku harus diabaikan oleh orang asing jugaaaa?”

Bibir Dion mengerucut sebal. Ia tampak tak terima karena selain aku, ada orang lain yang juga berani mengabaikan pertanyaannya.

“Sabar, Yon… Entar aku ajarin sopan santun deh tu anak. Mungkin, itu kebiasaan dia bersikap selama di Jerman. Untuk sementara, kita dulu yang kudu ngertiin dia. Emosi dia lagi gak stabil, Yon…” ucap Dava berusaha meredakan rasa kesal Dion.

“Ah… oke…” jawab Dion berusaha mengerti.

Setelah itu, Dava ganti menatapku dan tersenyum. Sepertinya dia berusaha melupakan kejadian kemarin.

“Tidurmu nyenyak, Ay?” tanyanya lembut.

“Ya, lumayan…” jawabku yang segera di sambut pelototan lebar dari Dion.

“Aya jahat aaah. Tadi aku tanya, enggak di jawaab!” rengeknya gemas.

“Makasih Kak Dion… Berkat kakak, tidurku jadi nyenyak!” sahutku cepat sembari menepuk pelan bahu kanannya.

Aku tidak ingin Dion lebih berisik lagi.

“Awwww… Aya-ku emang manis banget, deh!” ucapnya sambil akan memelukku, yang untungnya segera digagalkan oleh tarikan tangan Dava.

Aku menatapnya dengan ngeri.

“Kak, aku izin ke atas dulu ya,” kataku pada akhirnya sambil beranjak pergi ke arah tangga.

“Loh kok ke atas? Kakak kan masih mau ngobrol sama kamu…” Dava tampak tak rela.

“Mau dimasakin apa, Ay?” sahut Dion ketika aku sudah sampai di anak tangga ke empat.

“Terserah!” Jawabku pendek.

Ketika aku sudah sampai di penghujung tangga, kudengar samar-samar Dion berkata kepada Dava, “Andalannya pasti kata terserah. Wanita memang sulit dimengerti ya, Dav!”

Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Dion. Senyum tipis adalah yang kubisa sejauh ini setelah berlatih tersenyum dengan cara menonton ribuan video bayi panda dan koala yang menggemaskan.

Sesampainya di lantai atas, aku tak langsung masuk ke kamar. Ada yang perlu kusampaikan kepada Rai, dan itu adalah permintaan maaf.

Tok tok tok

Kuketuk pintu Rai perlahan.

Semoga nanti dia tidak mengabaikanku!

Tiga kali ketukan, dan aku tidak mendengar jawaban apapun. Aku hampir saja menyerah dan berniat untuk pergi. Namun seperti yang terjadi di drama-drama, di saat aku akan beranjak pergi, pintu tersebut terbuka perlahan.

Dari balik pintu, tercium aroma kasturi yang cukup keras. Rai muncul dengan pakaian yang sama (minus masker, sarung tangan, dan topi bassball) dengan yang ia gunakan saat pulang dari supermarket tadi. Dia memakai kaos lengan panjang putih dan celana jeans. Di kakinya masih terpasang sepasang kaos kaki berwarna putih.

Aku sedikit terkejut ketika mendongak memandangi wajah Rai. Gen blasteran, memang luar biasa!

Ini pertama kalinya aku melihat wajahnya dengan amat jelas. Kemarin siang, aku hanya fokus kepada warna bola matanya dan mengabaikan hal lainnya. Tadipun ketika di dapur, wajahnya tak begitu jelas karena tertutup topi dan juga masker hitam.

 Secara keseluruhan, gen Asia dan Eropa yang dimiliki oleh Rai terlihat menyatu dengan seimbang. Kulit Rai amat sangat putih. Tidak pucat seperti wajahku, wajahnya memiliki sedikit semu merah di beberapa bagian. Hidungnya mancung dan bibirnya merah tipis. Rambutnya cokelat bergelombang dan sangat serasi dengan warna bola matanya yang juga cokelat.

Tunggu, duluKenapa bola matanya bisa berwarna cokelat?

Kemana perginya mata perak berkilauan yang kukagumi kemarin?

“Aku pakai soflens!  Kau mau apa?  Mengincar mataku lagi!?”

Ucapan sinis Rai, seketika menghancurkan observasiku terhadap wajah indahnya. Ia tampak seperti sedang membaca pikiranku. 

“Ah… aku… cuma...” jawabku takut-takut.

“Jangan ketuk pintu ini lagi and please don’t disturb me, again!” Rai menatapku dingin.

Aku menggigil. Seram sekali raut wajahnya. Bahkan, akupun sampai tidak bisa berkata apa-apa!

Melihatku tak bereaksi, Rai menghela nafas, kemudian menutup pintu dengan kasar.

“Go away!” teriaknya dari dalam kamar.

Bantingan pintu dan teriakan Rai sepertinya cukup keras. Karena setelah itu, kudengar suara Dava berteriak dari lantai bawah menanyakan tentang kehebohan apa yang sedang terjadi. 

Namun aku tak bisa menjawab pertanyaan Dava. Aku hanya mematung di depan pintu. Kini otakku berusaha mencerna sesuatu. Hari ini, pertama kalinya dalam hidup, seorang laki-laki berani mengusirku.

***






























Continue reading CERBUNG: SAKURAYA (PART 3)

Rabu, 17 Juni 2020

CERBUNG: SAKURAYA (PART 2)

    HIS EYES

   Past is just a past. Time will erase your sadness. Don’t worry. There will be a bright future for everyone who tries a lot.

       Aku merupakan salah satu pencinta warna-warna alam seperti pelangi, bulan, matahari, bunga-bunga, dan pegunungan. Sering kali aku menyendiri di kamar berjam-jam, hanya untuk melukis pemandangan yang telah kupotret sebelumnya. Lukisan-lukisan tersebut kemudian akan kumasukkan ke kotak harta karunku untuk kemudian kulihat lagi di saat aku sedang ingin menghibur diri.

       “Indah sekali!” Begitulah kata yang otomatis keluar dari bibirku setelah kulihat warna bola mata Rai.

       Aku pernah membaca di sebuah artikel, mengenai bola mata-bola mata yang langkah di muka bumi ini. Pada saat itu, aku sangat takjub dan terkagum-kagum akan kuasa yang dimiliki oleh Tuhan.

       Tapi tetap saja, tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding melihatnya secara langsung, bukan?

       “Boleh kupotret?” tanpa pikir panjang, aku mendekat ke tempat Rai duduk dan menunjuk ke arah bola matanya.

       Mata Rai mengerjab beberapa kali. Itu membuat bola matanya yang berwarna perpaduan hitam dan perak seperti permata, menjadi berkilauan akibat terkena cahaya matahari yang berasal dari kaca jendela kamar tamu.

       Rai kemudian berdiri. Aku baru sadar bahwa dia tinggi sekali. Lebih tinggi dari Dava yang memiliki julukan tiang bendera, malah.

       Dia menundukkan wajahnya dan menatap mataku lekat-lekat seperti menilai sesuatu. Setelah itu, dia tersenyum kecut.
“Kau,” katanya dingin.

       “Ya?”

       “Tak tahu malu, ya?” lanjutnya dengan tajam dan segera sukses membuat aku terlonjak dan mundur beberapa langkah.

       Hah? Apa itu barusan? Aku dibilang tak tahu malu hanya gara-gara izin memotret matanya? Huh, kejam sekali perkataannya. Kalau tidak mau kan bisa tinggal bilang tidak!

       Aku segera berbalik dan pergi keluar dari kamar itu. Rai masih terus berdiri dan sepertinya masih mengawasiku.

       Dengan kesal, aku berjalan cepat menuruni anak-anak tangga. Sudah hilang moodku untuk mengerjakan UAS. Dibanding UAS, ada hal penting lain yang ingin kuketahui.

       Kulewati ruang keluarga yang kosong dengan terburu-buru. Nampaknya Dion, sudah kembali ke kamarnya atau pergi kelayapan entah kemana.

Tok.. tok.. tok..

       Kuketuk pintu kayu kamar Dava keras-keras. Bukannya apa, sering kali Dava sedang mendengarkan musik dan tidak mendengar siapapun yang memanggil atau mencarinya.

       “Kak, aku boleh masuk?”

       “Kak?” tanyaku pada pintu bisu.

       Karena tak ada suara sautan, maka akupun nyelonong masuk saja. Di sana, Dava sedang duduk di depan meja belajar yang membelakangi pintu. Dia tengah mempelajari sesuatu dari sebuah buku tebal. Di telinganya, terpasang sepasang earpods yang menjadi penyebab dia tidak dapat mendengarku tadi.

       “Kak,” Aku menepuk pundaknya pelan.

       “Eh ada tamu kehormatan. Tumben nih, Ay?” Senyum Dava segera mengembang begitu dia memutar kursinya dan mendapatiku ada di dalam kamarnya.

       “Ada yang mau aku omongin.”

       Aku berjalan menuju ranjang Dava dan segera mencari posisi duduk yang nyaman. Davapun bangkit dari kursinya dan ikut duduk di sampingku.

       “Tentang apa?” tanyanya sambil melepas earpords dan memasukkannya ke kantung kemeja.

       “Mata perak,” ucapku pelan, takut-takut Rai punya pendengaran super.

       “Maksud kamu, Rai?” Dava menimpali dengan tenang tanpa repot-repot mengecilkan suara.

       Sia-sia sekali usaha pengaturan suaraku barusan.

       “Ah, kakak udah tahu?” tanyaku tak kaget. Tentu saja Dava tahu. Dia pasti sudah mengintograsi ayah habis-habisan. Konyol juga aku yang masih memastikannya.

       “Apa yang ingin kamu ketahui, Ay?” ujarnya menghiraukan pertanyaanku dan ganti menatapku lembut.

       “Semua.”

       “Tentang mata perak?” tanyanya sambil mengangkat tangan seperti hendak mengelus rambutku, tetapi kemudian menurunkannya lagi. Sepertinya dia baru ingat bahwa aku benci disentuh, teruma di bagian kepala.

       “Tentang Rai,” ucapku yakin.

       Memang benar ada sesuatu tentang diri Rai yang ingin kuketahui lebih jauh mengingat aura kami yang terasa hampir sama.

       Dava menggeleng. Mulutnya mengerucut.

       “Seingetku kamu ngga pernah pingin tahu apapun tentang aku deh, Ay. Aku cemburu nih, ” katanya menarik-narik ujung lengan sweaterku manja.

       “Jijik!” Kuhentakkan lenganku pelan.

      Kalau sudah seperti ini, Dava telah berubah wujud dari si pintar menjadi si menggelikan.

       “Hahahahah...  Oke… oke…  akan kuberitahu poin pentingnya aja ya, Ay. Kamu tidak perlu tahu banyak tentang Rai dan jangan terlalu mencari tahu. Aku harap kamu juga tidak terlalu dekat dengannya. Walaupun aku yakin kamu juga ngga bakal tertarik untuk dekat-dekat dengan laki-laki apalagi yang modelan begitu...”

       Modelan? Haha. Seperti dia tahu seleraku saja. Kadang kakakku ini memang sangat sok tahu. Ya, walaupun aku juga belum benar-benar mengerti seleraku dan aku juga belum terlalu memikirkannya.

       Dava menarik nafas pelan dan menghembuskannya panjang. Itulah kebiasaan Dava jika akan berbicara panjang lebar. Akupun segera mempertajam pendengaranku, berharap tidak ada detail yang terlewati. Kadang kala otak dan mulut Dava berlomba ketika berbicara, sehingga tak jarang terdengar seperti ngerap.

       “Jadi Ay, seperti yang kita ketahui, ada beberapa kasus tentang warna bola mata unik yang ada di dunia ini. Bola mata perak yang dimiliki Rai, merupakan salah satu yang terlangkah. Warnanya perak, karena memiliki kadar melamin yang sangat kecil, dan warna tersebut didapat murni sejak dia lahir. Mulai sekarang, kamu harus mulai terbiasa melihatnya, Ay…” papar Dava sambil mengambil bantal dan menaruhnya di pangkuannya.

       “Kalau kamu ingin tahu kenapa ayah membawa Rai ke sini, salah satu alasannya adalah karena bola mata itu,” ujarnya tampak menerawang.

       “Kenapa?”

       “Karena banyak yang mengincarnya, tentu saja. Banyak yang mengincar Rai. Entah untuk bisnis di dunia model, hiburan, ataupun penelitian, ” papar Dava dengan nada seolah itu adalah hal yang wajar.

       “Kenapa ayah peduli?” Aku tak habis pikir.

       Ya. Kenapa ayah peduli?  Memangnya siapa Si Rai ini? Aku sama sekali tak ingat punya saudara jauh bernama Rai atau Raian, ataupun Raimon.

       “Kedua orang tua Rai adalah sahabat ayah ketika masih bersekolah di Osaka University. Ayah Rai orang Jepang dan Ibunya Orang Jerman. Mereka berdua merupakan pecinta bahasa dan budaya Indonesia, sehingga bisa berteman baik dengan ayah, ” ucap Dava sambil memindahkan bantal di pangkuannya ke pangkuanku.

       “Dua tahun lalu, seseorang menyelinap ke rumah mereka di Jerman. Mendatangi kamar Rai, dan berusaha menculiknya. Orang tersebut mengincar Rai karena matanya. Pada saat itu, kedua orang tua Rai berusaha mati-matian untuk menyelamatkannya.”

       Dava terdiam beberapa menit. Aku pun ikut terdiam menunggu kelanjutannya.

       “Lalu?” pada akhirnya, aku bertanya dengan tidak sabar. Terlalu lama ia terdiam. Aku paling tak suka jika digantung seperti ini. Dikira drakor apa, ya?

       Dava mengambil bantal lainnya di belakang punggung dan menaruhnya di pangkuannya.

       Dia menutup matanya dramatis lalu berkata, “Penculiknya bawa pistol. Ibu Rai ketembak dan meninggal di tempat. Ayahnya selamat, tapi harus jatuh koma karena juga sempat tertembak.”

       “Ah…” gumamku bingung harus bereaksi bagaimana.

       Cukup mengejutkan ketika mengetahui bahwa Rai ternyata memiliki masa lalu yang sungguh memilukan. Sempat menyesal aku karena tadi sudah mengecap buruk dirinya. Mungkin saja aku secara tak sengaja telah menyinggungnya. Sepertinya aku harus segera meminta maaf.

Deg!

       Aku menunduk sebentar. Berusaha merasakan perasaan asing yang tiba-tiba muncul di dadaku. Ini lebih tidak mengenakkan dari pada saat tahu bahwa seseorang membicarakanmu di belakang. Ya, aku memang harus minta maaf. Secepatnya!

       “Untungnya…” kudengar Dava lanjut berbicara.

       “Untungnya penjahatnya langsung ketangkep hari itu juga. Tapi Rai ngalamin trauma parah. Kasihannya lagi, ayahnya meninggal dua hari lalu setelah mengalami koma yang panjang. Itu kenapa, ayah kita langsung bawa Rai ke sini,” ucapnya sambil memindahkan bantalnya ke pangkuanku. Lagi!

       Sebenarnya, sedang apa sih dia? Acara estafet bantal?

       “Keluarganya yang lain?” tanyaku berusaha fokus tanpa menghiraukan Dava yang kini ganti menaruh guling di pangkuannya.

       “Itu dia yang lagi ayah usahain. Ngelacak keberadaan keluarganya yang lain. Tapi itu ngga gampang, Ay!  Butuh banyak waktu. Rai nya juga ngga mau jawab waktu ditanyain tentang itu,” jawabnya sembari berdiri dan memindahkan guling dari pangkuannya ke pangkuanku yang sudah penuh.

       Aku membiarkannya. Sudah kebal aku dengan tingkah aneh orang-orang di rumah ini.

       “Oiya, Ay!” serunya tiba-tiba.

       “Udah dulu deh ceritanya. Kamu bukannya lagi UAS hari terakhir? Udah kelar?” tanya Dava dengan nada ringan ke arah wajahku yang setengah tertutup guling.

        Sepertinya dia heran kenapa aku bisa santai-santai di kamarnya padahal sekarang hari terakhir UAS.

       “Bewum, niw maw,” mulutku yang tertutup guling melontarkan kalimat yang tidak jelas.

       “Hahahahaha… Kamu ngomong apa sih, Ay? Gemes banget! Dari dulu reaksimu masih lambat, ya… udah tau bantal guling numpuk, tapi ngga dipindahin! Kalo gini kan aku jadi ketagihan godain kamu,” Dava mendekat dan memelukku dengan pembatas bantal guling.

       Hal cheesy apa lagi neh. Iyuh

       “Lepasin,” ucapku setelah berhasil menekan ujung guling yang menutup mulutku.

       “Loh, kenapa?  Jarang-jarang loh kakak peluk kamu,” Dava terkikik pelan, masih sambil memelukku (beserta bantal guling)  erat-erat.

       Aku mendengus kasar. Dasar,  menyebalkan!

       “Aku udah gede, kak. Geli!”

       Dava tak menyahut.

       Sebagai gantinya, dia melepaskan pelukannya dan ganti berdiri menghadapku. Dipindahkannya menara bantal guling yang ada di pangkuanku sambil tersenyum. Kali ini senyumnya tidak jahil, dan akupun sangat bersyukur atas itu.

       “Ay… kamu sampai kapanpun akan jadi adik kecil kesayangan kakak. Bunga sakura yang polos, manis dan nggemesin. Sampai kapanpun! Kalau bisa, kamu jangan nikah dan selalu jadi lovely princess di keluarga ini, ya?” tatap Dava hangat.

       Aku tahu bahwa Dava tulus. Tapi sayangnya, kehangatan itu justru membuat aku sedikit menggigil. Lovely princess apaan Aku kan lebih mirip Sadako yang doyan menggerutu!

       Aku terdiam sebentar. Bingung mau menjawab apa. Tidak mungkin kan, aku menyahut dengan ‘Makasih, kakak ganteng,’ atau ‘uh, aku terharu sekali,’ yang nggak aku banget.

       “Kak, udah ya. Mau UAS.”

       Pada akhirnya, dua kalimat itu yang keluar dari mulutku sebagai tanggapan untuk kata-kata manis Dava.

       Setelah mengatakannya, aku segera berdiri dan berjalan keluar kamar. Ingin rasanya aku menghilang secepatnya dari hadapan kakakku sebelum mendengar kata-kata yang lebih cheesy lagi.

       Baik Dava, maupun Dion. Keduanya sama saja. Si duo caper yang sering bikin aku ingin kabur kalau mereka sedang di mode menye-menye.

       Ketika aku sudah sampai di bibir pintu kamar Dava, kulihat seseorang menuruni anak tangga dan berjalan menuju pintu depan. Penampilan orang itu sangatlah aneh. Dengan masker, jaket,  sarung tangan dan topi bassball hitam. Heran, deh. Kenapa tidak sekalian pakai kaca mata hitam biar lebih mirip penguntit? Maksudku, biar totalitas gitu, loh.

       Walaupun aku tidak bisa melihat wajahnya, aku sangat tahu bahwa itu adalah Rai (dilihat dari proporsi tubuhnya yang waw, tinggi banget!).

       Ah, iya! Aku kan, mau minta maaf! Bodoh amatlah sama UAS. Nanti aja ngerjainnya mepet-mepet. Biasanya juga bakal  melimpah rua idenya kalau ngerjainnya mepet

       Aku bermonolog di dalam hati dan membulatkan tekad untuk mengikuti Rai. Tapi sebelum itu, sepertinya…

       “Ay!” Panggil Dava dari dalam kamar.

       Dasar, kerang ajaib!

       Tuh, kan. Firasatku benar. Pasti dipanggil lagi, deh. Pantas saja aku sempat merasa telingaku gatal.

       “Iya, kak?”

       Aku berbalik dan berjalan masuk ke dalam kamar Dava. Semoga saja aku tidak sampai kehilangan jejak Rai.

       “Apa, Kak?  Buruan!” ucapku cepat.

       “Segitunya ya, pingin ngerjain UAS? Hahaha,” Dava terbahak.

       Apanya sih yang lucu? Selera humornya memang sekelas teri. Cepetan dong, ah!

       “Buruan!” Aku berkata tak sabar.

       Gemas bin sebel banget deh, rasanya. Sumpah!

       “Iya… iya, princess… Sabar! Kakak cuma mau ngasihin ini, nih. Titipan dari Raya… Dikirim langsung dari Korea,” Dava menyerahkan sebuah kaus kaki bulu berwarna pink pucat yang terbungkus plastik bening motif sakura.

       Aku speechless. Kenapa harus pink dan berbulu lagi, sih? 

       “Maaf ya, kakak buka duluan. Habisnya takut Si Raya ngirimin yang aneh-aneh. Jadi, terpaksa deh…” ucapnya tidak enak sambil memandangi kaus kaki tersebut.

       “Etapi boleh juga pilihan Si Raya, cocok banget sama kamu!” Dava tersenyum senang.

       Aku mendengus. Sekarang bukan waktunya mengagumi benda berbulu ini. Aku harus segera pergi mengejar Rai, tahu!

       “Terimakasih,” ucapku akhirnya, bersiap untuk berbalik.

       “Ay, tunggu!  Ada suratnya, tuh!” Tunjuk Dava antusias. Aku yakin Dava belum membukanya karena menghargai privasiku.

       “Dibaca dulu, Ay. Bentar aja. Di sini,” ucap Dava dengan nada sedikit memaksa. Kekepoannya sepertinya kumat.

       Kalau sudah begitu, aku tak punya pilihan lain selain membuka surat tersebut dan membacanya. Jika tidak, Dava akan terus menagihku sepanjang hari untuk membacanya dan sungguh, itu sangat menjengkelkan!

       Syukurlah cukup setengah menit waktu yang kubutuhkan untuk membacanya.

      Tapi, yang jadi masalah sekarang adalah isi dari surat ini. Isi yang mengisyaratkan kepadaku, bahwa akan datang satu masalah lagi di rumah ini. Masalah besar bernama Raya. Dan percayalah, nama lengkap masalah tersebut adalah Indonesia Raya.

***























Continue reading CERBUNG: SAKURAYA (PART 2)

Minggu, 14 Juni 2020

Hai Semuanyaaa ;)

SAKURAYA






Bagaimana jadinya bila sakura dan rembulan redup dipertemukan menjadi satu?

Atau haruskah ada matahari yang membantu sakura untuk bisa lebih merekah dibanding biasanya?

Siapakah yang lebih pantas bersanding dengan sakura?

Bulan yang selalu menunggu dan mengawasi dari jauh, atau matahari yang selalu tersenyum cerah dan berusaha untuk terus berada di samping sakura?

Ini kisah yang akan menjadi saksi tentang apakah tak masalah sama asal bisa saling menguatkan, atau haruskah selalu berbeda untuk bisa saling melengkapi.

Ini kisah sederhana tentang bulan, matahari, dan sakura.


Assalamu'alaikum semuanya!

Semoga kabar kalian sehat semuanya ya...

Alhamdulillah projek baruku sudah mulai dibuat, gaes...

Jika kalian tertarik untuk membacanya, kalian bisa membacanya di sini atau di wattpad aku karena aku juga ngepost di sana :)

Untuk part-1 nya udah kupost di postingan sebelumnya ya, gaes. Jika kalian ingin membaca melalui wattpad saja, kalian bisa klik link di bawah ini:

https://www.wattpad.com/user/ZilfaniaFirdaus

Udah, gitu aja gaes. Terimakasih atas waktunya. Aku harap kalian enjoy sama ceritaku. Kritik dan saran selalu siap kutampung yaa.

Sampai jumpa semuanya dan semoga hari-hari kalian menyenangkan <3

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.




Continue reading Hai Semuanyaaa ;)